Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengatakan rokok elektronik alias vape jauh lebih berbahaya daripada rokok biasa karena mengandung bahan toksik lain yang bersifat iritatif.
"Rokok elektronik sama saja dengan rokok biasa karena mengandung nikotin yang menyebabkan kecanduan dan bahan karsinogenik yang dapat memicu kanker," kata Agus dalam jumpa pers yang diadakan Komite Nasional Pengendalian Tembakau di Jakarta, Selasa (24/9).
Agus mengatakan bahan toksik lain yang terdapat pada rokok elektronik bersifat iritatif, toksik dan dapat menyebabkan induksi peradangan pada paru.
Menurut Agus, berdasarkan penelitian Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Persahabatan pada 2018 terhadap 71 subyek laki-laki, 34 adalah pengguna rokok elektronik dan 37 bukan pengguna, 76,5% laki-laki pengguna rokok elektronik memiliki ketergantungan terhadap nikotin.
"Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan di banyak negara, cairan rokok elektronik meningkatkan peradangan dan peningkatan infeksi virus pada sel epitel saluran nafas manusia," tuturnya.
Kasus-kasus gangguan paru pada pengguna rokok elektronik di beberapa negara juga terjadi dalam waktu yang relatif singkat, hanya dalam hitungan bulan, bahkan minggu, sejak rokok elektronik digunakan pertama kali.
Hal itu berbeda dengan rokok biasa, yang dampaknya terhadap kesehatan baru akan terlihat dalam waktu lama, hingga bertahun-tahun.
Dari berbagai kasus di luar negeri maupun di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa rokok elektronik meningkatkan gejala gangguan pernafasan dan risiko asma.
"Rokok elektronik juga menjadi faktor risiko kejadian pneumotoraks dan berhubungan dengan berbagai tipe pneumonitis dan gangguan pernafasan akut berat," katanya.
Agus menjadi salah satu narasumber jumpa pers bertema Rokok Elektronik Makan Korban yang diadakan Komite Nasional Pengendalian Tembakau.
Selain Agus, narasumber lain adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Aryo Suryo Kuncoro, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam (PAPDI) Eka Ginanjar, Sekretaris Bidang Hubungan Masyarakat dan Kesejahteraan Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Catharine Mayung Sambo, pegiat Green Crescent Indonesia Hari Nugroho, dan Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo.
Beban ganda remaja
Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo mengatakan rokok elektronik bisa menjadi beban ganda konsumsi nikotin pada remaja, selain melalui rokok biasa.
"Hal itu akan kontraproduktif terhadap pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing," kata Widyastuti pada kesempatan yang sama.
Kekhawatiran itu tidak berlebihan karena berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok biasa pada penduduk usia 10 tahun hingga 18 tahun meningkat menjadi 9,1% dari sebelumnya 7,2% pada 2013.
Sedangkan prevalensi perokok elektronik penduduk usia 10 tahun hingga 18 tahun adalah 10,9% menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, meningkat tajam dari 1,2% berdasarkan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016.
"Penggunaan rokok elektronik pada anak-anak dan remaja dapat merusak otak bagian depan yang memiliki fungsi kognitif, pengambilan keputusan, kekuatan memori, dan stabilitas emosi," kata Tuti, panggilan akrabnya.
Selain itu, rokok elektronnik diduga kuat berhubungan dengan gangguan paru berat dan mematikan.
Karena itu, Tuti meminta pemerintah tidak melakukan pembiaran yang dapat menjerumuskan anak dan remaja Indonesia ke dalam risiko kerusakan akibat rokok elektronik.
"Pemerintah harus segera membuat peraturan larangan rokok elektronik demi prinsip kehatian-hatian sampai terbukti rokok elektronik aman," tuturnya. (Ant)