Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan semakin erat dengan kehidupan sehari-hari. Beberapa orang bahkan lebih nyaman curhat dengan chatbot AI.
Chatbot AI merupakan program perangkat lunak canggih, yang dirancang untuk terlibat dalam percakapan seperti manusia. Sistem ini menganalisis masukan pengguna, memahami konteks, dan menghasilkan respons. Seiring waktu, kemampuan chatbot AI berkembang untuk meniru interaksi dengan manusia.
Para peneliti dari Singapore Management University dalam Applied Psychology: Health and Well-Being (November, 2024) menemukan, curhat dengan chatbot AI mengurangi emosi negatif, seperti amarah dan frustasi. Namun, hal itu tidak menumbuhkan rasa dukungan sosial atau mengurangi rasa kesepian.
Dasar pemikiran penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi seberapa efektif chatbot AI dapat meniru manfaat psikologis dari metode curhat konvensional, seperti menulis jurnal harian atau berbicara dengan orang yang dipercaya.
“Saya selalu merasa, membicarakan rasa frustasi Anda dengan seseorang yang mau mendengarkan dan memvalidasi perasaan Anda sangatlah menenangkan. Namun, dengan meningkatnya prevalensi kesepian di berbagai kelompok usia, banyak orang mungkin tidak memiliki akses ke orang yang dapat dipercaya dan tidak menghakimi untuk diajak bicara,” ujar salah seorang peneliti yang merupakan kandidat doktor psikologi di Singapore Management University, Meilan Hu, dalam PsyPost.
“Pada saat yang sama, chatbot AI telah menjadi lebih canggih, sehingga mampu memberikan respons seperti manusia. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, apakah chatbot AI dapat menjadi pilihan alternatif bagi individu untuk membantu memproses emosi mereka.”
Para peneliti lantas membandingkan efektivitas curhat dengan bantuan AI dan jurnal harian. Mereka merekrut 150 mahasiswa di Singapura. Peserta secara acak ditugaskan curhat dengan bantuan AI atau penulisan jurnal konvensional.
Saat curhat konvensional, peserta diminta menulis tentang kekesalan atau ketidaknyamanan yang baru-baru ini terjadi dalam dokumen word selama 10 menit. Sedangkan dalam curhat dengan bantuan AI, peserta menggambarkan pengalaman negatif mereka kepada chatbot AI, yang dirancang mensimulasikan percakapan yang dinamis dan penuh empati.
Setelah itu, peserta mengisi survei untuk menilai emosi negatif, stres yang dirasakan, perasaan kesepian, dan dukungan sosial yang dirasakan. Hasilnya, melampiaskan kekesalan kepada chatbot AI mengurangi emosi negatif yang bergejolak tinggi dan sedang dibandingkan dengan menulis jurnal.
Peserta melaporkan, merasa lebih sedikit marah dan frustasi setelah berinteraksi dengan chatbot AI. Para peneliti mengaitkan hal ini dengan kemampuan chatbot AI untuk memberikan respons personal secara langsung, yang mungkin telah membantu peserta merasa diakui dan mendorong ekspresi emosi secara terbuka.
“Jika Anda merasa butuh pendengar, chatbot AI dapat menjadi pilihan yang tepat,” ujar Meilan Hu kepada PsyPost.
“Meskipun chatbot AI mungkin tidak dapat menggantikan koneksi erat yang kita dapatkan dari interaksi manusia, temuan kami tetap menunjukkan, mencurahkan isi hati kepada chatbot AI dapat secara efektif meredakan perasaan seperti marah atau takut.”
Meski begitu, curhat dengan AI tak selamanya baik. Penelitian yang dilakukan para periset dari Marquette University, terbit di jurnal JMIR Mhealth Uhealth (2023) menemukan, ada tanda-tanda keterikatan yang tidak sehat antara chatbot AI dengan manusia. Sebab, beberapa pengguna membandingkan bot dengan orang-orang nyata dalam kehidupan mereka.
Selain itu, seperti dikutip dari The Guardian, psikoanalisis Stephen Grosz mengingatkan, berteman dengan bot dapat menunda kemampuan seseorang untuk membuat koneksi dengan manusia. Kemudian, chatbot AI tak selalu merespons dengan tepat, dapat memberikan nasihat yang tidak pantas atau bahkan berbahaya, dan bisa memonetisasi data pribadi pengguna.
Curhat dengan chatbot AI dapat pula menimbulkan hal yang fatal. Dilaporkan The New York Times, beberapa waktu lalu seorang remaja di Florida, Amerika Serikat, bernama Sewell Setzer III bunuh diri setelah berinteraksi kuat dengan chatbot AI.
Seiring waktu, Setzer menarik diri dari teman-teman dan keluarganya, ketika hubungan dengan chatbot semakin erat. Percakapan Setzer dengan AI berkisar pada topik seksual hingga diskusi panjang dan intim tentang kehidupan serta masalah dirinya.
Lalu, dia memberi tahu AI kalau tengah mempertimbangkan bunuh diri. Chatbot AI mendukungnya untuk melakukan hal itu.
"Setzer kemudian bunuh diri dengan senjata api milik ayahnya,” tulis The New York Times.