Surau digadang-gadang menjadi wadah pendidikan tradisional yang lebih mengedepankan norma adat, etika, dan moral. Dalam tradisi Minangkabau, anak laki-laki yang sudah baligh dilarang tinggal di Rumah Gadang (Dobbin 199: 142). Konsekuensinya, surau menjadi tempat berkumpulnya para pemuda dan remaja di Tanah Minang, yang ingin tinggal seraya mempelajari ilmu agama. Lantaran inilah, surau kemudian berkembang menjadi potret bangunan kebudayaan, yang telah melengkapi hidup manusia di dalamnya.
Menurut Karel A. Steenbrink, surau merupakan kelanjutan alam pikiran lama yang masih eksis hingga saat ini. “Surau berasal dari India, sebelum datangnya islam dulunya digunakan sebagai tempat pengajaran agama Hindu-Budha” (Steenbrink, 1994: 20-21).
Sejak aliran tarekat besar seperti Nasabandiyah, Satariyah, dan Qodariyah berkembang di Minangkabau pada abad ke-18, surau berubah peran menjadi tempat pendidikan bagi para calon mubalig Islam yang ingin memperdalam ilmu agamanya. Seperti halnya yang dijelaskan Christine Dobbin dalam bukunya bertajuk “Kebangkitan Islam yang Sedang Berubah, Sumatra Tengah (1784-1847)”. Pendidikan tradisional yang menggunakan sistem halagah (pengajian) ini, awalnya tidak mengenal sistem pembagian kelas seperti di lembaga pendidikan pada umumnya.
Surau mengalami transformasi menjadi sekolah atau madrasah pada awal abad ke-20, sejak hadirnya para kaum intelektual muda islam, yang kala itu baru pulang menimba ilmu dari Mekkah dan Madinah. Alhasil, mereka yang telah mengenyam pendidikan Islam ala Timur Tengah tersebut, mengadopsinya ke dalam sistem pendidikan tradisional di Minangkabau.
Namun jika ingin membahas perkembangan pendidikan islam di Minangkabau, naif rasanya jika menyampingkan peran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, yang dikenal sebagai guru yang telah banyak melahirkan ulama progressif di Indonesia.
Sebut saja nama –nama seperti Abdul Karim Amarullah, Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad dan Haji Muhammad Thaib Umar, adalah ulama yang dianggap mepelopori lahirnya “Gerakan Kaum Muda” yang ada di Minang. Munculnya gerakan ini pun di kemudian hari menimbulkan reaksi dari para ulama tarekat Kaum Tua, yang cenderung konservatif.
Sejak saat itu, pertentangan antara generasi muda dan kaum tua Islam di Tanah Minang, yang eksesnya melahirkan perebutan pengaruh di masyarakat Bukittinggi dan sekitarnya. Kaum muda ini berusaha mereformasi bahkan mendekonstruksi tatanan yang sejak lama didominasi orang tua berpaham Ahlussunnah wal Jamaah.
Kaum muda menganggap, ajaran orang tua yang cenderung bersinggungan dengan budaya lokal, seperti yang terpatri dalam semangat “Adat besandi syara, syara bersand Kitabullah,” sudah tidak sesuai ajaran normatif keislaman. Sontak, gerakan muda yang mengusung semangat “kembali kepada Al quran dan as-Sunnah,” muncul.
Bagi kaum tua, gerakan ini dianggap dapat merusak tatanan paham yang sudah tertata rapi di Minangkabau. Pasalnya, seperti yang disebutkan sebelumnya, gerakan tersebut berusaha melakukan penetrasi budaya melalui pendidikan yang didapatnya dari Timur Tengah
Pertentangan ihwal eksistensi ini pun merambah ke dunia pendidikan di Bukittinggi yang sebelumnya bercorak tradisional dengan Surau sebagai simbolnya. Hal ini pun persis seperti apa yang dikatakan oleh Arnold J. Toynbee dalam teorinya berjudul ‘Tantangan dan Respon”. Menurutnya, dialektika sejarah dan budaya berjalan karena adanya tantangan dan respons, baik dalam tataran ide maupun gerakan.
Ulama muda berpandangan, pendidikan sudah selayaknya menyesuaikan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, belakangan mereka mengadopsi pola pendidikan barat (Belanda) dengan catatan tidak meninggalkan fitrahnya terhadap Al- Quran dan Hadits.
Melihat geliat gerakan kaum muda yang sangat progresif dalam dunia pendidikan--sebagai bentuk penolakan dari ajaran lama tersebut--orang tua akhirnya pun merespons dengan mendirikan organisasi pendidikan islam bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) pada 5 Mei 1928.
Dalam perkembangannya, gerakan muda ini berhasil mempengaruhi pendidikan surau tradisional untuk mengubah sistem pendidikannya ke arah yang modern, dengan mengganti sistem halaqah ke sistem barat yang menggunakan kelas berjenjang (Madrasah) dengan segala pernak-perniknya, (meja, kursi papan tulis dan tambahan materi pelajaran umum).
Seperti yang disebutkan dalam karya Karel Stenbrink bertajuk “Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern” menyebutkan, PERTI sudah memiliki 300 sekolah yang tersebar di seantero Nagari Minang dengan jumlah murid sekitar 45.000 orang pada 1942.
Meskipun demikian, tidak semua surau berubah menjadi madrasah, pasalnya sebagian surau yang ada di pedesaan masih bertahan dengan sistem halaqah, binaan guru tarekat di pedesaan. Adanya perbedaan pandangan kaum tua dan muda itu, bermuara kepada dualisme pendidikan yang ada di Bukitinggi.
Respons masyarakat
Ilustrasi santri di pesantren./ Rapi Films
Dualisme pendidikan yang terjadi sebagai dampak perbedaan haluan tersebut, membawa pengaruh besar terhadap perubahan sosial di Bukittinggi. Pasalnya fungsi surau perlahan belakangan digantikan dengan pendidikan partikelir, seperti Arabiah School, Sumatra Thawalib, Perguruan INS Kayutanam, yang rerata mengadopsi serta mengintegrasikan model pendidikan barat sebagai ciri khasnya.
Uniknya, dengan adanya dualistik tersebut, masyarakat justru bersikap adaptif terhadap kehadiran pendidikan kala itu. Oleh karena itu, menurut Irhas Fansuri Mursal, lahirlah tokoh-tokoh intelektual islam nan nasionalis seperti Buya Hamka, Muhammad Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Agus Salim, dan lainnya.
Nama-nama beken tersebut berhasil menyerap kedua model pendidikan ini, seperti apa yang dikatakan oleh Agus Salim dalam biografinya “Agus Salim Riwayat dan Perjuangannya”. Di dalamnya disebutkan, “Pada pagi harinya pergi ke sekolah Belanda dan malam harinya pergi ke surau untuk mengaji.”