close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi hubungan sepasang kekasih./Foto geralt/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi hubungan sepasang kekasih./Foto geralt/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 15 Agustus 2024 06:01

Di balik makin mudanya usia berhubungan seks pertama kali

Berdasar survei Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), hubungan seks pertama kali cenderung dilakukan pada kisaran usia 15-19 tahun.
swipe

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan, pernikahan dini di Indonesia menurun dibandingkan 10 tahun lalu. Usia rata-rata perempuan pertama kali menikah kini 22,1 tahun.

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga pun menyebut, angka perkawinan anak terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Pada 2021, angkanya menurun dari 10,35% menjadi 9,23%. Kemudian menjadi 8,06% pada 2022 dan menjadi 6,92% pada 2023.

Menurut Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, pernikahan dini yang menurun disebabkan faktor pendidikan, sosial-ekonomi, dan tempat tinggal. Jika pendidikan seseorang semakin tinggi, maka masa pernikahannya akan semakin mundur. Lalu, kondisi sosial-ekonomi yang terbilang baik dan kondisi tempat tinggal di perkotaan membuat usia rata-rata pernikahan dini juga menurun.

“Tiga faktor itu membuat (usia) nikah cenderung mundur,” ujar Hasto kepada Alinea.id, Senin (12/8).

Namun, baik laki-laki maupun perempuan, berhubungan seks pertama kali pada usia yang lebih muda. Hasto menyampaikan, hal itu berdasarkan temuan dari survei Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI).

Survei SDKI menunjukkan, hubungan seks pertama kali cenderung dilakukan pada kisaran usia 15 hingga 19 tahun. Laki-laki mendekati 70% yang melakukan hubungan seks dalam kisaran umur tersebut. Angka tersebut berbeda dengan 20 tahun lalu, yang mencatat perilaku berhubungan seks pertama terjadi pada usia 20 tahun ke atas. Salah satu penyebabnya, kata Hasto, dahulu rata-rata remaja baru menstruasi pada usia 14 tahun, sedangkan sekarang pada usia 12,5 tahun.

“Fenomena sekarang kan seperti itu, sehingga bisa kita katakan, hubungan (seks) semakin maju, tapi pernikahan dini mundur,” ucap Hasto.

Ada hal lain, yang menurut Hasto perlu diperhatikan, yakni pengaruh media sosial dan fenomena pelajar yang mudah masuk ke hotel. Kemudian, pola asuh orang tua kepada anak. Saat ini, pola asuh dan cara pengawasan banyak berbeda dari kebiasaan sebelumnya.

“Dulu anak dan orang tua bisa tiap hari di meja makan. Jadi pengawasan jelas,” kata Hasto.

Dihubungi terpisah, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet menerangkan, telah terjadi perubahan nilai dalam masyarakat, yakni meningkatnya otonomi atas tubuh di kalangan remaja, disertai dengan berbagai eksperimen atas diri. Kemudian, desakralisasi seks dan keintiman personal yang bisa didapat di luar institusi pernikahan.

Selain itu, menurutnya, masyarakat kita mengalami individualisasi seks. Artinya, hubungan seksual yang sebelumnya diposisikan sebagai jembatan masuk ke dalam ikatan yang lebih besar, seperti keluarga, etnis, dan adat, bergeser menjadi keputusan individu.

Robet menyebut, secara sosiologis usia hubungan seks yang semakin muda akan berpengaruh pada struktur keluarga di Indonesia. Struktur keluarga ideal zaman Orde Baru, seperti remaja kelas menengah atas dengan struktur keluarga ayah, ibu, dan dua anak, bakal berganti dengan mulai banyaknya keluarga orang tua tunggal.

Sedangkan untuk keluarga-keluarga kelas bawah yang terjadi justru meluasnya struktur keluarga inti, disertai meningkatnya beban ekonomi. Dia mengingatkan, otonomi seks yang tidak disertai dengan otonomi ekonomi di kalangan keluarga kelas bawah akan menambah bebas hidup.

“Lalu perubahan meningkatnya biaya sosial dan kesehatan, terutama untuk keluarga-keluarga miskin,” kata Robet, Selasa (13/8).

Untuk mengatasinya, kata Robet, dimulai dari desakralisasi keluarga dan otonomisasi tubuh. Hal ini adalah gejala yang tak terhindarkan di era saat individualisasi makin kuat dalam masyarakat akibat perubahan teknologi, informasi, dan kebudayaan. Penting juga diperhatikan soal “revolusi” gizi yang terjadi dalam beberapa puluh tahun terakhir.

“Makanan-makanan zaman sekarang mempercepat kematangan seksual pada anak,” ucap Robet.

Cara lainnya untuk mengatasi masalah itu, jelas Robet, membekali anak dengan otonomisasi kecerdasan supaya mereka mampu bertanggung jawab atas dirinya. “Dan dengan itu, punya kemampuan menjaga diri,” tutur Robet.

Menurutnya, hal itu bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan kesehatan dan reproduksi yang lebih terbuka kepada anak untuk memahami tubuhnya sendiri. Praktinya, kata dia, memang sudah waktunya alat kontrasepsi dikenalkan lebih dini, meski tidak perlu disediakan secara vulgar.

“Yang terakhir, pengetahuan dan pengaturan diet yang sehat di kalangan anak juga penting untuk mengurangi ledakan-ledakan hormonal,” kata Robet.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan