Di balik gejala depresi calon dokter spesialis
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan skrining kesehatan jiwa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal--rumah sakit yang berada di bawah pengelolaan Kemenkes--pada 21, 22, dan 24 Maret 2024. Hasilnya, skrining yang dilakukan pada 12.121 calon dokter spesialis dengan menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9, sebanyak 22,4% mengalami gejala depresi.
Rinciannya, 75 peserta atau 0,6% mengalami depresi berat, 178 peserta atau 1,5% depresi sedang-berat, 486 peserta atau 4% depresi sedang, dan 1.977 peserta atau 16,3% depresi ringan.
Bahkan, 3,3% calon dokter spesialis merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri. Program studi yang melaporkan calon dokter spesialis dengan gejala depresi terbanyak, yakni ilmu penyakit mulut (53,1%), ilmu kesehatan anak (41,3%), dan bedah plastik (39,8%).
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, tujuan utama skrining itu adalah mencoba untuk melihat apakah ada deteksi awal terkait kesehatan mental pada peserta PPDS. Lalu, mencermati laporan perundungan yang terjadi di rumah sakit vertikal untuk peserta calon dokter spesialis. Sebab, katanya, perundungan bisa pula menjadi indikasi awal dari gangguan kesehatan mental.
"Jadi, sekali lagi, ini adalah deteksi awal dan (untuk mengetahui) apakah perundungan ini menjadi salah satu penyebab depresi," ujar Siti kepada Alinea.id, Selasa (16/4).
"Periode studinya ini kita hanya menyebarkan 10 pertanyaan, sesuai dari sana ya (lapangan) dengan metode yang ada dan skriningnya dilakukan sekitar satu bulan yang lalu."
Siti menyebut, skrining tersebut merupakan deteksi dini. Hasil yang didapatkan, kata dia, harus ditindaklanjuti dengan diagnosis untuk membuktikan apakah temuan Kemenkes benar-benar mengarah ke gejala depresi. Siti menambahkan, Kemenkes punya layanan konseling untuk permasalahan kesehatan mental dengan menghubungi 119.
"Artinya, bisa ke sana dan mendapatkan layanan konseling. Kalau untuk masing-masing dokter spesialis itu tidak ada," ujar dia.
Dihubungi terpisah, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Tjandra Yoga Aditama menyebut, temuan itu tak bisa dijadikan acuan beberapa calon dokter spesialis mengalami depresi. Alasannya, skrining dilakukan dengan pertanyaan secara online, bukan wawancara langsung.
"Artinya, itu harus ada pembandingnya. Jangan-jangan kalau pertanyaan (kuesioner) itu disebarkan ke kelompok lainnya, bisa jadi angkanya akan segitu juga," kata Tjandra, Selasa (16/4).
"Jadi, kita tidak bisa bilang, itu (angka depresi) tinggi atau rendah karena kita tidak memiliki perbandingannya dengan metode dan pertanyaan yang sama, dan ditanyakan kepada kelompok lainnya."
Pembanding yang dimaksud Tjandra, dilakukan metode yang sama kepada peserta pendidikan lain. Misalnya, kepada mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) atau universitas ternama dengan mutu pendidikan yang tinggi. Jika ada pembanding, ujar Tjandra, maka akan ketahuan apakah angka depresi memang hanya pada peserta PPDS atau memang dunia pendidikan secara umum.
"Bahkan, akan baik kalau metode penilaian depresi yang sama juga dilakukan pada masyarakat umum," kata dia.
"Tekanan ekonomi dan sosial di masyarakat, mungkin akan memberi gambaran depresi pula, dan bukan tidak mungkin data pada peserta program pendidikan dokter spesialis menggambarkan data pada populasi secara umum."
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) itu menambahkan, gejala depresi pada PPDS di luar negeri angkanya lebih tinggi, rata-ratanya sebesar 28,8%. Metode penelitiannya juga bukan satu, tetapi beberapa penelitian yang digabung menjadi satu.
"Dan keluarlah angka berkisar dari 20,9% sampai 43,2%, rata-ratanya 28,8%," tutur dia. "Metodenya itu bukan hanya dikirimkan lewat handphone dan langsung dijawab, ini ditanya secara langsung."
Tjandara menjelaskan, untuk menentukan faktor yang mendorong seseorang itu mengalami depresi atau tidak, harus dilakukan penelitian dengan pembanding. Selanjutnya, dilakukan analisa kualitatif. Menurutnya, analisa kualitatif yang rinci amat penting supaya masalah yang ada dapat terlihat secara gamblang.
"Dengan demikian, maka baru kita akan dapat suatu data yang evicence based untuk keputusan tindak lanjutnya," tutur Tjandra.
Di sisi lain, Tjandra justru khawatir, orang-orang akan mengambil kesimpulan ada sekitar 2.000 calon dokter spesialis yang depresi. Lalu, timbul rasa pesimis dalam mengobati masyarakat.
"Kan akhirnya jadi begitu kesan masyarakat, yang ditakutkan," ucap Tjandra.
Ia menuturkan, prinsip dasar ilmu kedokteran adalah mengobati berdasarkan diagnosis yang jelas. Maka, ada atau tidaknya depresi pada PPDS atau siapa pun, perlu didiagnosis oleh pakar, yakni dokter kejiwaan atau psikolog.
"Karena PPDS ini ada di rumah sakit vertikal Kemenkes, maka rumah sakit-rumah sakit itu tentu ada pelayanan kesehatan jiwa yang lengkap, sehingga diagnosis pasti dapat ditegakkan sesuai kaidah ilmu yang baik," kata Tjandra.
Tjandra menyarankan, mereka yang mengalami gejala depresi, perlu segera mendapat penanganan. Bila depresi terjadi juga di berbagai program pendidikan lainnya atau masyarakat, ia bilang, bukan tak mungkin perlu program pengentasan depresi yang lebih luas.
"Selain itu, pemerintah juga perlu memberi sarana dan kemudahan agar para PPDS dapat menjalankan pendidikannya dengan baik," ujar dia.
"Ingat, tenaga dokter dan dokter spesialis amat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan kita."