Dari Dr Who ke Dr Strange: Kenapa kita terpesona semesta paralel?
America Chaves (Xochitl Gomez) sosok yang unik. Lahir di jagat bernama Utopian Parallel, dara belia itu satu-satunya orang yang tak punya kembaran di semesta paralel (multiverse). Chavez juga satu-satunya orang yang punya kemampuan super untuk membuka portal ke dunia paralel lainnya.
Karena kekuatan itulah, ia diburu Wanda Maximov. Diperankan Elisabeth Olsen, Wanda berniat mencuri kekuatan Chavez. Setelah kehilangan pasangan dan dua putranya, sang penyihir merah itu ingin bermigrasi ke dunia paralel lainnya. Di dunia yang lain, putra-putranya masih hidup dan bahagia.
Di tengah pelarian, Chavez terlempar ke bumi nomor 616. Di sana, ia diselamatkan Dr Strange (Benedict Cumberbatch) saat dikejar-kejar seekor gurita raksasa bermata satu di jalanan Manhattan, kota New York. Bersama dokter magis itu, Chavez lantas menjelajahi dunia paralel untuk mencari cara mengalahkan Wanda.
Begitulah kurang lebih gambaran cerita film Dr Strange in The Multiverse of Madness. Dirilis pada 2 Mei 2022, film yang disutradarai oleh Sam Raimi itu lumayan banjir pujian dari kalangan kritikus. Sekitar 74% kritikus film yang bernaung di Rotten Tommatoes menyukainya. Di IMDB, seri kedua Dr Strange itu mendapat skor 7,5.
Yang terpenting, audiens global terpikat. Pada hari perdana pembukaan box office internasional, Dr Strange in The Multiverse of Madness meraup pendapatan hingga US$27,2 juta atau setara Rp393,8 miliar. Pada pekan kedua penayangannya, film berbasis komik Marvel itu sukses meraup penghasilan hingga US$688 juta.
Itu sudah mengalahkan raupan total film Doctor Strange pertama, yakni sebesar US$678 juta. Prediksi paling apesnya, film produksi Disney itu bakal meraup lebih dari USS1 miliar saat diturunkan dari layar bioskop di seluruh dunia.
"Dalam premis realita paralel yang gila, film ini sebenarnya punya plot yang sangat polos dan terus-terang. Namun, film ini juga dibikin dengan penuh horor dan kecerdikan oleh Sam Raimi," tulis kritikus film Rich Cline di Rotten Tommatoes.
Di jagat Marvel, film berbasis konsep multiverse memang tergolong "basi". Tahun lalu, Spiderman: No Way Home juga mengambil tema serupa. Dalam film yang disutradai Jon Watts itu, Peter Parker (Tom Holland) dikisahkan meminta bantuan kepada Dr Strange supaya dunia melupakan eksistensinya.
Namun, sang dokter membuat kesalahan dalam mantranya. Alih-alih bikin Parker terlupakan, Dr Strange malah bikin musuh-musuh spiderman di pelbagai dunia paralel "tersedot" ke bumi. Bersama mereka, spiderman-spiderman kembaran Parker di bumi juga ikut bermigrasi.
Meskipun penuh kameo, film itu juga sukses di pasaran. Dirilis pada 15 Desember 2021, Spiderman: No Way Home sempat merajai box office selama berpekan-pekan. Pada akhir penayangannya di bioskop, film yang diproduksi bersama oleh Columbia Pictures dan Marvel Cinematic Universe (MCU) itu meraup pendapatan total sekitar US$1,8 miliar.
Film-film tenar lainnya yang menggunakan formula multiverse dan perjalanan ke masa lalu sebagai tema utama dan sukses merajai box office, semisal Source Code (2011), X-Men: Days of Future Past (2014), Spider-Man: Into The Spider-Verse (2018), Avengers: Endgame (2019), dan Everything Everywhere All At Once (2022). The Flash yang bakal dirilis pada 2023 juga dilaporkan bakal menggunakan konsep multiverse.
Di layar kaca, konsep multiverse juga dipakai sejumlah serial televisi teranyar semisal film animasi What If...? yang tayang sejak 2021 hingga sekarang, The Man in High Castle (2015-2019), Crisis in Infinite Earths (2019), Infinite Train (2019-2021), His Dark Materials (2019-2022), Doctor Who (2015-2022), dan Loki (2021-2022).
