Computer vision syndrome: Gangguan mata di era digital
Saat ini, kehidupan kita tak bisa lepas dari laptop, ponsel pintar, atau tablet. Sering kali, kita menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar perangkat digital itu, entah untuk bekerja atau sekadar main gim. Belum lagi aktivitas lain, seperti belanja online atau bermain media sosial.
Dilansir dari Huffington Post, orang dewasa di Inggris menghabiskan waktu 4.866 jam menatap layar selama setahun. Pada April 2023, Elecronics Hub, menganalisis laporan Digital 2023: Global Overview Report dari Data Reportal, menyebut Indonesia menempati urutan ke-6 dunia sebagai negara pecandu ponsel. Rata-rata orang Indonesia menatap layar ponsel dan laptop dalam sehari selama tujuh jam dan 42 menit.
Tanpa disadari, kebiasaan menatap layar perangkat digital berlama-lama memicu computer vision syndrome. Kendati demikian, penulis kesehatan Maxine Lipner dalam Verywell Health menyebut, computer vision syndrome sangat umum terjadi. Di seluruh dunia, sekitar 60 juta orang mengalaminya.
Gejala-gejala dan cara mengatasinya
Dijelaskan peneliti dari Departemen Ofmalmologi University of Medicine and Pharmacy Grigore T. Popa dan Saint Spiridon Emergency Hospital, antara lain Irina Andreea Pavel, Camelia Margareta Bogdanici, Vlad Constantin Donica, Nicoleta Anton, Bogdan Sayu, Cristina Petronela Chiriac, Cristian Dan Pavel, dan Silvia Cristina Salavastru di Jurnal Medicina (Februari, 2023), computer vision syndrome atau digital eye strain adalah penyakit di era modern, yang ditandai dengan gejala okular, muskuloskeletal, dan perilaku yang disebabkan penggunaan berkepanjangan dari perangkat digital.
“Riset tahun 2021 menunjukkan bahwa sekitar 90% pengguna komputer, yang menghabiskan lebih dari tiga jam per hari di depan layar, menderita computer visual syndrome,” tulis para peneliti asal Romania itu, dalam riset mereka berjudul “Computer vision syndrome: An ophthalmic pathology of the modern era”.
Computer vision syndrome, sebut Pavel dkk, bisa menyebabkan gejala ekstaokular dan muskuloskeletal. Para peneliti menyebut, gejala ekstraokular yang akan terjadi, antara lain sakit kepala, depresi, dan gangguan tidur.
Kepada Huffington Post, ahli optik dari Vision Direct, Nimmi Mistry menjelaskan, gangguan tidur itu disebabkan oleh layar yang memancarkan cahaya biru, yang dapat mengurangi produksi melatonin atau hormon tidur.
“Paparan layar yang berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan pola tidur dan kualitas tidur. Kurang tidur juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mata,” kata Mistry.
Pavel dkk menulis, gejala muskuloskeletal meliputi nyeri leher, bahu, atau punggung. Gejala ekstraokular lainnya adalah kesulitan dalam memegang objek atau menulis, nyeri pada jari, atau pergelangan tangan.
“Kami menemukan dalam riset kami bahwa computer vision syndrome lebih umum terjadi pada anak-anak dan perempuan, dan tingkat keparahan tertinggi terkait dengan penggunaan ponsel pintar yang tak tepat,” tulis Pavel dkk dalam penelitian mereka.
Dalam penelitiannya bertajuk “Prevalence of computer vision syndrome: A systematic review and meta-analysis” di Jurnal Nature (Januari, 2023), Etsay Woldu Anbesu dan Asamene Kelelom Lema dari Samara University, Etiopia menyebutkan, meski computer vision syndrome menjadi keprihatinan utama dalam kesehatan masyarakat, namun sedikit perhatian diberikan, terutama di negara-negara berkembang. Anbesu dan Lema menemukan, prevalensi computer vision syndrome tertinggi terjadi di Pakistan (97%) dan terendah di Jepang (12%).
Lebih lanjut, Anbesu dan Lema menulis, ada dua faktor terkait computer vision syndrome, yakni personal dan lingkungan. Faktor personal, antara lain posisi duduk yang tak tepat, jarak mata dengan layar yang sangat dekat, jarak pandang yang tak tepat, usia, penyakit medis, dan durasi penggunaan komputer yang lama.
Sedangkan faktor lingkungan, antara lain tempat bekerja yang kurang pas, pencahayaan yang buruk, resolusi yang rendah, layar yang silau, kecerahan layar berlebihan, serta tak ketidakseimbangan cahaya antara layar dan ruang kerja.
“Selain itu, layar dan ukuran font yang kecil meningkatkan ketegangan mata dan kelelahan karena fokus mata yang tidak tepat,” tulis Pavel dkk.
Dalam Verywel Health, Lipner mengatakan, agar mewaspadai gejala-gejala awal, seperti penglihatan seperti kabur atau ganda; mata sakit atau lelah, permukaan mata seperti terbakar atau berair’ nyeri di bahu, leher, punggung, atau sakit kepala; kesulitan fokus pada jarak dekat; melihat halo berwarna di sekitar objek; dan sensitif terhadap cahaya.
“Jika Anda merasakan gejala-gejala ini, tanyakan pada diri Anda, seberapa sering melihat layar,” ujar Lipner.
“Memiliki enam gejala secara total berarti Anda mengalami computer vision syndrome.”
Untuk menghindari computer vision syndrome, ada beberapa hal yang mesti dilakukan. Lipner dalam Verywell Health menyarankan, mengubah pencahayaan di ruangan untuk mengurangi silau. Lalu, pastikan layar laptop tak terlalu dekat dengan mata.
“Layar sebaiknya berjarak sekitar satu lengan atau bahkan lebih jauh lagi untuk memungkinkan mata Anda fokus dengan mudah,” kata Lipner.
Kemudian, letakkan layar lebih rendah dari mata, sekitar empat hingga delapan inci. “Posisi yang lebih rendah ini memungkinkan leher Anda rileks dan menjaga mata Anda agar tidak terlalu kering karena kelopaknya lebih rendah dan menutupi lebih banyak permukaan mata Anda,” tulis Lipner.
Langkah berikutnya, sesuaikan tinggi kursi, sehingga telapak kaki datar di lantai dan lutut berada pada sudut 90 derajat. Keyboard ditempatkan pada permukaan yang lebih rendah dari siku.
“Ini akan membantu meredakan tegangan pada leher, bahu, dan punggung,” ujar Lipner.
Lipner juga menyarankan untuk memakai kacamata yang pas dalam menatap layar digital. Terakhir, Lipner mengingatkan agar jangan menatap layar terlalu lama.
“Ambil jeda sesering mungkin untuk memberikan istirahat pada mata Anda,” katanya. “Berkedip secara berkala atau melirik sekitar ruangan juga bisa memberikan rasa lega.”