DreadOut: Mengalahkan hantu dengan lampu kilat ponsel
DreadOut boleh berbangga. Setidaknya, film ini merupakan film Indonesia pertama hasil adaptasi sebuah gim bergenre horor buatan negeri sendiri. Film ini berkisah tentang sekelompok remaja SMA yang haus eksistensi di media sosial.
Jessica (Marsha Aruan) beserta teman-temannya, antara lain Erik (Jefri Nichol), Beni (Isryadillah), Dian (Susan Sameh), dan Alex (Ciccio Manassero), punya rencana gila mengunjungi sebuah gedung, bekas apartemen yang sudah lama kosong. Gedung ini terkenal angker.
Misteri sebuah gedung angker
Bangunan ini, dahulunya sempat menjadi perhatian publik, karena ada kasus penculikan dan percobaan pembunuhan yang dilakukan sekelompok orang. Namun, berhasil digagalkan polisi dengan menembak mati pelakunya. Sejak itu, bangunan ini ditinggal penghuninya.
Jessica dan teman-temannya berniat uji nyali sembari live di media sosial di gedung ini. Tujuannya, untuk meningkatkan jumlah followers.
Hanya saja, untuk dapat masuk ke gedung tersebut, mereka butuh akses ke penjaga gedung Kang Hery (Mike Lucock), yang hanya dikenal oleh adik kelas mereka yang bernama Linda (Caitlin Halderman).
Singkat cerita, mereka berenam masuk gedung tersebut. Sedari awal mereka telah memulai merekam setiap aktivitas di gedung dengan ponsel pintar. Termasuk mengabadikan hal-hal ganjil yang mereka temui. Akhirnya, mereka menemukan sebuah ruangan dengan garis marka yang tak boleh dilalui.
Alex menjadi orang yang sangat antusias dengan penemuan ini. Dia memaksa teman-temannya untuk masuk.
Didorong rasa penasaran, mereka berenam masuk. Mereka menemukan sebuah ruangan di mana terdapat perkamen kuno, dan simbol melingkar dengan aksara Sansekerta di sekelilingnya.
Menjadi tokoh sentral dalam film ini, Linda awalnya hanya digambarkan sebagai orang yang ikut-ikutan mendampingi teman-temannya. Namun, ketika teman-temannya sibuk mengabadikan gambar yang tertuang pada perkamen itu dengan kamera dan bantuan lampu kilat ponsel, Linda dapat melihat tulisan yang tak bisa dilihat teman-temannya.
Di sinilah ketegangan itu mulai terjadi.
Ketika membaca tulisan yang terdapat di perkamen tersebut, tiba-tiba lingkaran yang ada di tengah-tengah ruangan itu bercahaya, dan berubah menjadi kolam besar dengan air berwarna hijau yang membentuk pusaran.
Mereka semua terhempas masuk ke dalam pusaran tersebut. Linda dan Jessica masuk terlalu dalam, dan menggiring mereka menuju ke dimensi lain. Tempat di mana rumah bernuansa Sunda, lengkap dengan gamelannya, dan dikelilingi hutan belantara.
Pusaran itu semacam portal ke dimensi lain. Lokasi si Kebaya Merah bersemayam.
Dari sini cerita-cerita menegangkan coba dihadirkan oleh sang sutradara Kimo Stamboel. Dikejar-kejar pocong bercelurit, terjebak dalam lubang seukuran kuburan, diteror tangan-tangan yang muncul dari dalam tanah, hingga diburu Kebaya Merah ke manapun mereka pergi.
DreadOut boleh berbangga. Setidaknya, film ini merupakan film Indonesia pertama hasil adaptasi sebuah gim bergenre horor buatan negeri sendiri. Film ini berkisah tentang sekelompok remaja SMA yang haus eksistensi di media sosial.
Jessica (Marsha Aruan) beserta teman-temannya, antara lain Erik (Jefri Nichol), Beni (Isryadillah), Dian (Susan Sameh), dan Alex (Ciccio Manassero), punya rencana gila mengunjungi sebuah gedung, bekas apartemen yang sudah lama kosong. Gedung ini terkenal angker.
Misteri sebuah gedung angker
Bangunan ini, dahulunya sempat menjadi perhatian publik, karena ada kasus penculikan dan percobaan pembunuhan yang dilakukan sekelompok orang. Namun, berhasil digagalkan polisi dengan menembak mati pelakunya. Sejak itu, bangunan ini ditinggal penghuninya.
Jessica dan teman-temannya berniat uji nyali sembari live di media sosial di gedung ini. Tujuannya, untuk meningkatkan jumlah followers.
Hanya saja, untuk dapat masuk ke gedung tersebut, mereka butuh akses ke penjaga gedung Kang Hery (Mike Lucock), yang hanya dikenal oleh adik kelas mereka yang bernama Linda (Caitlin Halderman).
