Dilema melestarikan ondel-ondel pengamen
Ondel-ondel yang mengamen di jalan-jalan Jakarta sudah sangat lumrah ditemui. Biasanya, boneka besar itu menari-nari mengikuti irama lagu Betawi dari kaset di gerobak kecil yang didorong.
Satu-dua orang di antara mereka menarik uang dari orang-orang di sekitar jalan yang penuh kemacetan, memanfaatkan bekas bungkus permen, ember kecil, atau kaleng sebagai wadah. Ada orang yang terganggu ada pula yang tak peduli dengan kehadiran mereka.
Pengamen itu datang dari berbagai sanggar ondel-ondel yang ada di sekitar Jakarta. Salah satunya berasal dari Jalan Kembang Pacar, Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat.
Sanggar ondel-ondel
Orang-orang menyebut daerah ini sebagai kampung ondel-ondel. Sejak awal 1980-an, di Kramat Pulo berdiri beberapa sanggar dan tempat membuat ondel-ondel. Salah satu sanggar ondel-ondel yang ada di sini bernama Respal. Pengelolanya Agus Hermawan.
“Respal itu kepanjangannya Resos dan Palaksi. Dua nama sanggar di dua kampung yang dilebur jadi satu,” kata Agus saat ditemui di Sanggar Respal, Jumat (22/2).
Sanggar ini masih terbilang baru. Agus mengatakan, Respal berdiri pada 2010. Mulanya, kata Agus, ia mendirikan sanggar ini karena permintaan pemuda di sekitar Kramat Pulo yang tertarik mencoba ondel-ondel.
“Ada anak kampung sini yang tertarik. Tapi, saya bilang, bener mau narik (ngamen) enggak? Akhirnya dicoba beli satu, lengkap sama alat musiknya,” ujar Agus.
Ketika mulai membuka sanggar, Agus belum membuat ondel-ondel sendiri. Ia masih membeli semua peralatan untuk ngamen. Uang Rp10 juta ia habiskan untuk membeli seluruh perlengkapan mengamen yang dibutuhkan, termasuk sepasang ondel-ondel.
“Lama-kelamaan kita mulai bisa bikin rangka, kedok, dan baju (ondel-ondel) sendiri,” tuturnya.
Kini, sanggar yang dimiliki Agus punya 15 ondel-ondel dan 60 remaja anggota sanggar yang siap keliling mengamen. Sebanyak 60 anggota sanggar dipecah beberapa kelompok untuk mengamen. Sekali jalan, dibutuhkan empat hingga 12 orang, tergantung perlengkapan yang dibawa.
“Kalau full pakai alat musik, kayak gendang, keneng, tehyan, kempul, dan gong itu bisa sepuluh sampai 12 orang. Tapi kalau musiknya pakai USB, cukup empat orang aja,” katanya.
Sekali jalan mengamen, dengan anggota empat orang, mereka bisa mengantongi Rp800.000. Nominal tersebut didapatkan setelah dipotong ongkos angkutan kota pulang-pergi Rp200.000.
Masing-masing anggota mendapatkan Rp100.000. Mereka pun harus menyetor kepada Agus Rp120.000 jika membawa alat musik lengkap, dan Rp50.000 untuk USB berisi musik.
Jam berkeliling dimulai pukul 15.00 hingga 22.00. Jarak tempuh berjalan kaki mengamen, rata-rata sejauh 8 kilometer. Wilayah jangkauan dibagi di beberapa titik Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur.
Rangga, Ucup, dan Aulia merupakan anggota Sanggar Respal. Ucup bergabung dengan Sanggar Respal sudah lima tahun. Bersama Aulia, ia tergolong senior di sanggar itu. Sedangkan Rangga, baru bergabung dua tahun lalu.
Menurut Agus, Rangga dan keluarganya adalah orang yang memulai bermain tehyan di kampungnya. Suatu keahlian yang telah didapatnya secara turun-temurun. Perkara di lapangan saat mengamen, semua kebagian tugas.
