Dilema sosial di balik tren siaran langsung TikTok di perdesaan
Konten kreator Gunawan “Sadbor” dijemput anggota Polres Sukabumi di rumahnya di Desa Bojongkembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada Kamis (31/10). Dia menjadi tersangka kasus dugaan promosi situs web judi online lewat siarang langsung di akun TikTok-nya. Selain Gunawan, seorang rekannya pun ikut ditangkap.
Padahal sebelumnya, Gunawan yang mantan tukang jahit keliling di Jakarta itu, menjadi konten kreator yang tengah naik daun, dengan ungkapan terkenalnya, “beras habis, live solusinya.”
Sebelum ditangkap, Gunawan mencuri perhatian warganet dan menjadi viral karena joget "patuk ayam" yang kerap ditampilkan kala siaran langsung di akun TikTok-nya. Dari aksi joget itu, dia mengaku mendapatkan gift atau saweran mencapai Rp700.000 sehari.
Usai banyak pengikut dan penonton, Gunawan lantas mempekerjakan beberapa tetangganya untuk ikut berjoget dan menjadi “karyawan” di dalam timnya. Lambat laun, warga di kampung Gunawan banyak yang terlibat dalam siaran langsung yang dia lakukan. Pendapatan dari saweran TikTok itu, dia bagi bersama timnya. Gunawan mengambil 20% dari pendapatan, sisanya dibagikan kepada anggota tim.
Gunawan dianggap bisa mendatangkan perbaikan ekonomi bagi warga desanya, dengan melakukan siaran langsung joget bersama-sama di TikTok. Menurut Kepala Desa Bojongkembar, Solehudin Wahid, sebelum mengikuti Gunawan joget TikTok, warga desa bekerja sebagai petani, buruh pabrik, dan pembuat kicimpring (semacam kerupuk).
Fenomena joget TikTok yang mengajak warga desa serupa dengan konten lansia mandi lumpur di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang pernah viral pada awal tahun 2023 lalu. Konten siaran langsung di akun TikTok Sultan Intan itu mendapat saweran penonton dari aktivitas tak wajar, mulai dari lansia yang berendam di air tengah malam hingga mandi lumpur.
Warga desa, yang kebanyakan lansia tergiur dengan penghasilan dari siaran langsung mandi lumpur itu. Salah satunya seorang nenek bernama Layar Sari. Dia sampai rela meninggalkan pekerjaannya sebagai petani untuk live di TikTok mandi lumpur karena mendapat uang jutaan rupiah.
Menurut pengamat media sosial Enda Nasution, tingginya minat masyarakat desa pada siaran langsung di TikTok disebabkan fitur gift, yang memungkinkan penonton memberikan dukungan berupa uang.
“Karena yang ada fasilitas memberi gift dan penggunanya cukup banyak adalah TikTok,” kata Enda kepada Alinea.id, Selasa (5/11).
Enda menjelaskan, tren ini muncul sebagai akibat dari terbatasnya lapangan pekerjaan di perdesaan. Faktor ekonomi juga memicu warga mencari penghasilan alternatif, seperti yang dilakukan di TikTok.
Sementara itu, pengamat media sosial sekaligus pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi mengatakan, faktor ekonomi membuat orang di perdesaan mencari berbagai macam cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Salah satunya lewat siaran langsung di TikTok. Mereka juga mencontoh kesuksesan mendapatkan uang dari siaran langsung di TikTok, yang pernah dilakukan orang lain di lokasi yang berbeda.
“Sebelum Gunawan, muncul orang-orang yang bisa mendapatkan uang lewat live TikTok. Sebelumnya kan ada live TikTok-nya mandi lumpur,” ujar Ismail, Selasa (5/11).
Akan tetapi, menurut Ismail, mencari uang lewat TikTok dengan berbagai aktivitas, hanya tren belaka. Ketika trennya tinggi, maka penontonnya ramai. Saat trennya sudah hilang, maka bakal sepi.
