Di balik tingginya angka kasus bunuh diri
Jawa Tengah menjadi provinsi paling banyak kasus bunuh diri di Indonesia, sepanjang Januari hingga medio Oktober 2023, sebut data Pusat Informasi Kriminal Nasional Kepolisian RI (Pusiknas Polri). Tercatat, ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia, dalam periode tersebut. Jawa Tengah sebanyak 356 kasus.
Disusul Jawa Timur sebanyak 184 kasus, Bali 94 kasus, Jawa Barat 60 kasus, dan Yogyakarta 48 kasus. Lalu, Sumatera Utara 41 kasus, Lampung 27 kasus, Sumatera Barat 26 kasus, Bengkulu 22 kasus, dan Sulawesi Utara 18 kasus. Jika ditotal, jumlah kasus bunuh diri ini melampaui angka tahun 2022, yakni 826 kasus.
Ada dua kasus bunuh diri di Jawa Tengah yang menyita perhatian publik, belum lama ini. Pertama, seorang mahasiswi yang diduga melompat dari lantai empat pusat perbelanjaan di Kota Semarang pada Selasa (10/10). Kedua, seorang mahasiswi yang ditemukan meninggal di kamar indekosnya di Tembalang, Semarang pada Rabu (11/10).
Mengapa Jawa Tengah tinggi?
Psikolog Lia Sutisna Latif mengaku tak tahu penyebab Jawa Tengah menjadi provinsi paling banyak kasus bunuh diri. “Ini menarik sih, bisa dijadikan sebagai bahan penelitian berikutnya,” kata Lia kepada Alinea.id, Jumat (10/11).
“Saya belum membaca kenapa penyebabnya itu.”
Namun, Lia menyebut, berat jika anaknya kuliah di Jawa Tengah misalnya, mengalami depresi atau riwayat gangguan psikologis sebelumnya. “Kita kadang-kadang tidak bisa mengetahui, kapan seseorang itu memiliki riwayat,” kata dia.
“Apakah dia pernah depresi, ternyata di waktu remaja misalnya dia pergi ke psikolog atau psikiater, mengonsumsi obat untuk anticemas, atau hal-hal yang terjadi pada kesehatan mentalnya.”
Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida mengatakan, secara nasional tingkat bunuh diri meningkat. Karena ada indikasi gangguan mental yang semakin meningkat. Ida menuturkan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pernah menyampaikan satu dari 10 orang Indonesia mengalami gangguan mental.
“Tapi saya tidak melihat apakah memang ada kontribusi (kejadian bunuh diri) secara spesifik kaitannya dengan, misal latar belakang kultur atau etnik, gitu,” ujar Ida, Selasa (14/11).
Bisa jadi dalam banyaknya kasus bunuh diri di Jawa Tengah, korbannya bukan asli berdomosili di Jawa Tengah. Artinya, pendatang yang menjalankan studi dan indekos.
“Kalau dia kos, itu kan sebetulnya ada juga tantangan ketika kita jauh dari keluarga, sehingga kita, dalam tanda kutip, juga harus punya apa yang disebut sebagai psikososial support, ya,” kata Ida.
Apalagi, jika bicara dalam konteks ekonomi. Menurutnya, dukungan ekonomi yang relatif terbatas, tetapi harus kuliah di satu tempat yang agak jauh dari keluarganya, individu tersebut harus punya mekanisme bertahan hidup yang aman.
Ida mengingatkan, tak bisa semata-mata mengaitkan secara sederhana dengan kasus bunuh diri di Jawa Tengah yang tinggi. Sebab, harus pula melihat latar belakang dan karakteristik korban.
“Jadi, tidak bisa kasus-kasus seperti ini digeneralisasi dengan angka 200-300 (kasus bunuh diri) tadi, gitu,” tuturnya.
“Karena kalau di sosiologi, berkembang kajiannya soal bunuh diri itu.”
Terpisah, pengamat sosial dari Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina berpendapat, faktor geografi akan berpengaruh secara signifikan dengan kasus bunuh diri, jika dikaitkan dari daerah perkotaan atau perdesaan.