"Ini semua tentang tren. Sekarang, hampir semua penikmat film yang pernah menonton beberapa film superhero dalam setahun mungkin sudah paham mengenai itu (multiverse). Itu sudah pernah disinggung dalam Doctor Strange dan di filim-film Avengers," kata jurnalis sekaligus penulis naskah Tom Jolliffe.
Sejarah dan teori multiverse
Terminologi multiverse kali pertama diperkenalkan filsuf Amerika William James pada 1985. Ketika itu, James bukan merujuk pada kemungkinan adanya semesta paralel. James menggunakan multiverse sebagai istilah untuk meringkus fenomena alam yang kerap menimbulkan makna moral yang membingungkan.
Namun, teori mengenai eksistensi semesta paralel sudah diperbincangkan oleh para filsuf Yunani kuno sejak abad ke-5 sebelum Masehi. Dalam The "Multiverse Is an Ancient Idea" yang tayang di The Nautilus pada 2017, Matthew Sedacca menyebut ide multiverse jadi salah satu bahasan kaum atomis dan stoik di Yunani.
"Kaum atomis berpendapat tatanan dan keindahan dunia kita merupakan hasil dari tabrakan atom-atom dalam kekosongan tak terbatas. Tabrakan atom-atom itu juga melahirkan semesta-semesta paralel yang tak sesempurna semesta kita," tulis Sedacca.
Adapun kaum stoik meyakini kosmos memiliki jiwa yang tak bisa mati. Mengutip filsuf Yunani Chrysippus, Sedacca menyebut, semesta pada akhirnya akan berujung pada ketiadaan namun bakal kembali lahir dalam bentuk material. "Proses itu akan terus berulang secara abadi," kata dia.
Sempat "dilupakan" selama beratus-ratus tahun, ide multiverse kembali memicu perdebatan pada abad ke-16. Dalam "On the Infinite Universe and Worlds", Giordano Bruno mengemukakan postulat mengenai keberadaan semesta-semesta paralel tak terbatas yang punya matahari dan bumi yang sama dengan kosmos yang didiami manusia. Teori itu kontroversial lantaran kontradiktif dengan pandangan geosentrik gereja Katolik.
"Bruno mengatakan, 'Ada dunia-dunia yang jumlahnya tak terbatas yang mirip dengan dunia kita.' Frasa itu sejalan dengan teori-teori multiverse yang berkembang pada era modern yang mengemukakan bahwa detail mengenai semesta paralel bervariasi, tapi hukum alamnya tetap sama," tulis Sedacca.
Selain di ranah filosofis, multiverse juga jadi objek penelitian para fisikawan. Salah satu teori mapan yang paling banyak pengikutnya ialah teori inflasi. Teori itu memaparkan peristiwa hipotetis yang terjadi saat semesta kita masih sangat muda--kurang dari satu detik usianya.
Menurut teori tersebut, setelah dentuman besar, semesta mengalami periode ekspansi masif. Ia meluas membentuk struktur-struktur dan materi baru yang bahkan jauh lebih besar ketimbang ukuran strukturnya terdahulu.
"Inflasi semesta kita diperkirakan berakhir sekitar 14 juta tahun lalu. Akan tetapi, inflasi tak berakhir pada saat bersamaan di semua tempat. Sangat mungkin saat inflasi berakhir di satu wilayah, namun tetap berlanju di wilayah lain," jelas Heling Deng, kosmolog dari Arizona State University, seperti dikutip dari Live Science.
Dalam skenario inflasi tanpa akhir itu, menurut Deng, setiap semesta bisa lahir dengan memiliki hukum alam, kumpulan partikel, dan konstanta fundamentalnya sendiri. Itu terindikasi dari banyaknya partikel di kosmos yang belum bisa diukur menggunakan ilmu fisika dasar.
"Jika multiverse benar-benar eksis, maka kita akan punya konstanta kosmologis acak di beragam semesta. Semata hanya kebetulan jika konstanta yang ada di semesta kita mengikuti nilai-nilai yang bisa kita observasi," kata Deng.
Teori populer lainnya mengenai multiverse ialah many worlds interpretation (MWI). Teori ini dikembangkan oleh fisikawan berkebangsaan AS Hugh Everett pada pertengahan 1950-an saat kuliah S3 di Princeton University.
