close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gedung Galeri Nasional Indonesia, Jakarta./Foto wikipedia.org
icon caption
Gedung Galeri Nasional Indonesia, Jakarta./Foto wikipedia.org
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 22 Desember 2024 06:11

Di balik batalnya pameran lukisan Yos Suprapto

Pembatalan mendadak pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia menjadi kontroversi.
swipe

Seniman Yos Suprapto gagal mengadakan pameran lukisan tunggal di Galeri Nasional Indonesia, yang seharusnya diadakan dari 19 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025. Pameran bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” itu ditunda lantaran ada perbedaan pandangan dengan kurator yang ditunjuk Galeri Nasional Indonesia, Suwarno Wisetrotomo.

Awalnya, kurator hanya memintanya menyensor dua lukisan, yang dianggap terlalu vulgar dan tak sesuai dengan tema pameran. Lantas, tiga jam menjelang pameran dihelat, kurator kembali meminta tiga lukisan lainnya diturunkan.

Pembatalan mendadak pameran yang seharusnya menampilkan 30 lukisan Yos itu menjadi perbincangan di media sosial. Dianggap sebagai aksi pemberedelan atas kritik seniman terhadap pemerintah. Diketahui, lima lukisan yang diminta diturunkan, menampilkan sosok mirip presiden ketujuh Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi.

Menurut sosiolog dari Universitas Jember, Muhammad Iqbal, permintaan kurator untuk menurunkan lima lukisan karya Yos merupakan bentuk pemberedelan dan pengekangan atas kebebasan berekspresi dalam karya seni. Dalih kurator kalau lima lukisan itu tidak sesuai tema, terkesan dipaksakan dan sangat tampak ada tekanan besar tertentu di luar nalar keahlian.

“Padahal, dalam sudut pandang awam, kelima lukisan itu sejatinya masih kontekstual dan sangat relevan dengan tema pameran, yakni ‘Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan’,” ujar Iqbal kepada Alinea.id, Sabtu (21/12).

“Tafsir keahlian kurator yang menilai lima lukisan itu terkait sosok politik yang ia anggap tak sesuai tema pameran, justru terkesan sangat politis ketimbang penilaian estetik.”

Iqbal menilai, bisa jadi lewat lima lukisan itu, Yos justru sedang menegaskan keutuhan peraturan antara sistem kebijakan dan kompleksitas reforma agraria dengan hak kedaulatan pangan.

“Pasal 28A UUD 1945 jelas mengatur bahwa ‘setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya’,” ucap Iqbal.

“Maka, ekspresi lima lukisan Yos Suprapto lugas berbicara tentang jeritan petani guram, ketimpangan dan penguasaan lahan ekstraktif, serta kontras politik pembangunan proyek merkusuar dengan pemberangusan ekosistem lingkungan dan hak ulayat atas tanah rakyat.”

Iqbal menilai, ada pesan hak asasi yang hakiki, yang hendak disuarakan Yos dalam lukisannya. Hal itu justru penting sebagai ruh kebijakan untuk pemegang mandat kekuasaan ketika hendak membentang peta jalan kedaulanan pangan.

“Namun sangat disayangkan, kebebasan ekspresi adilihung kinarya seni harus berujung pada pembatalan pameran secara sepihak,” kata Iqbal.

Iqbal mengatakan, tampak tabiat rezim pemerintahan Prabowo sudah mulai muncul. Meski dia melihat, ada kemungkinan “pemberedelan” ini hanya “drama” semata, sehingga seolah ada pembungkaman karya seni.

“Namun sejatinya, terkandung drama untuk melambungkan citra bahwa pemerintah tampil bak pahlawan pembela kebebasan karya seni lukis,” tutur Iqbal.

Sementara itu, pengamat politik Ray Rangkuti menduga, menjaga demokrasi sekarang tampaknya akan sulit. Sebab, pemerintahan Prabowo-Gibran hanya memahami demokrasi sebatas aturan formal. Demokrasi dipandang hanya sebatas ada pemilu, partai politik, dan tidak ada orang hilang.

“Di atas itu akan sulit diharapkan. Termasuk di dalamnya menjamin kebebasan untuk berekspresi bagi warga negara, termasuk para seniman,” ujar Ray, Sabtu (21/12).

“Bagi mereka, ekspresi tetap harus terkontrol. Dikontrol oleh cara pandang mereka terhadap tatanan sosial dan politik. Dalam cara pandang seperti ini, maka pergelaran seni apa pun bentuknya, harus sesuai dengan cara pandang di atas, kurang lebih sama dengan Orde Baru.”

Ray melihat, alasan penertiban ekspresi politik biasanya akan terdistribusi dengan cepat di kalangan birokrat dan politisi Istana.

“Seperti yang terjadi di Galnas (Galeri Nasional Indonesia). Tak perlu aparat untuk menyetopnya. Cukup wamen (wakil menteri) saja tidak hadir, (pintu) Galnas dikunci, maka selesai. Efektif,” ucap Ray.

Padahal, menurut Ray, lukisan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan presiden yang sekarang menjabat. Lukisan itu hanya menyorot kiprah mantan presiden Jokowi.

“Pemerintah yang serba takut akan kebebasan, biasanya pemerintah yang akan takut menghadapi masa depan,” ucap Ray.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan