Selain memberikan ancaman pada sektor sosial, ekonomi, dan kesehatan, terdapat ancaman lainnya yang timbul akibat pandemi Covid-19, yaitu peningkatan limbah medis. Saat ini, total timbulan limbah medis sejak Maret 2020 hingga Agustus 2021 meningkat dengan signifikan, sebesar 20.110,585 ton per kubik.
Timbulan limbah medis ini dihasilkan dari berbagai sumber, seperti fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), rumah tangga, pusat isolasi mandiri/karantina, vaksinasi Covid-19, dan pusat uji deteksi Covid-19.
Sebetulnya apa sih yang dimaksud limbah B3 medis padat? Limbah B3 medis padat adalah bahan sisa hasil kegiatan yang tidak digunakan kembali yang berpotensi terkontaminasi oleh zat yang bersifat infeksius atau kontak dengan pasien dan/atau petugas di fasyankes yang menangani pasien Covid-19.
Yang termasuk limbah medis adalah, masker bekas, sarung tangan bekas, perban bekas, tisu bekas, plastik bekas minuman dan makanan, kertas bekas makanan dan minuman, alat suntik bekas, set infus bekas, alat pelindung diri bekas, sisa makanan pasien, dan lain-lain yang berasal dari kegiatan pelayanan di fasyankes.
Limbah medis terbagi atas sembilan kategori, di antaranya limbah infeksisius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah tabung gas, dan limbah kandungan logam berat yang tinggi.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Nasional (Bappenas) Medrilzam mengatakan, limbah medis semakin lama semakin menumpuk. Bahkan, hal ini diluar perkiraan. Saat ini, terdapat rumah sakit dengan insinerator berizin (122 unit) untuk mengolah limbah B3 medis di Indonesia. Tak hanya mengolah sendiri, rumah sakit juga dapat mengoper limbah ke jasa pengolah yang juga menggunakan insinerator (42 unit). Kemudian, juga terdapat rumah sakit yang mengolah limbah dengan insinerator tidak berizin (112 unit).
Selain itu, Medrilzam mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan major project LB3 medis sedang membangun insinerator di 32 provinsi.
“Rencananya memang ada di 32 provinsi nanti. Sekarang ini baru ada sekitar 10 yang operasional dan dibangun diseluruh provinsi. Setidaknya harus ada 1 unit pengolah limbah B3 medis di tiap provinsi, jangan sampai tidak ada,” katanya dalam telekonferensi, Selasa (23/8).
Hingga saat ini, telah banyak dasar hukum pengelolaan limbah b3 medis, yang terbaru adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Harapannya, dengan adanya banyak dasar hukum ini dapat mengatur persoalan-persoalan B3 medis ini secara lebih jelas.
Namun, Medrizal memaparkan, terdapat tantangan-tantangan pengelolaan limbah medis. Pertama, terbatasnya fasilitas pengelolaan limbah media yang memenuhi standar. Selanjutnya, kurangnya sinkronisasi pendataan timbulan dan pengelolaan limbah medis antarpemerintah pusat dan antara pemerintah pusat dengen pemerintah daerah (pemda). Kemudian, belum meratanya distribusi fasilitas pengolahan limbah medis, masih terfokus pada Pulau Jawa.
“Data ini masih belum solid banget. Dari informasi yang diterima dari fasyankes, termasuk juga informasi yang kami terima dari seluruh Indonesia belum sinkron satu sama lain. Termasuk juga distribusi fasilitas pengolahan limbah B3 medis ini masih banyak di Jawa,” ungkapnya.
Di sisi lain, terbatasnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemda untuk biaya operasional pengelolaan limbah medis. Lalu, terbatasnya kemampuan pemda dalam pengelolaan limbah medis terutama dari sumber non-fasyankes (rumah tangga, kawasan industri, dan apartemen). Terakhir dan yang paling penting, belum terciptanya kebiasaan di masyarakat untuk memilah sampah medis sehingga sampah diangkut dalam keadaan tercampur.
Sebagai anak muda, Madrizal menjelaskan, terdapat empat langkah yang dapat dilakukan, yaitu.
1. Patuh menerapkan protokol kesehatan 6M. Mulai dari memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas, dan menghindari makan bersama.
2. Mengelola limbah medis sesuai langkah-langkah yang dianjurkan untuk mempermudah tahapan pengelolaan selanjutnya. Misalnya, masker dari orang sehat dibuang dengan cara menyobek masker dengan dua bagian dan didisinfeksi terlebih dahulu.
3. Membantu aparatur desa/kelurahan dan petugas puskesmas dengan menginisiasi pendataan dan mengumpulkan kantong limbah medis, dari rumah lokasi isoman dan mengajak komunitas untuk meminta pengambilan kantong limbah medis oleh Dinas Lingkungan Hidup.
4. Memanfaatkan media sosial untuk berbagi informasi tentang limbah medis. Dengan membuat konten yang menarik dan memanfaatkan berbagai platform, anak muda dapat menarik perhatian dan menyadarkan lebih banyak orang tentang pentingnya isu timbulan limbah medis di masa pandemi ini.
“Harus ada reformasi besar-besaran dalam pengelolaan sampah kita, gak bisa begini-begini lagi. Karena kondisinya sudah darurat, bukan hanya darurat limbah medis, tetapi darurat sampah,” pungkasnya