Ketika itu, Everett mencoba menjawab mengenai hukum kuantum "misterius" yang berkembang pada 1920-an. Secara sederhana, hukum itu menyatakan bahwa seekor kucing bisa hidup dan mati pada saat bersamaan dan sebuah partikel bisa berada di dua tempat berbeda pada saat yang sama.
Dalam draf orisinal tesisnya, Everett menjelaskan fenomena kuantum itu menggunakan analogi amuba yang membelah diri menjadi dua sel baru. Menggunakan model matematis, Everett mengemukakan kemungkinan "pembelahan semesta" saat realita dihadapkan pada pilihan kuantum. Pada satu semesta, si kucing mati. Namun, pada semesta lain si kucing hidup.
"Everett menekankan tak ada observer yang bisa memastikan eksistensi dunia lain itu. Tetapi, mengklaim bahwa dunia paralel itu tidak ada tidak lebih valid ketimbang mengklaim bahwa Bumi tidak mungkin berotasi mengelilingi Matahari karena kita tidak bisa merasakan pergerakannya," tulis John Gribbin dalam "The Many-Worlds Theory, Explained" yang terbit di MIT Press.
Teori-teori tentang multiverse bukannya tanpa kritik. Dalam "A Brief History of the Multiverse" yang terbit di New York Times pada 2003, kosmolog Paul Davies menyebut gagasan mengenai multiverse tak saintifik. Pasalnya, tak ada alat yang bisa menguji eksistensi semesta paralel itu.
"Penjelasan-penjelasan ekstrem mengenai multiverse ialah pengingat mengenai diskusi-diskusi teologi. Menyatakan keberadaan semesta yang tak terlihat untuk menjelaskan hal-hal tak logis yang kita bisa lihat ialah sama saja dengan menuntut eksistensi Sang Pencipta yang tak terlihat. Teori multiverse mungkin didandani secara saintifis, tapi itu butuh lompatan kepercayaan yang sama," tulis Davies.
Relevan dengan audiens
Dalam "Why is the movie ‘multiverse’ the new cinematic trend?" di Farout Magazine, Calum Russell menjelaskan kehadiran konsep multiverse dalam film-film teranyar Hollywood bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, kebutuhan para pembuat film untuk menghadirkan kisah-kisah berbeda dari karakter-karakter yang sama yang terbukti memang laku di pasaran.
"Menggabungkan karakter-karakter berbeda dari franchise yang berbeda pula, film-film ini melintasi persepsi batas film blockbuster dan memungkinkannya menjadi sesuatu yang sangat tak terbatas... Multiverse menawarkan keberagaman dalam pembuatan film modern," jelas Russel.
Di lain sisi, menurut Russel, genre multiverse juga ngetren lantaran sejalan dengan situasi yang tengah dialami publik saat. Ia menganalogikan beragam cerita bergenre multiverse lahir dari realita yang secara konstan memborbardir individu dengan konten-konten dan berita bohong secara masif.
"Multiverse menyarankan realitas berbeda yang terlihat lebih nyata. Seperti layaknya kita sedang terjatuh ke dalam sebuah lubang multidimensional, sulit untuk membedakan yang mana atas dan bawah atau realita dengan fiksi murahan. Ini membuat multiverse dalam sinema menjadi pemikat untuk mendistraksi kita," tutur Russel.
Dalam "Why Are Films About the Multiverse Hollywood’s Hottest Trend Right Now?" di Ask.com, Kate Boves sepakat film-film bergenre semesta paralel merefleksikan realita publik saat ini. Secara khusus, ia mengaitkan kebutuhan publik akan dunia yang berbeda saat menjalani hidup pada era pandemi Covid-19.
"Dan ini tidak hanya tren sinematik saja. Saat ini, sejumlah buku best seller, termasuk di antaranya Sea of Tranquility karya Emily St. John Mandel, menyentuh gagasan mengenai multiverse," tulis Boves.
Menurut Boves, film-film bergenre multiverse terutama disukai audiens global lantaran menghadirkan fantasi melarikan diri dari kenyataan. Lewat film-film itu, audiens diingatkan akan pilihan-pilihan yang mungkin mereka ambil sebelum pandemi merebak dan mengubah hidup mereka.
"Meski mungkin sulit membayangkan apa yang kita pilih lakukan secara berbeda, terlepas dari itu, akan sangat menyenangkan bisa bermimpi atau merasa hidup tanpa beban melalui film-film multiverse," tutur Boves.