Di balik polemik legalisasi kratom
Sejumlah menteri Kabinet Kerja diundang Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/6). Agenda yang dibahas adalah legalisasi tanaman kratom. Menurut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, tata kelola kratom perlu dirumuskan. Sebab, selama ini belum ada standardisasi, sehingga masyarakat kesulitan mengekspor tanaman tersebut.
“Perlu ada tata niaganya. Memang, Menteri Perdagangan sedang menyusun aturan mainnya, tetapi perlu nanti segera dipercepat,” kata Moeldoko, dikutip dari Antara.
Moeldoko mengatakan, pemerintah juga harus memastikan apakah kratom tergolong sebagai narkotika atau tidak. Karena masih ada perbedaan pendapat antara Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) soal keamanan penggunaan tanaman tersebut.
“Untuk itu, saya meminta BRIN melakukan riset. Risetnya mengatakan bahwa mengandung (narkotika), tetapi dalam jumlah tertentu, saya minta lagi jumlah tertentu seperti apakah yang membahayakan kesehatan,” ujar Moeldoko.
Sebelumnya, usai memimpin rapat perumusan kebijakan terkait kratom di Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin (22/1), Moeldoko mengatakan tanaman bernama latin Mytragina speciosa itu menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat, terutama di Kalimantan Barat.
Dikutip dari Antara, Moeldoko menuturkan, salah satu kajian BRIN menyebut, kandungan yang ada dalam kratom aman jika dikonsumsi dalam batas kewajaran. Katanya, potensi ekonomi kratom sangat besar. Kratom Indonesia sendiri sangat dibutuhkan sekitar 15 juta warga Amerika Serikat.
Manfaat dan kontroversi kratom
Kratom tumbuh di wilayah Asia Tenggara. Menurut Slamet Wahyono, dkk dalam Kratom: Prospek Kesehatan dan Sosial Ekonomi (2019) yang diterbitkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kratom termasuk ke dalam suku Rubiaceae, seperti tanaman kopi. Secara tradisional, di Malaysia dan Thailand kratom dimanfaatkan untuk mengurangi rasa nyeri, relaksasi, mengatasi diare, menurunkan panas, dan mengurangi kadar gula darah. Sedangkan di Indonesia, kratom digunakan untuk menambah stamina, mengatasi nyeri, rematik, asam urat, hipertensi, gejala stroke, diabetes, susah tidur, luka, diare, batuk, kolesterol, tifus, dan menambah nafsu makan.
Di beberapa wilayah, misalnya di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menurut Slamet, dkk, kratom dimanfaatkan sebagai sajian seperti teh. Daun kratom juga bisa dikunyah, diisap seperti rokok, dan dicerna sebagai tablet terkompresi atau kapsul.
Kratom disebut bernilai ekonomi tinggi karena permintaan ekspor sebagai obat herbal yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kementerian Perdagangan (Kemendag) melaporkan, sejak 2019 hingga 2022 nilai ekspor kratom selalu mengalami pertumbuhan dengan tren sebesar 15,92% per tahun. Lalu pada periode Januari-Mei 2023, nilai ekspor kratom tumbuh 52,04% menjadi 7,33 juta dolar AS.
Polemik terjadi karena di satu sisi terdapat peningkatan jumlah pengguna kratom dan nilai perdagangan dunia yang bertambah pesat, di sisi lain ada kekhawatiran terhadap efek samping penggunaan kratom, dengan ditemukannya beberapa kasus gangguan kesehatan. Bahkan, penggunaan dalam dosis tinggi bisa disebut bisa mengakibatkan depresi. Jika digunakan bersama obat lain, seperti tramadol, kratom pun dapat menyebabkan kematian.
Kandungan dalam kratom ada pula yang mengategorikannya sebagai narkotika jenis baru. Maka, beberapa negara melarang kratom, di antaranya Australia, Rumania, Finlandia, Denmark, dan Irlandia.
Senyawa mitraginin dan 7-hidroksimitraginin adalah kandungan kimia utama dalam kratom, yang punya reseptor yang serupa dengan reseptor opioid di otak, sehingga dipercaya punya efek mirip opium. BNN memasukkan kedua senyawa ini dalam kategori new psychoactive substance, yang harus ada pengaturan dalam penggunaannya.
Dalam naskah Kratom dan Permasalahannya yang diterbitkan Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat BNN disebutkan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, belum memasukkan kratom sebagai narkotika. Namun, BNN pernah mengeluarkan Surat Kepala BNN tentang sikap lembaga itu dalam mengantisipasi penyalahgunaan dan peredaran kratom.
Kenyataannya, hingga kini budi daya dan konsumsi kratom juga belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Meski begitu, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor HK.00.05.23.3644 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan dan Surat Edaran Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Suplemen Nomor HK.04.4.42.421.09.16.1740 tahun 2016 tentang Pelarangan Penggunaan Mitragyna speciosa (Kratom) dalam Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan, daun kratom dimasukkan ke dalam bahan yang dilarang untuk produk obat tradisional dan suplemen makanan.
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Daniel Johan menyampaikan, ekspor kratom perlu dikejar perumusan regulasinya. Regulasi tersebut juga harus memperhatikan kondisi dan tantangan yang dihadapi para pelaku usaha di lapangan. Terutama para petani kratom agar regulasi yang dihasilkan dapat berjalan efektif. Ia mengingatkan, jangan sampai memberi peluang terhadap praktik bisnis monopoli yang merugikan ekosistem yang sudah dibangun puluhan tahun oleh masyarakat secara mandiri.
“Kita mendukung upaya pemerintah untuk mengatur ekspor dan tata kelola komoditas kratom,” ucap Daniel kepada Alinea.id, Rabu (26/6).
Ada persoalan penting, kata Daniel, yang hingga kini masih belum bisa diselesaikan, yakni perdagangan ekspor kratom masih belum ada harmonized system code—basis klarifikasi barang dan bea masuk ke wilayah kepabeanan masing-masing negara khusus. Kemudian, belum ada bank yang dapat menerbitkan letter of credit—teknik pembayaran perdagangan internasional yang bertujuan agar eksportir memperoleh langsung uang pembayaran—dalam kegiatan ekspor-impor komoditas kratom.
“Baik di tingkat petani dan pelaku usaha masih banyak yang belum memahami pentingnya perlakuan produk yang berstandar makanan,” tutur Daniel.
“Jadi pemerintah harus segera tuntaskan hal nyata ini.”
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri tidak menganggap kratom adalah narkotika. Sebab, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) belum memiliki cukup bukti ilmiah, sehingga World Health Organization (WHO) pun belum menggolongkan kratom sebagai narkotika.
“Kita tentunya merujuk ke WHO,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, Selasa (25/6).
Lebih lanjut, Siti menyebut, dalam kandungan kratom ada senyawa psikoaktif mitraginin dan 7-hidroksimitraginin, yang punya manfaat antinyeri, sedatif, antidiabetes, antioksidan, dan menghambat pertumbuhan sel tumor otak.
Akan tetapi, hingga kini kratom sebagai obat maupun suplemen tidak dilakukan karena BPOM belum memberikan izin untuk penggunaannya.
“(Penggunaannya harus) sesuai aturan Perka (Peraturan Kepala) BPOM,” ucap Siti.