“Tentu fenomena bunuh diri akan lebih tinggi di daerah perkotaan,” ujar Nia, Selasa (14/11).
Bagi Nia, terutama di perkotaan, ikatan sosial dan keluarga inti sudah semakin tergerus. Ia menyebut, masyarakat kita sedang mengalami kehilangan norma akibat dominannya interaksi dengan dunia maya.
“Di dalam keluarga misalnya, minim interaksi sosial, (karena) sama-sama konsentrasi pada mobile phone masing-masing,” kata dia.
“(Akhirnya) ketika seseorang menghadapi permasalahan, lebih update atau ‘konsultasinya’ lewat media sosial.”
Berbagai faktor
Dijelaskan Ida, ada beberapa faktor pendorong seseorang melakukan bunuh diri. Pertama, faktor sakit hati dan kecewa. Lalu, ada egoistik suicide, di mana seseorang mengalami perbedaan harapan antara orang tua dengan teman atau informasi yang ia cerna.
Ada pula altruistic suicide, artinya orang yang bunuh diri karena tuntutan, misalnya kelompoknya. “(Contohnya) dia ikut kelompok sekte tertentu, yang demi iming-iming surga misalnya atau keselamatan yang lebih abadi daripada di dunia,” ujar dia.
Selanjutnya, kata Ida, ada anomie suicide. Artinya, seseorang yang melakukan bunuh diri karena dia tak tahu lagi apakah tindakannya itu benar atau tidak. “Jadi, istilah sosiologinya, dia teralienasi. Dunia demikian ramai, tapi dia merasa terasing sendiri,” tutur dia.
“Nah, itu yang itu yang tadi saya sebut gangguan mental. Tapi ada juga orang yang mengalami gangguan sosial.”
Sementara itu, psikolog Liza Marielly Djaprie menyebut, ada dua faktor yang menyebabkan seseorang bunuh diri, yakni faktor internal dan eksternal. Ia menjelaskan, faktor internal berasal dari biologis. Misalnya, ada riwayat keluarga yang punya problem kesehatan mental.
“Dengan gangguan mental, biasanya memang kecenderungannya, kerentanannya, individu ini untuk melakukan bunuh diri lebih tinggi,” tutur Liza, Jumat (10/11).
Lalu, riwayat kesehatan mental korban. Biasanya, mengalami depresi. “Mungkin ada karakteristik kepribadian juga bisa berpengaruh,” kata dia.
“Jadi, individu yang tertutup, cenderung lebih senang menyendiri, yang tak aware tentang kesehatan mental, biasanya lebih rentan melakukan bunuh diri.”
Faktor internal lainnya adalah masalah kognitif. Ia menerangkan, kognitif adalah kemampuan berpikir. Lazimnya, individu yang ada upaya melakukan bunuh diri, punya kekakuan dalam segi kognitif.
Sedangkan faktor eksternal, menurut Liza, terkait pengalaman hidup tertentu. “Misalnya, pernah mengalami situasi yang traumatik, ada pelecehan, atau kejadian hidup yang cukup berat,” ujarnya.
Faktor eksternal lainnya, masalah keluarga, internet, dan kebudayaan tertentu. “Tapi biasanya, seseorang yang melakukan bunuh diri itu penyebabnya bukan single factor, ya. Biasanya interaksi dari beberapa penyebab yang mendahului,” kata Liza.
Ida menekankan, dukungan psikologis dan sosial penting untuk mencegah seseorang bunuh diri. “Kalau kita punya orang-orang di sekitar kita yang peduli, bisa diajak ngobrol kalau punya masalah, berarti dia relatif punya psikososial support,” kata Ida.
“Tapi, kalau dia tidak punya, maka dia menjadi lebih rentan.”
Di sisi lain, Liza menyarankan, kita bisa menjadi pendengar yang tak memberikan penilaian, apalagi menghakimi terhadap seseorang yang berpikir ingin bunuh diri. Mendorong seseorang untuk mencari bantuan profesional, jadi salah satu solusi.
“Bantu carikan informasi klinik psikologi atau psikiatri di tempat terdekat,” kata Liza.