

Di balik suksesnya film Jumbo dan tantangan teknologi AI

Film petualangan fantasi animasi yang disutradarai Ryan Adriandhy, Jumbo, berhasil menyita perhatian penggemar sinema Indonesia. Film yang diproduksi Visinema Studios, dirilis di bioskop pada 31 Maret 2025 itu, hingga Jumat (11/4) malam sudah menembus lebih dari 2 juta penonton.
Animator Banung Grahita, yang terlibat dalam proses penggarapan Jumbo menyebut, film ini sebagai bukti nyata kalau Indonesia mampu menghadirkan animasi berkualitas dari segi emosional dan visual.
“Animasi Jumbo mungkin menjadi animasi Indonesia pertama yang mendapat sambutan sangat positif dari penonton dalam negeri, terlepas dari beberapa kritik,” kata Banung kepada Alinea.id, Kamis (10/4).
Keberhasilan film Jumbo, menurut Banung, tak bisa dilepaskan dari kerja sama berbagai studio animasi yang terlibat dalam produksi. Proyek besar seperti ini, katanya, memerlukan sinergi lintas tim yang kuat.
Kesuksesan Jumbo
Produksi Jumbo dimulai pada 2020 lalu. Animasi ini dibuat bersama 200 kreator selama lima tahun. Ada 21 perusahaan animasi yang terlibat, di antaranya Afterab, Ayena Studio, Caravan Studio, HawQ Studio, dan Dipadira Studio
“Menyamakan visi dan me-manage pekerja kreatif seperti ini tentunya merupakan tantangan tersendiri,” ucap Banung.
Dalam pra-produksi, yang sering kali tak terlihat pubik, cerita dikembangkan, desain visual dirancang, dan konsep keseluruhan ditentukan. Proses ini melibatkan para profesional yang telah berpengalaman di industri film nasional dan internasional.
“Keseriusan pra-produksi Jumbo juga bisa kita lihat dari keterlibatan nama-nama yang sudah berpengalaman,” ujar Banung.
“Tentunya ini membutuhkan investasi besar, yang mana tidak banyak pihak di Indonesia memiliki kepercayaan terhadap animasi, sehingga mau berinvestasi seperti ini.”
Sementara itu, peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan mantan praktisi di industri animasi, Andrian Wikayanto menyebut, kunci keberhasilan Jumbo terletak pada kekuatan ceritanya.
“Film ini mengangkat tema keberanian dan perkembangan karakter yang relevan dengan kehidupan banyak orang,” ujar Andrian, Selasa (8/4).
“Don, tokoh utama yang kerap diremehkan karena tubuhnya besar, berhasil membuktikan kemampuannya. Cerita macam ini sangat menyentuh dan membuat penonton merasa dekat.”
Dia melihat, kesuksesan film Jumbo ada campur tangan banyak pihak, mulai dari pendidikan, industri animasi, produser, ekosistem di bioskop, hingga aspek bisnis. “Ibaratnya right time in the right place,” ucap Andrian.
“Kalau semua judul animasi bisa ditunjang seperti Jumbo, pasti akan banyak judul-judul animasi lokal yang populer juga.”
Andrian menilai, selain ceritanya, film Jumbo juga ditunjang kualitas teknis yang baik. “Kalau dulu masih serba manual, sekarang kita sudah bisa menghasilkan animasi dengan kualitas internasional. Jumbo adalah bukti nyata kemajuan tersebut,” ujar dia.
Namun, di balik prestasi tersebut, terdapat tantangan besar yang dihadapi. Salah satunya durasi produksi yang panjang.
“Proses produksi Jumbo memakan waktu sekitar lima tahun. Ini menjadi salah satu kendala yang sering membuat produser ragu menggarap animasi panjang,” kata Andrian.
Tentang AI
Menyoroti teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang dengan mudah bisa membuat animasi belakangan ini, Andrian melihat, ada peluang dan tantangan. AI, kata dia, membuka peluang besar dalam mempercepat proses visualisasi dan memperluas krativitas. Namun, AI menjadi tantangan, terutama bagi para kreator yang tidak mampu beradaptasi dengan teknologi baru.
“Jadi bukan pekerja yang nanti akan dilindas oleh AI, tapi kreator yang hilang, yang akan dikalahkan kreator lain yang bisa menggunakan AI,” ujar Andrian.
“Kreator yang bisa menggunakan AI untuk menyelesaikan pekerjaan di bidang animasi itu akan bekerja cepat dan efisien, sehingga orang-orang yang terlalu seniman, yang lama, detail, mungkin dia pada akhirnya jadi punya pasar sendiri.”
Dia pun menyoroti isu etika dalam penggunaan AI dalam animasi. Semisal penggunaan AI di untuk membuat animasi karakter milik Studio Ghibli—perusahaan animasi di Jepang—yang ramai di media sosial.
“Itu memang tidak boleh sebenarnya,” tutur Andrian.
“Si pihak Open AI itu harus izin (jika ingin) men-training ChatGPT di Open AI dengan karya-karya Ghibli.”
Selanjutnya, yang disorot Andrian adalah ketergantungan pada teknologi. Menurut dia, animasi atau seni digital secara umum, titik tolaknya bukan pada teknologi, tetapi kreativitas manusia. Di situ pendidikan seni animasi menjadi penting karena proses kreativitasnya dilatih.
“Proses untuk berkarya itu sendiri benar-benar ada di tangan, ada di otak. Kemudian diwujudkan melalui kuas atau mungkin animasi digital software,” ucap Andrian.
“Kalau di AI itu pasti bisa membuat (animasi) iya, tapi tidak akan pernah bisa mahal.”
Di sisi lain, Banung menilai, yang menjadi kontroversi adalah AI generatif—kecerdasan buatan yang dapat membuat konten baru, seperti gambar, video, musik, dan teks. Dia percaya, kreator bakal selalu punya cara beradaptasi.
Di masa depan, menurut dia, AI membuat cara kerja animator berubah, tetapi bukan menggantikannya. Akan tetapi, kata Banung, industri perlu menegaskan aturan yang jelas sampai sejauh mana AI bisa digunakan.
“Animasi Jumbo memperlihatkan bahwa kreativitas dan sensitivitas manusia masih diperlukan, tidak bisa digantikan AI,” kata Banung.
“Animasi adalah persoalan ‘menghidupkan’ karakter, membuat penonton berempati dan percaya pada karakter. Hal ini membutuhkan kepekaan animator yang paham tentang sifat dan perilaku manusia, belum bisa sepenuhnya ditiru oleh AI.”


Berita Terkait
Bagaimana kiprah PFN dalam perfilman nasional?
Apakah Squid Game 2 gagal?
Pemerataan layar bioskop mesti dilakukan
Buruk rupa di balik glamornya industri perfilman

