Cuaca panas ekstrem adalah risiko paling berbahaya yang ditimbulkan perubahan iklim di Australia. Hal ini tak hanya berdampak pada fisik penduduknya, tetapi kemungkinan juga ada dampak terhadap kesehatan mental.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change (2025) berjudul “Increasing burden of poor mental health attributable to high temperature in Australia” mengungkap, suhu tinggi di Australia telah memengaruhi kondisi hidup dan kerja. Seiring memburuknya perubahan iklim, maka bakal meningkatkan beban gangguan mental dan perilaku atau mental and behavioral disorders (MBDs).
Dilansir dari Science Alert, gangguan mental dan perilaku mencakup gangguan kecemasan, depresi, afektif bipolar, skizofrenia, penggunaan alkohol dan narkoba, serta penggunaan zat lainnya.
Menurut proyeksi terkini, jika pemanasan global terhenti di bawah 3 derajat Celsius pada 2100, beban relatif gangguan mental dan perilaku dapat meningkat sebesar 11% pada 2030-an dan 27,5% pada 2050-an. Jika tidak ada upaya besar yang dilakukan untuk mengurangi pemanasan global dan krisis iklim meningkat, maka beban gangguan mental dan perilaku dapat meningkat hampir 49% pada 2050.
“Dari tekanan ringan hingga kondisi serius, seperti skizofrenia, meningkatnya suhu membuat keadaan menjadi lebih sulit bagi jutaan orang. Kaum muda, yang sering menghadapi masalah ini di awal kehidupan, sangat berisiko karena krisis iklim semakin memburuk,” kata salah seorang peneliti yang merupakan peneliti kesehatan lingkungan dari Universitas Adelaide, Peng Bi, dikutip dari Scinece Alert.
Temuan Bi dan koleganya didasarkan pada data kesehatan dari semua negara bagian dan teritori di Australia antara 2003 dan 2018. Kumpulan data itu menunjukkan, rawat inap terkait gangguan mental dan perilaku serta kunjungan ruang gawat darurat umumnya meningkat seiring dengan kejadian suhu tinggi.
Gelombang panas jarang berakibat fatal bagi penderita gangguan mental dan perilaku, tetapi berdampak signifikan terhadap tahun-tahun yang dihabiskan seseorang dalam kondisi sehat sepenuhnya.
Misalnya, pada gelombang panas tahun 2008 yang melanda Adelaide yang berlangsung selama 15 hari, dikaitkan dengan peningkatan sebesar 64% dalam rawat inap terkait gangguan mental dan perilaku di kalangan anak-anak, dan peningkatan sebesar 10% dalam rawat inap terkait gangguan mental dan perilaku pada mereka yang berusia 75 tahun.
Para peneliti mengemukakan, perubahan suhu darah akibat panas ekstrem dapat memengaruhi jumlah oksigen yang masuk ke sistem saraf pusat. Suhu tinggi juga dapat memengaruhi pola tidur dan respons stres, yang semuanya dapat berdampak pada kesehatan mental.
Para ilmuwan tidak yakin bagaimana panas ekstrem dapat memengaruhi kesehatan mental, tetapi ada kemungkinan bahwa perubahan suhu darah dapat memengaruhi jumlah oksigen yang masuk ke sistem saraf pusat. Suhu tinggi juga dapat memengaruhi pola tidur dan respons stres, yang semuanya dapat berdampak pada kesehatan mental.
Saat ini, diperkirakan hampir 44% warga Australia berusia 16 hingga 85 tahun mengalami gangguan mental dan perilaku di beberapa titik dalam hidup mereka. Meski risiko absolut tahunan rawat inap akibat panas rendah untuk kelompok individu ini, tetapi jika tren pemanasan global terus berlanjut, risiko tersebut dapat berlipat ganda di tahun-tahun mendatang, melonjak dari 1,8% menjadi 2,8% pada 2050.
“Karena kaum muda secara fisiologis lebih mampu menghadapi gelombang panas, para peneliti menduga, mereka mungkin tidak mengambil tindakan pencegahan yang sama. Kelompok usia ini juga lebih mungkin bekerja di luar ruangan dalam kondisi panas,” tulis Science Alert.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan para peneliti dari Spanyol dan Belanda, terbit di jurnal JAMA Network Open (2025) menemukan, cuaca dapat berperan dalam kesejahteraan mental anak muda. Di Belanda, ditemukan, paparan suhu dingin dari waktu ke waktu dikaitkan dengan masalah internalisasi, seperti kecemasan, depresi, menarik diri, dan keluhan lainnya di kalangan remaja dan dewasa muda. Sementara tingkat panas yang lebih tinggi di Spanyol dikaitkan dengan masalah perhatian.
Analisis ini melibatkan sekitar 3.900 remaja di Belanda dan hampir 900 di Spanyol antara 2015 dan 2022. Analisis itu melacak cuaca antara tiga hari dan dua bulan, sebelum remaja tersebut melaporkan gejala kejiwaan. Temuan itu, dikutip dari Euronews, menunjukkan kesehatan mental anak muda dapat memburuk karena perubahan iklim yang menyebabkan suhu lebih ekstrem.
Studi itu tidak membuktikan kalau suhu memengaruhi kesehatan mental secara langsung, hanya saja keduanya saling berkaitan. Namun, salah seorang peneliti yang juga menjadi peneliti predoktoral di Barcelona Institute for Global Health (ISGlobal) Esmee Essers mengatakan, ada kemungkinan cuara ekstrem mengganggu kemampuan tubuh untuk mempertahankan suhu internal yang stabil, memicu jalur stres dan inflamasi yang bisa menjadi kunci masalah kesehatan mental tertentu.