“Gantian aja, kadang nandak (menggendong ondel-ondel), kadang dorong gerobak, kadang ngolek (minta duit),” kata Ucup.
Ondel-ondel yang mengamen di jalan-jalan Jakarta sudah sangat lumrah ditemui. Biasanya, boneka besar itu menari-nari mengikuti irama lagu Betawi dari kaset di gerobak kecil yang didorong.
Satu-dua orang di antara mereka menarik uang dari orang-orang di sekitar jalan yang penuh kemacetan, memanfaatkan bekas bungkus permen, ember kecil, atau kaleng sebagai wadah. Ada orang yang terganggu ada pula yang tak peduli dengan kehadiran mereka.
Pengamen itu datang dari berbagai sanggar ondel-ondel yang ada di sekitar Jakarta. Salah satunya berasal dari Jalan Kembang Pacar, Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat.
Sanggar ondel-ondel
Orang-orang menyebut daerah ini sebagai kampung ondel-ondel. Sejak awal 1980-an, di Kramat Pulo berdiri beberapa sanggar dan tempat membuat ondel-ondel. Salah satu sanggar ondel-ondel yang ada di sini bernama Respal. Pengelolanya Agus Hermawan.
“Respal itu kepanjangannya Resos dan Palaksi. Dua nama sanggar di dua kampung yang dilebur jadi satu,” kata Agus saat ditemui di Sanggar Respal, Jumat (22/2).
Sanggar ini masih terbilang baru. Agus mengatakan, Respal berdiri pada 2010. Mulanya, kata Agus, ia mendirikan sanggar ini karena permintaan pemuda di sekitar Kramat Pulo yang tertarik mencoba ondel-ondel.
“Ada anak kampung sini yang tertarik. Tapi, saya bilang, bener mau narik (ngamen) enggak? Akhirnya dicoba beli satu, lengkap sama alat musiknya,” ujar Agus.
Ketika mulai membuka sanggar, Agus belum membuat ondel-ondel sendiri. Ia masih membeli semua peralatan untuk ngamen. Uang Rp10 juta ia habiskan untuk membeli seluruh perlengkapan mengamen yang dibutuhkan, termasuk sepasang ondel-ondel.
“Lama-kelamaan kita mulai bisa bikin rangka, kedok, dan baju (ondel-ondel) sendiri,” tuturnya.
Kini, sanggar yang dimiliki Agus punya 15 ondel-ondel dan 60 remaja anggota sanggar yang siap keliling mengamen. Sebanyak 60 anggota sanggar dipecah beberapa kelompok untuk mengamen. Sekali jalan, dibutuhkan empat hingga 12 orang, tergantung perlengkapan yang dibawa.
“Kalau full pakai alat musik, kayak gendang, keneng, tehyan, kempul, dan gong itu bisa sepuluh sampai 12 orang. Tapi kalau musiknya pakai USB, cukup empat orang aja,” katanya.
Sekali jalan mengamen, dengan anggota empat orang, mereka bisa mengantongi Rp800.000. Nominal tersebut didapatkan setelah dipotong ongkos angkutan kota pulang-pergi Rp200.000.
Masing-masing anggota mendapatkan Rp100.000. Mereka pun harus menyetor kepada Agus Rp120.000 jika membawa alat musik lengkap, dan Rp50.000 untuk USB berisi musik.
Jam berkeliling dimulai pukul 15.00 hingga 22.00. Jarak tempuh berjalan kaki mengamen, rata-rata sejauh 8 kilometer. Wilayah jangkauan dibagi di beberapa titik Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur.
Rangga, Ucup, dan Aulia merupakan anggota Sanggar Respal. Ucup bergabung dengan Sanggar Respal sudah lima tahun. Bersama Aulia, ia tergolong senior di sanggar itu. Sedangkan Rangga, baru bergabung dua tahun lalu.
