close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi orang main media sosial./Foto Foundry/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi orang main media sosial./Foto Foundry/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Media Sosial
Senin, 16 Desember 2024 16:00

Di balik brain rot era digital

Istilah brain rot (“pembusukan” otak) populer selama tahun ini, dipilih sebagai Oxford Word of the Year 2024.
swipe

Oxford University Press memilih istilah brain rot (“pembusukan” otak) sebagai Oxford Word of the Year 2024, setelah pemungutan suara publik yang melibatkan lebih dari 37.000 orang. Istilah itu didefinisikan sebagai kemerosotan mental dan intelektual seseorang akibat konsumsi berlebihan terhadap materi—terutama konten daring di media sosial—yang dinilai remeh atau berkualitas rendah.

Pertama kali istilah brain rot secara tak langsung digunakan pada 1854 dalam buku Walden karya Henry David Thoreau. Dalam buku itu, Thoreau mengkritik kecenderungan masyarakat untuk merendahkan ide-ide yang kompleks—atau yang bisa ditafsirkan dalam banyak cara—demi yang sederhana. Dia melihat hal itu sebagai indikasi penurunan umum pada mental dan intelektual.

Peneliti media dan remaja di University of Oslo, Emilie Owens, dalam Psyche mengatakan, istilah itu berasal dari video game The Elder Scrolls V: Skyrim, yang dirilis pada 2011. Dalam game itu, karakernya bisa terjangkit penyakit yang dikenal sebagai brain rot.

“Namun, terlepas dari kisah-kisah asal-usul yang dipertanyakan ini, sebagian besar sumber setuju brain rot hanyalah salah satu dari sekian banyak istilah slang yang muncul dan dipopulerkan generasi alpha, yang lahir antara tahun 2010 hingga saat ini,” tulis Owens.

Selama 12 bulan terakhir, sebut Oxford University Press, istilah itu punya makna baru di era digital. Awalnya populer di media sosial, terutama TikTok, di kalangan generasi Z dan alpha, brain rot kini digunakan secara lebih luas.

Istilah tersebut sudah digunakan secara lebih spesifik dan konsisten dalam kaitannya dengan budaya daring. Sering digunakan dengan cara yang lucu atau merendahkan diri oleh komunitas daring. Istilah itu pun sangat terkait dengan jenis konten tertentu, seperti serial video Skibidi Toilet dari kreator Alexey Gerasimov yang menampilkan toilet humanoid dan meme Only in Ohio yang merujuk pada insiden aneh di negara bagian Amerika Serikat itu.

“Konten ini telah memunculkan ‘istilah pembusuk otak’, seperti ‘skibidi’, yang berarti sesuatu yang tidak masuk akal dan ‘Ohio’, yang berarti sesuatu yang memalukan atau aneh,” tulis Oxford University Press.

Owens menulis, istilah brain out mencakup konten daring “konyol” tadi, serta semua konten lainnya yang termasuk konyol, bodoh, atau membuang-buang waktu. New Port Institute menyebut, perilaku brain rot meliputi bermain video game secara kompulsif, kebiasaan scrolling tanpa tujuan atau zombie scrolling, mencari informasi yang meresahkan dan berita negatif atau doomscrolling, serta kecanduan media sosial.

Dilansir dari The Guardian, banyak penelitian dari berbagai lembaga, termasuk sekolah kedokteran Harvard, University of Oxford, dan King’s College London menemukan bukti, internet menyusutkan materi abu-abu di otak kita, memperpendek rentang perhatian, melemahkan memori, dan mendistorsi proses kognitif kita.

Tahun 2018, data selama satu dekade yang dianalisis para psikolog terkemuka di Stanford University, menurut The Guardian, menemukan orang-orang yang sering menggunakan banyak platform daring mengalami penurunan daya ingat dan rentang perhatian.

Kepada Fox News, ahli saraf dan penulis Unstoppable Brain, Kyra Bobinet mengatakan, bagian otak tertentu yang disebut habenula bertanggung jawab atas terjebaknya kita dalam pengguliran tanpa akhir di media sosial.

