Mustaghfirin berdiri di atas geladak perahu yang membawanya pulang ke Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Ketika hampir sampai pulau itu, dia mengamati dengan saksama pesisir pantai di sebelah barat dan timur. Dia melihat, sudah banyak terbangun resor dari pihak swasta, yang tidak diketahui pemiliknya.
“Kami tidak bisa bersandar di sana,” ujar Mustaghfirin kepada Alinea.id, Sabtu (22/6).
“Privatisasi di Pulau Pari sekarang sangat luar biasa. Lahan tempat warga mencari nafkah sudah menjadi tumpukan pasir, akses juga terganggu dan banyak sekali merusak lingkungan.”
Dua tahun belakangan, kata Mustaghfirin, nelayan di Pulau Pari berulang kali konflik dengan perwakilan pihak swasta yang melarang perahu-perahu mereka bersandar. Yang bikin jengkel, pembangunan resor disertai reklamasi turut merusak lokasi tangkapan nelayan.
“Sekarang ini yang jadi masalah, tempat kita mencari ikan, kepiting, udang, kerang, dan teripang sudah tidak bisa lagi,” ucap Mustaghfirin.
Protes yang sering kali dilayangkan Forum Peduli Pulau Pari (FP3) kepada pihak swasta pun tak mempan menghentikan laju privatisasi daerah pantai secara ugal-ugalan. Padahal, daya rusak privatisasi yang disertai reklamasi sekitar seluas puluhan hektare sangat merugikan.
“Hampir dua tahun lumayan besar puluhan hektare (yang terdampak),” kata dia.
Mustaghfirin heran pihak swasta sama sekali bergeming menghentikan reklamasi. Dia juga bingung, pemangku kepentingan, seperti bupati, camat, dan lurah di Kepulauan Seribu tidak menegur pihak swasta yang melakukan privatisasi.
“Dan beberapa dinas terkait juga sama, sudah bisa dipastikan (diam), kita tahulah,” ucap dia.
Konflik warga dengan pihak swasta yang melakukan privatisasi daerah pantai juga sempat terjadi di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada awal Juni lalu. Diduga, konflik terjadi karena warga Desa Soba Wawi, Lamboya, Sumba Barat dilarang surfing di dekat lokasi resor mewah Nihi Sumba. Privatisasi kawasan wisata pantai juga masih temui di Bali, serta pulau-pulau terpencil yang kurang disorot pemerintah.
“Ini imbas dari Undang-Undang Cipta Kerja yang memberi karpet merah kepada investor,” ucap Ketua Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari, Sabtu (22/6).
Padahal, ada aturan terkait jarak 100 meter dari pasang air laut tertinggi ke pantai merupakan kawasan publik dan tanah milik negara. Beleid itu terdapat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.
“Jadi, tidak boleh dijadikan area privat,” ucap Azril.
Menurut Azril, implementasi Perpres 51/2016 semula berjalan positif. Namun, aturan ini mulai tidak bertaji setelah terbit Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang memberikan keleluasaan bagi investor. Akibatnya aset wisata, seperti pantai, danau, dan sungai mulai banyak disulap jadi area privat untuk tujuan komersial.
“Area publik (berguna) untuk menjaga abrasi dan banjir rob. Makanya tidak boleh dimiliki privat,” ujar Azril.
“Saya setuju Undang-Undang Omnibus Law (Cipta Kerja) dibatalkan. Karena ini membuat banyak destinasi wisata diprivatisasi dan diberikan kepada investor, yang akhirnya memicu konflik dengan masyarakat sekitar.”
Selain membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja, Azril juga berharap rencana revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang tengah digodok DPR harus memperkuat perlindungan destinasi wisata milik negara. Tujuannya, agar tidak disalahgunakan pihak swasta atau investor.
Dia berpandangan, revisi Undang-Undang Kepariwisataan pun harus mendefinisikan ulang makna destinasi wisata, yang selama ini cenderung dimaknai sebagai ruang dan kawasan ketimbang kegiatan baru yang bisa dikembangkan. Maka solusi yang muncul adalah membangun infrastruktur untuk mendongkrak kedatangan wisatawan secara kuantitas daripada melibatkan warga untuk pariwisata yang berkualitas.
“Jadi ini kesalahan dari pemerintahan Jokowi periode kedua. Semula dia bagus. Tapi, ke sini amburadul karena UU Omnibus Law (Cipta Kerja),” kata Azril.
Azril mengatakan, dampak buruk privatisasi destinasi wisata akan menjadi tantangan pemerintahan selanjutnya. Dia berujar, menteri pariwisata yang nantinya diangkat presiden terpilih Prabowo Subianto, mesti memahami sengkarut privatisasi destinasi wisata. Masalah ini, kata dia, harus diredam pula dengan cara merancang konsep wisata yang berkualitas dan tidak merugikan publik melalui revisi Undang-Undang Kepariwisataan.
"Kalau enggak, masalah ini akan terus bermunculan ke depan," ucap Azril.
Terpisah, pengamat pariwisata Hilda Ansariah Sabri menilai, privatisasi area wisata merupakan penyakit lama yang sering kambuh. Hal ini terjadi karena pemerintah cenderung memberi keleluasaan kepada investor untuk mengelola destinasi wisata.
“Sejak 1990-an sebenarnya Menteri Pariwisata (Pos, dan Telekmunikasi) Joop Ave (menjabat 1993-1998) sudah memberi tahu agar pemilik hotel tidak memblok jalan yang menuju ke pantai, yang dilalui masyarakat,” ujar Hilda, Sabtu (22/6).
“Kalau pemda pro rakyat, maka itu menjadi kebutuhan rakyat dan harus diperjuangkan. Kalau sekarang semua pro ke swasta dan itu tindakan yang tidak benar.”
Hilda sepakat, mental penguasa yang menyerahkan persoalan pertumbuhan ekonomi kepada investor sangat naif. Sebab, realita yang terjadi, sangat sulit menciptakan keadilan bagi rakyat.
“Menterinya sebenarnya harus paham. Jangan hanya ngurus UMKM. Banyak sekali aturan yang harus dilihat lagi, sesuai tidak dengan zaman sekarang,” ujar dia.