Menurut Agus, Rangga dan keluarganya adalah orang yang memulai bermain tehyan di kampungnya. Suatu keahlian yang telah didapatnya secara turun-temurun. Perkara di lapangan saat mengamen, semua kebagian tugas.
“Gantian aja, kadang nandak (menggendong ondel-ondel), kadang dorong gerobak, kadang ngolek (minta duit),” kata Ucup.
Dipalak petugas
Pengalaman pahit mengamen ondel-ondel sudah dialami Ucup. Selain membopong ondel-ondel yang berat dan membuat bahunya memar, banyak cerita yang dilontarkan Ucup.
“Kadang hampir keserempet mobil atau motor. Ya biasalah ya, namanya juga di jalanan. Tapi yang paling parah sih, duit kita pernah direbut sama petugas P3S (Pelayanan Pengawasan dan Pengendalian Sosial) dari Dinsos (Dinas Sosial DKI Jakarta),” ujar Ucup.
Namun, menurut Ucup, penertiban di jalanan oleh petugas merupakan hal yang wajar, selama masih dalam koridor aturan yang berlaku. Akan tetapi, kata dia, ada juga oknum petugas yang bertindak sewenang-wenang.
“Ngamanin sih ngamanin, tapi jangan ambil sesuatu yang bukan haknya juga dong. Istilahnya 2.000 perak itu sangat berarti lah buat kita. Jangan main rampas aja,” kata Ucup.
Selain kejar-kejaran dengan petugas, Aulia menambahkan, keberadaan pengamen ondel-ondel yang semakin banyak, membuat mereka rebutan lokasi.
“Kalau ketemu di jalan yang kenal mah bisa bagi lokasi, lu ke mana kita ke mana. Kalau enggak kenal kadang bisa tubruk-tubrukan ondel-ondel, sampe rusak,” ujar Aulia.
Warga yang bosan dan terganggu
Agus bersama 11 anggota sanggar bersiap mengamen sore ini. Seluruh peralatan sudah disiapkan, mulai dari pengeras suara, tehyan, dan tentu saja sepasang ondel-ondel.
Kali ini, lokasi tujuan mereka mengamen daerah Jagakarta dan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Ke sana, mereka menyewa angkutan kota, dengan tarif Rp120.000.
Sesampainya di lokasi, tugas dibagi-bagi. Rangga bertugas menjadi penggesek tehyan sepanjang mengamen. Sementara Ucup dan Aulia bertugas meminta uang kepada warga sekitar.
Kami menyusuri jalan-jalan kecil di sekitar Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Anak-anak warga sekitar mengikuti kami. Sepasang ondel-ondel lincah berputar-putar.
Warga punya komentar berbeda-beda. Menurut salah seorang warga, Mulyadi, eksistensi pengamen ondel-ondel memang baik untuk melestarikan budaya Betawi. Tapi, keberadaannya harus dibatasi.
“Lama-lama bosan juga, sehari bisa lewat tiga sampai empat kali. Belum lagi kalau macet, kalau enggak macet sih enggak apa-apa,” ucapnya.
Warga lainnya, Hastuti, mengatakan bahwa anaknya gembira setiap ada ondel-ondel lewat. Meskipun, terkadang musik yang dimainkan pengamen ondel-ondel terlalu bising untuknya.
Agus Hermawan, sang kapten Sanggar Respal menolak bila yang dilakukannya adalah mengamen. Ia mengatakan, aktivitas hariannya setiap sore hingga malam ini disebut nandak atau menggendong ondel-ondel.
“Kalau ngamen itu yang kayak bawa-bawa gitar itu. Kalau kita bawa musik lengkap, dan ondel-ondel. Coba aja, mana ada orang sanggup ngamen bawa-bawa ondel-ondel berat gitu,” tuturnya.
Lagi pula, menurut dia, apa yang dilakukannya ini merupakan usaha untuk meringankan beban hidup warga di kampungnya. Ia menuturkan, setiap penghasilan yang diperoleh juga disumbangkan untuk warga di kampungnya.