Habenula adalah bagian utama otak yang terlibat dalam berbagai fungsi penting, termasuk motivasi dan pengambilan keputusan. Namun, saat diaktifkan, area ini juga dapat menghancurkan motivasi kita.

“Intinya, saat Anda mengetahui sesuatu, Anda seharusnya melakukan sesuatu, tapi Anda malah melakukan hal lain seperti doomscrolling,” kata Bobinet.

Selain itu, menggulir di media sosial merupakan cara untuk “memisahkan diri” dan mengistirahatkan otak usai seharian beraktivitas. Hal ini adalah perilaku menghindar, yang dikendalikan juga oleh habenula.

Menurutnya, inilah alasan kecandian media sosial bisa terbentuk. Bobinet memperingatkan, bagian otak ini dapat membuat berhenti scrolling terasa “sangat menyakitkan.” Imbasnya, menyebabkan hilangnya motivasi.

New Port Institute menyebut, doomscrolling memengaruhi sistem penghargaan otak karena seseorang menjadi cenderung lebih memprioritaskan dan mengingat informasi negatif ketimbang yang positif. Doomscrolling pun membuat orang tak peka terhadap hal negatif. Lalu, menggulir berulang kali juga berdampak negatif pada kemampuan mental seseorang karena mengganggu kapasitas otak untuk mengodekan dan menyimpan informasi.

Bobinet mengatakan, tak ada solusi yang cocok untuk semua orang dalam menghindari brain rot. Akan tetapi, kuncinya adalah mempelajari apa yang terbaik bagi masing-masing individu, yang melibatkan penyempurnaan, modifikasi, dan penyesuaian seiring berjalan waktu.

“Manusia sangat tangguh,” kata Bobinet kepada Fox News. “Begitu kita mengetahui kebenaran tentang tubuh kita, maka kita dapat melakukan sesuatu untuk mengatasinya.”

Bagaimana pun, istilah brain rot dipopulerkan secara daring oleh kaum muda yang justru paling berisiko terkena dampaknya. Meski begitu, Owens dalam Psyche menuturkan, peserta penelitiannya tentang TikTok yang berasal dari sebuah sekolah internasional di Oslo—terdiri dari remaja berusia 16 dan 17 tahun—menyadari kalau brain rot sama dengan pemborosan waktu. Namun, mereka tidak menunjukkan rasa takut tentang hal itu.

“Mereka memberi tahu saya tentang banyak hal lain di TikTok dan internet secara umum, yang membuat mereka khawatir atau kesal,” ujar Owens. “Seperti masalah iklim.”

Menurut Owens seorang peserta penelitiannya mengatakan, dari TikTok dia dapat dengan mudah melihat keadaan di tempat lain di dunia tentang masalah iklim, sehingga bisa belajar dari sana. Bagi para remaja, kata Owens, brain rot di TikTok adalah salah satu cara untuk menghilangkan semua stres. Ini merupakan jenis partisipasi dalam dunia digital, yang memungkinkan mereka menikmati konten yang tak masuk akal dan mematikan otak mereka untuk sementara waktu.

Di sisi lain, menurut Owens, kalau menyangkut keterlibatan remaja di TikTok, brain rot menunjukkan bahwa anggota generasi z dan alpha punya pendekatan yang sangat canggih untuk menavigasi kompleksitas kehidupan di media.

“Sama seperti remaja pada tahun 1980-an menavigasi perubahan lanskap ekonomi melalui video game dan komsumsi video musik mereka, atau generasi sebelumnya yang melawan nilai-nilai sosial yang membatasi dengan menggunakan radio atau televisi bajakan, remaja saat ini menggunakan TikTok dan media digital lainnya untuk bernegosiasi dan memahami dunia yang kompleks yang sangat sering dirancang untuk orang dewasa,” tulis Owens dalam Psyche.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan