Donor darah saat pandemi Covid-19: Stok turun, pendonor sepi
Meski ada rasa takut saat berdonor darah di tengah ancaman penularan SARS-CoV-2 penyebab Coronavirus disease 2019 (Covid-19), Gunanto warga Pekalongan, Jawa Tengah, tetap pergi ke Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Pekalongan.
Pria 25 tahun itu sudah lebih dari 15 kali sejak 2011 rutin mendonorkan darahnya. Karyawan di bidang otomotif itu takut berkontak dengan orang yang terinfeksi virus. Ia tak tahu petugas PMI yang melakukan pemeriksaan dan pengambilan darah memegang benda apa saja dan pergi ke mana, sebelum berkontak dengannya, meski petugas tersebut sudah mengenakan sarung tangan. Belum lagi situasi di lokasi donor darah yang terbilang ramai.
“Takut pasti ada, makanya pakai masker itu penting,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Minggu (21/6).
Sumbangan darah dari pendonor seperti Gunanto, sangat dibutuhkan orang-orang yang memiliki penyakit khusus, semisal talasemia—penyakit karena kelainan genetik yang ditandai dengan kurangnya jumlah hemoglobin dan sel darah merah. Kelainan tersebut membuat pengidapnya mengalami anemia atau kurang darah.
Salah seorang penderita talasemia, Eliza Riviera Rachmawati Jasin, membutuhkan transfusi darah untuk kelangsungan hidupnya. Sejak berusia tiga tahun, Eliza didiagnosis menderita talasemia beta mayor.
Setiap tiga minggu sekali, perempuan yang kini berusia 25 tahun itu harus melakukan transfusi darah di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia membutuhkan tiga hingga empat kantong sel darah merah golongan A+, dengan kapasitas sekitar 250 cubic centimetre (cc) setiap kantongnya.
“Ada juga anak talasemia mayor yang lain, yang dia normalnya saja itu bisa seminggu sekali transfusinya. Tergantung masing-masing pasien,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (21/6).
Ia menjelaskan, talasemia terdiri dari dua jenis, yakni alfa dan beta. Secara umum, jenis itu mengacu pada komponen penyusun utama molekul hemoglobin normal. Bentuknya juga terbagi dua, yakni mayor dan minor.
Pada penderita talasemia mayor, pasien harus rutin melakukan transfusi darah, sedangkan untuk minor terbilang jarang melakukannya.
“Mungkin bisa lima tahun sekali atau sekian tahun sekali kalau yang minor,” tutur Eliza.
Stok darah menipis, pendonor menurun
Eliza mengatakan, selama pandemi dokter dan perawat membuat grup WhatsApp untuk pasien talasemia yang melakukan transfusi darah di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Melalui grup itu, perawat akan menginformasikan nama pasien yang harus mencari pendonor sendiri.
Menurut dia, saat pandemi kerap kali rumah sakit kekurangan stok darah. Dalam situasi seperti ini, kata Eliza, yang amat kesulitan adalah pasien yang darahnya kompatibel. Sedangkan Eliza darahnya tidak kompatibel.
“Jadi, kalau misalnya darah yang incompatible biasanya PMI punya stok sendiri karena kan enggak semua orang bisa cocok darahnya,” kata karyawan di perusahaan aplikasi transportasi online itu.
“Kalau aku sendiri, selama ini enggak pernah disuruh nyari donor karena darahnya incompatible.”
Pasien yang darahnya kompatibel ini, kata dia, yang kesulitan mencari pendonor karena harus melakukan transfusi, semisal tiga minggu sekali. Sementara pendonor sendiri, jika darahnya cocok dengan yang kompatibel, tak bisa melakukan donor setiap tiga minggu.
“Misalnya, aku punya circle teman-teman SMA, kita minta darah ke mereka, tapi nanti pas tiga minggu kemudian kita enggak mungkin minta darah ke orang yang sama. Mereka kan harus tiga bulan (baru bisa donor lagi). Lelahnya di situ,” ucapnya.
Berkurangnya stok darah diakui Wakil Kepala Unit Transfusi Darah PMI Provinsi DKI Jakarta Ni Ken Ritchie. Ia menuturkan, sejak ada kebijakan belajar dan bekerja dari rumah, jumlah pendonor mengalami penurunan sekitar 80%.
“Biasanya 1.000 donor darah sukarela per hari menjadi hanya sekitar 200 donor darah sukarela per hari,” ucapnya saat dihubungi, Jumat (19/6).
Menipisnya stok darah terjadi untuk semua golongan darah, terutama sel darah merah yang dikemas. Padahal, ujar dia, sel darah merah merupakan salah satu komponen darah yang paling banyak dibutuhkan pasien. Jenis kedua yang banyak dibutuhkan adalah trombosit.