“Boleh aja ditertibkan, tapi emang mau ngasih makan atau nyari kerjaan lain? Pemuda kampung sini banyak yang nganggur, ya udah saya bikinkan aja ini (sanggar ondel-ondel). Lumayan, bisa buat makan,” kata Agus.
Tak bisa ditindak
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta Asiantoro, masalah pengamen ondel-ondel sudah didiskusikan bersama Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB).
Asiantoro mengatakan, bila ditarik ke masa lalu, ondel-ondel memang ada yang mengamen.
“Cuma memang dahulu mengamen dengan alat dan grup lengkap, dengan kostum yang bagus,” ujar Asiantoro saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (22/2).
Asiantoro melanjutkan, dahulu jumlah pelaku seni ondel-ondel masih sedikit dan kondisi jalanan tidak seperti sekarang, sehingga tak mengganggu. Kondisi tersebut, kata dia, berbeda sekali dengan saat ini, di mana Jakarta sudah padat penduduk.
“Ujung-ujungnya jadi mengganggu dan meresahkan karena volume ondel-ondel yang besar,” kata Asiantoro.
Ke depan, pihaknya akan memberikan penjelasan kepada pelaku seni ondel-ondel, agar masuk ke dalam asosiasi ondel-ondel pimpinan Supandi di Kemayoran.
Namun, kata Asiantoro, grup ondel-ondel yang masuk ke dalam asosiasi tersebut adalah grup yang lengkap dan menggunakan alat musik, bukan pakai kaset dengan gerobak kecil yang didorong.
Asiantoro mengaku tak bisa menindak ondel-ondel yang mengamen di jalanan. Sebab, tak ada aturannya.
“Yang menindak sejauh ini Dinas Sosial karena dianggap menganggu ketertiban, sesuai dengan Perda Ketertiban Umum. Nah, Dinas Pariwisata hanya punya kewajiban membina agar ondel-ondel ini berpenampilan baik,” kata Asiantoro.
Berpenampilan baik yang dimaksud Asiantoro, anggota grup ondel-ondel mengenakan kostum bagus dan alat musik yang lengkap. Saat ini, pihaknya tengah mengkaji agar grup ondel-ondel bisa mendapat fasilitas dari pemerintah provinsi, dengan cara diberikan tempat khusus di ruang publik.
“Misalnya di Ragunan, Jakarta Selatan dan di tempat wisata lainnya,” katanya.
Selain itu, Asiantoro pun mengungkapkan pelestarian ondel-ondel sebenarnya bisa dilakukan dengan beragam cara. Tujuannya untuk menimbulkan kebanggaan dari pelaku seni boneka raksasa tersebut. Asiantoro punya ide, yang disebutnya sebagai sebuah terobosan.
“Karena itu, saya kemarin berpikir agar bagaimana caranya pelaku seni ondel-ondel dapat bermain di luar Jakarta, yang mungkin ini tidak sama sekali dipikirkan oleh pelaku seni tersebut,” kata Asiantoro.
Ia ingin membawa ondel-ondel dengan pesawat. Ia pernah mengemukakan ide ini kepada perajin ondel-ondel, agar menyiapkan ondel-ondel yang bisa dipotong-potong. Tujuannya, supaya ondel-ondel itu bisa masuk ke dalam bagasi pesawat. Asiantoro mengaku, pernah mewujudkan ide ini pada 2013.
“Saat itu salah satu sanggar terbaik saya bawa untuk ikut festival di jaringan kota pusaka Indonesia di Surabaya, kedua kalinya di Dumai (Riau). Bahkan saya mimpi ini ondel-ondel bisa ke luar negeri,” ujar dia.
Saat ini, Asiantoro menjelaskan, setiap festival di masing-masing wilayah diberdayakan grup ondel-ondel dan diperhatikan kepastian pekerjaan mereka.
“Dengan ruang kerja bisa menghasilkan nafkah bagi keluarga mereka, dan saya yakin bisa terlestari itu ondel-ondel," kata dia.