Di balik kasus kekerasan anak terhadap orang tua
Belakangan ini, terjadi beberapa kasus kriminal yang miris, yakni tindak kekerasan anak terhadap orang tuanya sendiri gara-gara masalah sepele. Misalnya, ER yang berusia 25 tahun, menganiaya ibunya sendiri karena keinginannya dibelikan sepeda motor tak dipenuhi. Peristiwa itu terjadi di Kampung Paya Tumpi Induk, Kabupaten Aceh Tengah pada Rabu (24/4).
Pada Rabu (20/3), di Desa Awang, Kalimantan Selatan, seorang anak membunuh ayahnya hanya karena tak terima ditegur agar menjual kambing pada esok hari. Tak kalah miris, di Medan, Sumatera Utara pada Senin (1/4) seorang anak bernama Wem Pratama, 33 tahun, tega menggorok leher ibunya lantaran kesal dimarahi sang ibu karena mengisap rokok mahal.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Saputra Hasibuan, yang mendorong seorang anak melakukan kekerasan terhadap orang tua karena stres, kemarahan, kekecewaan, gangguan mental dan emosi, pemakaian zat adiktif atau narkoba, atau adanya konflik yang terus berlanjut dengan orang tua.
“Jenis kekerasan yang paling umum terjadi, antara lain pukulan, tendangan, cakar, cekik, dan penganiayaan fisik berat lainnya,” ujar Edi kepada Alinea.id, Selasa (30/4).
“Kekerasan psikologis, seperti ancaman, hinaan, dan permusuhan juga sering terjadi.”
Untuk menghindari terjadinya penganiayaan bahkan pembunuhan, ia menyarankan untuk memperhatikan perubahan sikap anak yang mudah marah, kasar, dan kurang menghormati orang tua. Kemudian, adanya konflik yang semakin sering terjadi, ancaman atau perilaku intimidasi, hingga terjadinya kekerasan fisik ringan pertama.
“Ada pola tertentu pada anak pelaku, seperti riwayat kelakuan nakal sejak dini, tidak taat, sering bermasalah dengan hukum, riwayat penyalahgunaan zat berbahaya, gangguan emosi atau mental, serta kurang mendapat perhatian dan pengawasan orang tua,” kata mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) itu.
Di samping itu, kata dia, faktor lingkungan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akan memengaruhi tingkat stres anak, membuat anak terbiasa dengan model perilaku kekerasan, serta kurangnya kontrol sosial dan nilai antikekerasan.
“Hal ini meningkatkan risiko terjadinya penganiayaan,” tutur Edi.
Senada dengan Edi, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi mengatakan, beberapa faktor yang dapat mendorong seorang anak melakukan tindakan penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap orang tua, antara lain tinggal di tempat yang memiliki tingkat kekerasan yang tinggi, masalah keluarga, konflik yang terus menerus, masalah kesehatan mental, dan trauma.
Di samping tindakan fisik atau verbal, ada juga kekerasan psikologis yang dilakukan dalam kasus penganiayaan anak terhadap orang tuanya. Masalah ekonomi juga tak jarang menjadi pemicunya.
“Seperti tidak dibelikan sesuatu yang diinginkan atau mencoba menguasai harta orang tuanya,” ucap Josias, Rabu (1/5).
Tanda-tanda awal seorang anak yang terindikasi bakal menganiaya orang tua, disebut Josias, antara lain seorang anak tiba-tiba menjadi lebih agresif, gelisah, mengalami perubahan drastis pada pola tidur dan makan, mengalami penurunan performa di sekolah atau pekerjaan, terlihat ada penampilan yang tak terawat, serta mengalami konflik yang berulang..
“Tidak ada pola tertentu yang dapat diterapkan pada semua anak yang cenderung melakukan kekerasan terhadap orang tua,” kata Josias.
“Setiap kasus itu berbeda, dan yang pastinya dipengaruhi oleh faktor individu, keluarga, dan lingkungan yang kompleks.”
Terpisah, psikolog anak, remaja, dan keluarga Sani Budiantini Hermawan menuturkan, jika seorang anak melakukan kekerasan kepada orang tua, maka kemungkinan pola asuh yang dilakukan orang tua adalah pola asuh yang jenisya permisif.
