Seorang ibu rumah tangga, Fiona, masih ragu dengan produk air susu ibu (ASI) bubuk. Proses kimia yang dilewati dari pembekuan ke kristalisasi atau menjadi bubuk ini yang menjadi sorotan Fiona.
“Jadinya tidak orisinal. Apalagi belum pasti dampaknya. Jadi kalau cuma ikut tren janganlah, kita biasa saja sudah bener kok,” kata Fiona kepada Alinea.id, Selasa (14/5).
ASI bubuk menggunakan metode freeze-drying atau pengeringan beku ASI menjadi bentuk bubuk. Belakangan, ASI bubuk menjadi perbincangan di media sosial. Metode yang dikenal juga sebagai teknik lyophilization ini bertujuan memperpanjang umur simpan ASI dari semula enam bulan di dalam freezer menjadi tiga tahun. Alasannya untuk menghemat ruang penyimpanan ASI dan kenyamanan ibu yang ingin terus memberikan ASI di luar masa cuti melahirkan.
Namun, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memandang, penggunaan suhu tinggi dapat menghilangkan air, bahkan berdampak pada rasa dan kualitas ASI. Padahal, beberapa komponen, seperti protein, lemak, dan karbohidrat yang tepat sebagai sumber nutrisi sangat penting bagi bayi.
Terlebih Ketua Satgas ASI IDAI, Naomi Esthernita Fauzia Dewanto mengingatkan, adanya catatan terkait radha’ah. Radha’ah adalah hubungan mahram yang diakibatkan oleh persusuan yang dilakukan seorang perempuan kepada bayi yang bukan anak kandungnya. Persoalan ini penting bagi umat muslim. Jika bubuk freeze-dryed ASI dilarutkan kembali dengan air, maka warna dan rasanya kembali menjadi susu, sehingga berlaku radha’ah bagi semua pihak terkait.
“Menyusui langsung dari payudara ibu sangat direkomendasikan agar dapat terjalin kontak erat antara ibu dan bayi, menumbuhkan rasa aman, dan meningkatkan ikatan orang tua-anak. Menyusui bukan sekadar memberikan ASI,” ujar Naomi dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Senin (13/5).
Sementara itu, ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen mengatakan, ASI bubuk dipastikan berbeda dengan ASI yang dikenal selama ini. Ia menegaskan pula, menyusui berbeda dari sekadar memberikan makan.
“ASI adalah cairan hidup, yang setiap saat berubah,” ucap Tan saat dihubungi, Senin (13/5).
Terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menjabarkan, metode ASI bubuk sebenarnya praktik umum untuk rumahan. Akan tetapi, metode tersebut bisa menimbulkan serangkaian perubahan pada komponen utama ASI, seperti pecahnya membran gumpalan lemak dan perubahan misel kasein, serta penurunan komposisi faktor bioaktif protein seiring lamanya penyimpanan beku.
Misel kasein sendiri adalah struktur komposit kasein molekul yang dilakukan bersama dengan jembatan garam, hidrofobik, dan elektrostatik. Selain itu, metode ini juga tidak melalui prosedur pasteurisasi—sebuah proses pemanasan makanan dengan tujuan membunuh organisme merugikan, seperti bakteri, protozoa, kapang, dan khamir, juga proses untuk memperlambat pertumbuhan mikroba pada makanan.
“Pasteurisasi sengaja dihindari untuk menjaga probiotik vital yang ada dalam ASI,” tutur Siti saat dihubungi, Selasa (14/5).
“Dengan demikian, risiko kontaminasi tetap menjadi ancaman, khususnya pada saat rekonsiliasi penambahan air pada bubuk freeze-dryed ASI sebelum dikonsumsi bayi.”
Siti menyampaikan, masyarakat tak perlu khawatir dengan ASI. Sebab, warga bisa memastikan, saat hamil sudah melakukan perawatan payudara dan makanan yang sesuai dengan kebutuhan ibu untuk persiapan menyusui.
“Ada konselor ASI yang bisa membimbing karena pentingnya proses ini,” ujarnya.