Vape lebih aman bagi kesehatan dinilai cuma bualan
Pro kontra soal bahaya atau tidak penggunaan vape masih terus berlangsung. Sebelumnya, Ketua dan pendiri Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Aryo Andriyanto mengklaim, konsumsi vape efektif untuk mendorong kecenderungan perokok untuk berhenti merokok.
Di samping itu, pengguna vape (vapers) pun mengaku merasa lebih sehat daripada mengonsumsi rokok konvensional.
Terhadap pandangan tersebut, dokter spesialis paru dr. Feni Fitriani Taufik menilai hal itu bualan promosi semata. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) justru mendukung imbauan WHO yang melarang rokok elektronik digunakan perokok sebagai alat berhenti merokok.
“Tidak ada penelitian yang konsisten menyebut bahwa rokok elektronik efektif untuk membantu berhenti merokok. Rokok elektronik tidak direkomendasikan sebagai alat untuk berhenti merokok,” tutur Feni.
Dia juga membantah hal itu dengan membandingkan rokok elektronik dengan fenomena “jaket warsito”. Jaket atau rompi antikanker yang digagas oleh Dr Warsito Purwo Taruno pada 2010 silam menyedot perhatian publik karena diakui mujarab mengatasi kanker.
Doktor peraih BJ Habibie Technology Award tersebut mencetuskan rompi antikanker yang memanfaatkan Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT).
“Bukan berarti karena banyak yang memberikan testimoni, itu menjadi bukti. Untuk mengklaim bahan (vape) itu aman, tidak mungkin menggeneralisir hanya dari pengalaman satu-dua orang,” ucap dr Feni.
Dibandingkan dengan di Amerika Serikat, Feni memandang pengawasan terhadap produk rokok elektronik di Indonesia sangat lemah. Food and Drugs Association (FDA) sebagai badan pengawas obat dan makanan di AS juga telah melarang penjualan rokok elektronik dengan rasa yang menarik bagi anak-anak dan remaja. Namun, sejak populer di Indonesia pada 2013, produk rokok elektronik masih bebas diperjual-belikan.
Pro kontra soal bahaya atau tidak penggunaan vape masih terus berlangsung. Sebelumnya, Ketua dan pendiri Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Aryo Andriyanto mengklaim, konsumsi vape efektif untuk mendorong kecenderungan perokok untuk berhenti merokok.
Di samping itu, pengguna vape (vapers) pun mengaku merasa lebih sehat daripada mengonsumsi rokok konvensional.
Terhadap pandangan tersebut, dokter spesialis paru dr. Feni Fitriani Taufik menilai hal itu bualan promosi semata. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) justru mendukung imbauan WHO yang melarang rokok elektronik digunakan perokok sebagai alat berhenti merokok.
“Tidak ada penelitian yang konsisten menyebut bahwa rokok elektronik efektif untuk membantu berhenti merokok. Rokok elektronik tidak direkomendasikan sebagai alat untuk berhenti merokok,” tutur Feni.
Dia juga membantah hal itu dengan membandingkan rokok elektronik dengan fenomena “jaket warsito”. Jaket atau rompi antikanker yang digagas oleh Dr Warsito Purwo Taruno pada 2010 silam menyedot perhatian publik karena diakui mujarab mengatasi kanker.
Doktor peraih BJ Habibie Technology Award tersebut mencetuskan rompi antikanker yang memanfaatkan Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT).
“Bukan berarti karena banyak yang memberikan testimoni, itu menjadi bukti. Untuk mengklaim bahan (vape) itu aman, tidak mungkin menggeneralisir hanya dari pengalaman satu-dua orang,” ucap dr Feni.
Dibandingkan dengan di Amerika Serikat, Feni memandang pengawasan terhadap produk rokok elektronik di Indonesia sangat lemah. Food and Drugs Association (FDA) sebagai badan pengawas obat dan makanan di AS juga telah melarang penjualan rokok elektronik dengan rasa yang menarik bagi anak-anak dan remaja. Namun, sejak populer di Indonesia pada 2013, produk rokok elektronik masih bebas diperjual-belikan.
Setop bandingkan vape dan rokok
Klaim penggunaan rokok elektronik atau vape lebih aman dibandingkan merokok dibantah oleh salah satu Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Vape tetap mendatangkan risiko kesehatan bagi penggunanya terutama gangguan pernapasan akut.
Ketua PDPI DR. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K) kepada Alinea.id mengatakan rokok elektronik dapat menimbulkan gangguan pernapasan akut berat. Bahkan untuk pengguna vape ada risiko kesehatan yang bisa menyebabkan kematian yakni VAPI atau vape associated pulmonary injury.
Maka, PDPI pun sepakat dengan imbauan Badan Kesehatan Dunia atau WHO yang menyatakan rokok elektronik sebagai produk “undoubtedly harmful and should therefore be subject to regulation” alias rokok elektronik berbahaya dan harus diatur.
Feni pun menjelaskan zat berbahaya yang terdapat dalam vape. Selain mengandung nikotin dan zat perasa, cairan dalam vape memuat logam berat dan zat karsinogenik. Zat karsinogenik inilah yang dapat memicu penyakit kanker.
“Bahaya bahan karsinogen ini tak tergantung banyak atau sedikit. Kalau sudah bersifat karsinogen, pasti akan berisiko kanker,” kata Feni.
Feni melanjutkan, saluran napas yang dimasuki bahan karsinogenik akan merusak jaringan paru yang mengakibatkan efisema. Akibatnya, pengguna vape akan mudah batuk-batuk dan terserang asma.
“Menurut penelitian laboratorium, rokok elektronik akan menyebabkan peradangan pada sistem paru, perusakan sistem epitol saluran napas, dan daya tahan atau imunitas jaringan lokal napas menurun sehingga bisa membuat infeksi,” terang dr Feni.
PDPI, kata Feni, bersikap jelas bahwa rokok elektronik maupun konvensional sama-sama berbahaya. Ia juga meminta agar keduanya tidak perlu dibanding-bandingkan.