“Di mana anak mengontrol orang tua, orang tua mengalah pada anak, tidak berhasil dalam negosiasi antara orang tua dan anak, serta biasanya anak memiliki power berlebihan terhadap orang tua,” ujar Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani tersebut, Rabu (30/4).
“Ini bertolak belakang dengan parenting style yang kita sebut dengan otoritas di mana justru orang tua yang memiliki peran controller, punya power kepada anaknya, sehingga biasanya orang tua yang melakukan KDRT kepada anak.”
Beberapa hal yang mendorong seorang anak melakukan kekerasan orang tua, salah satunya bisa jadi karena melihat lingkungan, tontonan, dan video gim yang agresif. Seorang anak juga tak bisa mengendalikan emosi, cenderung ekspresif menyerang atau melukai orang lain, dan orang tua pun gagal dalam membantu anak mengontrol emosinya.
“Maka anak akan melakukan kekerasan atau melukai siapa pun di lingkungannya, termasuk kepada orang tuanya.
“Sangat disayangkan, sangat miris karena orang tua menjadi korban anak.”
Sani melanjutkan, sebaiknya pola asuh harus dibenahi agar terjadi hubungan yang sehat antara orang tua dan anak. Bukan anak yang menjadi super power, sedangkan orang tua mengalah. Namun, tetap ada suasana demokratis.
“Ada negosiasi dan komunikasi dua arah. Ada kesepakatan dan di satu sisi, orang tua memiliki otoritasnya untuk melakukan pendidikan yang bersahabat,” tutur Sani.
“Dalam arti kata, orang tua juga harus punya perencanaan target atau approach yang tepat untuk bisa mendidik anak secara tepat dan anak juga bisa menghormati orang tua.”
Selain itu, kata Sani, orang tua perlu membangun kepercayaan. Misalnya, bila anak memiliki rahasia, orang tua tidak membocorkan. Jika anak punya emosi tertentu, orang tua memvalidasinya, tidak mengabaikan dan menghakimi.
“Sehingga anak lebih bisa merasa dimengerti oleh orang tua dan kemudian baru dicari solusi bersama,” kata Sani.
Menurut Sani, psikolog bisa membantu memperbaiki hubungan antara orang tua dan anak dengan bekerja sama melakukan terapi-terapi pada anak terkait pengendalian emosi. Kemudian juga ada sesi support group atau family therapy, di mana orang tua dan anak dilibatkan terus. Lalu, mulai belajar terbuka, tetapi tetap menghormati.
“Dan memiliki family time bersama untuk saling mengenal satu sama lain, berkegiatan bersama, sehingga muncul trusted,” ujar dia.
“Tentunya, itu tidak mudah, tidak singkat. Butuh proses dan waktu, terutama orang tua harus sabar dalam melakukan konsolidasi dengan anak.”
Orang tua juga ada pekerjaan rumah untuk dapat berkomunikasi dan mengendalikan anak dengan cara yang baik dan tepat. “Jadi, tidak ada juga penyalahgunaan wewenang oleh orang tua kepada anak, tapi juga bukan berarti anak mengendalikan orang tua untuk tujuannya,” ucap Sani.
Di sisi lain, menurut Edi, keluarga yang harmonis dan saling mendukung dapat menurunkan risiko kekerasan anak terhadap orang tua.
Sementara Josias menambahkan, dalam menangani kasus kekerasan, langkah-langkah yang diambil meliputi penyelidikan dan mengumpulkan bukti yang diperlukan guna menentukan tindakan hukum yang tepat. Perlindungan kepada korban pun menjadi prioritas, dengan menerapkan tindakan pencegahan, seperti perbaikan hubungan keluarga atau memberikan perlindungan sementara.
“Untuk memastikan keadilan, pelaku akan dikenai sanksi hukum yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan,” ujar Josias.
“Selain itu, adanya dukungan dan layanan rehabilitasi juga disediakan untuk membantu anak dan keluarga dalam mengatasi masalah yang mendasari terjadinya kekerasan tersebut.”