“Nah, yang jogetnya Gunawan ini kan cukup baru ya. Pasti suatu saat juga akan turun lagi, mungkin akan muncul lagi yang baru,” tutur Ismail.
Apalagi TikTok bisa membuat orang biasa dengan mudah menjadi terkenal. Ismail menjelaskan, kalau di Instagram, hanya orang-orang yang punya followers besar atau istilahnya selebgram, yang mendapatkan keuntungan. Sedangkan di TikTok, akun dengan follower sedikit pun bisa menjadi viral, jika memiliki konten yang menarik dan masuk for your page (FYP).
“Ada algoritma yang unik yang berbeda dari TikTok dengan (media sosial) yang lain, sehingga memungkinkan orang-orang biasa itu bisa terkenal,” ujar Ismail.
Pengguna TikTok di Indonesia yang masif, turut memengaruhi jumlah penonton dan orang-orang yang meraup peruntungan dari sana. Menurut Statista, pada Agustus 2024 pengguna TikTok di Indonesia sebanyak 157,6 juta orang—menjadikan negara dengan jumlah pengguna TikTok terbesar di dunia.
“Kalau dilihat dari lokasi pengguna, secara demografi kan banyak sekali di desa. Jadi, kalau seandainya jumlah penggunanya itu sampai 100 juta lebih, berarti akselerasi di desa itu juga sangat tinggi,” tutur Ismail.
Terpisah, sosiolog dari Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina menjelaskan, warga di perdesaan tidak memahami dampak atau manfaat mengikuti tren tertentu, seperti melakukan siaran langsung di TikTok. Fenomena ikut-ikutan live di TikTok bagi warga perdesaan, menurut Nia, karena masyarakat belum punya basis pengetahuan.
“Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) dan beberapa hasil kajian, memang kelas menengah ke bawah kita masih kesulitan untuk mengakses pendidikan tinggi, sehingga kurang memiliki pengetahuan yang mumpuni,” ujar Nia, Selasa (5/11).
“(Akibatnya) amat mudah terpengaruh atau mengikuti tren, misalnya joget (Gunawan Sadbor) tadi. Dan dari pemerintah, seharusnya ada filter konten yang beredar di masyarakat.”
Di sisi lain, pengamat komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan Sujono menjelaskan, TikTok mudah diterima warga perdesaan karena media sosial ini memiliki daya tarik tersendiri. Ide-ide sederhana yang menarik perhatian publik, muda menjadi viral.
“Apalagi jika dilakukan oleh orang-orang baru, bukan selebritas. Konten seperti joget sadbor populer karena kesederhanaan yang menarik perhatian dan dapat diakses siapa saja,” kata Firman, Rabu (6/11).
Firman melanjutkan, dalam konteks ekonomi, warga desa yang bekerja sebagai petani menghadapi tantangan. Semisal hasil panen yang sering kali tidak memadai dan ketidakpastian harga komoditas. Maka, mereka melihat TikTok sebagai peluang alternatif untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
“Dengan usaha yang lebih ringan dan waktu yang lebih singkat, mereka bisa menghasilkan lebih banyak (uang), sehingga konten seperti live streaming menjadi pilihan,” kata Firman.
Firman mengingatkan dampak dari mentalitas meminta-minta atau bergantung pada belas kasihan orang lain dalam siaran langsung di TikTok. Misalnya beberapa konten yang meminta gift, tanpa mengandalkan karya kreatif. Sebagai solusinya, Firman menyarankan, petani di desa perlu dihargai secara ekonomi, dengan harga komoditas yang lebih stabil, akses pupuk yang lebih terjangkau, dan biaya tenaga kerja yang lebih terkontrol.
“Wajar jika mereka mencari alternatif pekerjaan, tetapi penting juga untuk memberi penyuluhan agar produktivitas tetap tinggi tanpa menggantungkan pada belas kasihan,” kata Firman.