Berdasarkan data dari situs web utdpmidkijakarta.or.id, per tanggal 21 Juni 2020 pukul 13.00 WIB, stok darah jenis trombosit sebanyak 320 kantong, dengan rincian 107 golongan darah A, 40 golongan darah B, 18 golongan darah AB, dan 155 golongan darah O. Sementara stok sel darah merah sebanyak 139 kantong, dengan rincian 16 golongan darah A, 49 golongan darah B, 29 golongan darah AB, dan 45 golongan darah O.
Sehari kemudian, per 22 Juni 2020 pukul 11.00 WIB, terjadi penurunan jumlah stok darah. Jenis trombosit totalnya menjadi 287 kantong, dengan rincian 93 golongan darah A, 43 golongan darah B, 19 golongan darah AB, dan 132 golongan darah O.
Sedangkan sel darah merah menjadi 116 kantong, dengan rincian 17 golongan darah A, 38 golongan darah B, 34 golongan darah AB, dan 27 golongan darah O.
Dampak dari menurunnya jumlah pendonor dan menipisnya stok darah mengakibatkan PMI DKI Jakarta hanya mampu menyalurkan kebutuhan darah sekitar 40%-50% dari jumlah permintaan rumah sakit.
“Kebutuhan darah selama pandemi Covid-19, yakni 500-600 (kantong darah per hari),” ucapnya.
Menurut dia, kebutuhan darah semasa pandemi mengalami penurunan. Sebelum pandemi, ia mengatakan, per hari kebutuhan darah di Jakarta mencapai 900-1.000 kantong.
Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Unit Donor Darah PMI Pusat Linda Lukitasari Waseso juga mengakui stok darah secara nasional turun sebesar 20%. Meski begitu, Linda mengungkapkan, kebutuhan darah secara nasional juga mengalami penurunan akibat pandemi.
“Kebutuhan darah nasional juga menurun karena adanya penundaan operasi terencana,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (19/6).
Untuk menambah stok darah, Linda menjelaskan, dilakukan imbauan donor darah dan berkirim surat ke berbagai instansi, seperti TNI, Polri, dan pemerintah daerah. Aparatur sipil negara (ASN) pun diimbau ikut membantu mendonorkan darahnya.
“Alhamdulillah beberapa unit donor darah (UDD) PMI saat ini sudah mulai dapat meningkatkan persediaan darahnya, walaupun memang belum seperti semula,” katanya.
Amankah berdonor darah?
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yuni Miko Wahyono mengatakan, stok darah PMI yang berkurang memang bisa terjadi karena imbas kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
“Oleh karena itu, mungkin kalau mau meningkatkan (pendonor), PMI jemput bola pakai mobil pendonor,” katanya saat dihubungi, Sabtu (20/6).
Tri mengatakan, setidaknya ada dua alasan mengapa jumlah pendonor darah berkurang drastis selama pandemi. Pertama, lantaran ketakutan masyarakat untuk keluar rumah. Kedua, kekhawatiran kondisi tubuh menjadi lemah kalau mendonorkan darah.
Menurut Tri, mendonorkan darah memang memiliki dampak terhadap sistem kekebalan tubuh. Hal itu bisa terjadi karena saat mendonorkan darah, sel darah merah dan putih menjadi berkurang. Namun, meski berpengaruh, dampaknya tidak terlalu signifikan.
“Jadi, kalau donor kan paling tidak itu 250 cc. Padahal, jumlah darah itu kira-kira lima sampai enam liter. Kira-kira darah kita berkurang seperempat liter,” kata dia.
Terkait anggapan bahwa Covid-19 bisa menular melalui transfusi darah, Tri menjelaskan, intinya virus hidup di sel yang hidup. Sementara di darah yang didonorkan, terjadi kesan virus itu mati suri.
“Harus dilakukan penelitian di PMI, berapa lama sih virus mampu hidup di darah dengan suhu yang nyaman,” ucapnya.
Di sisi lain, Ni Ken memastikan aman jika pasien menerima donor darah. “Karena Covid-19 tidak menular lewat transfusi darah,” ujarnya.
Sementara Eliza menerangkan, hingga kini dokter yang menangani penyakitnya mengatakan belum pernah ditemukan kasus transfusi darah bisa menularkan Covid-19. "Semoga enggak," katanya.
Selama pagebluk virus, Linda pun memastikan pendonor, pasien, dan petugas PMI aman dari penularan. Ia mengatakan, unit transfusi darah (UTD) PMI memiliki protokol kesehatan. Dalam protokol kesehatan itu, kata dia, banyak langkah yang harus dijalankan.
“Seperti pembatasan jumlah pendonor dalam satu ruangan, pemerisaan suhu tubuh, menjaga jarak fisik, pemeriksaan dalam bentuk wawancara, hingga penyemprotan disinfektan,” ujar Linda.