Singkat cerita, mereka berenam masuk gedung tersebut. Sedari awal mereka telah memulai merekam setiap aktivitas di gedung dengan ponsel pintar. Termasuk mengabadikan hal-hal ganjil yang mereka temui. Akhirnya, mereka menemukan sebuah ruangan dengan garis marka yang tak boleh dilalui.
Alex menjadi orang yang sangat antusias dengan penemuan ini. Dia memaksa teman-temannya untuk masuk.
Didorong rasa penasaran, mereka berenam masuk. Mereka menemukan sebuah ruangan di mana terdapat perkamen kuno, dan simbol melingkar dengan aksara Sansekerta di sekelilingnya.
Menjadi tokoh sentral dalam film ini, Linda awalnya hanya digambarkan sebagai orang yang ikut-ikutan mendampingi teman-temannya. Namun, ketika teman-temannya sibuk mengabadikan gambar yang tertuang pada perkamen itu dengan kamera dan bantuan lampu kilat ponsel, Linda dapat melihat tulisan yang tak bisa dilihat teman-temannya.
Di sinilah ketegangan itu mulai terjadi.
Ketika membaca tulisan yang terdapat di perkamen tersebut, tiba-tiba lingkaran yang ada di tengah-tengah ruangan itu bercahaya, dan berubah menjadi kolam besar dengan air berwarna hijau yang membentuk pusaran.
Mereka semua terhempas masuk ke dalam pusaran tersebut. Linda dan Jessica masuk terlalu dalam, dan menggiring mereka menuju ke dimensi lain. Tempat di mana rumah bernuansa Sunda, lengkap dengan gamelannya, dan dikelilingi hutan belantara.
Pusaran itu semacam portal ke dimensi lain. Lokasi si Kebaya Merah bersemayam.
Dari sini cerita-cerita menegangkan coba dihadirkan oleh sang sutradara Kimo Stamboel. Dikejar-kejar pocong bercelurit, terjebak dalam lubang seukuran kuburan, diteror tangan-tangan yang muncul dari dalam tanah, hingga diburu Kebaya Merah ke manapun mereka pergi.
Gagal membuat ketakutan
Hanya saja rasa mencekam dan ketakutan gagal dihadirkan dalam film bergenre survival horror ini. Alunan gamelan yang coba dijadikan latar suara dalam beberapa adegan dalam film ini tak dapat membangun suasana yang menegangkan. Lagi pula, pencahayaan film di momen-momen yang harusnya menegangkan terlalu terang, sehingga suasana mencekam yang coba dihadirkan tidak terlalu terasa.
Selain itu, efek komputer dalam film ini tak terlalu mumpuni. Rekahan-rekahan yang terdapat di tangan pocong dan di wajah Kebaya Merah, ketika kesakitan terkena lampu kilat kamera ponsel Linda, meninggalkan degradasi yang kasar. Namun, catatannya, hanya kilatan lampu kamera ponsel Linda lah yang ampuh membuat para dedemit ini kocar-kacir.
Jumpscare yang coba dihadirkan dalam film ini juga tak dapat menolong. Alih-alih berteriak dan terkejut, sebagian besar penghuni bioskop malah tertawa.
Sebab, kemunculan tiba-tiba Si Kebaya Merah dari balik pintu dan menarik-narik rambut Linda malah terlihat komikal. Ditambah lagi dengan munculnya pocong yang bersenjatakan celurit. Hal ini berada di luar imajinasi penonton tentang sosok hantu khas yang dibungkus kain putih ini.
Ketegangan yang telah digambarkan sejak pertama film dimulai, dengan siatuasi di mana sekelompok orang memegang sesosok makhluk yang berselimut kain batik, dan akan ditikam dengan keris, sebelum akhirnya digagalkan polisi, tak dapat ditemukan lagi di sisa adegan.
Sisa adegan seperti hanya bercerita tentang sesuatu yang dari awal tak terjelaskan dengan baik. Banyak plot cerita yang melompat dan tidak menemukan benang merahnya.
Misalnya, apa pentingnya keris itu bagi orang-orang yang telah membuka portal dimensi lain untuk pertama kalinya? Siapa Si Kebaya Merah pemilik keris tersebut? Dan untuk apa kemudian Beni mengatur rencana agar semua teman-temannya masuk dalam rencana busuknya, supaya dapat memiliki keris, yang dulu juga diburu oleh ayahnya?
Kejanggalan-kejanggalan dalam plot cerita ini hanya menyisakan impresi-impresi yang datar. Belum lagi munculnya adegan-adegan tak penting yang masuk dalam alur cerita, seperti Jessica yang masih sibuk mempertanyakan sinyal yang tak dia dapat.
Padahal dia tahu, dirinya sedang berada di dimensi lain. Atau Linda yang masih sempat-sempatnya membereskan buku-bukunya yang berceceran ke dalam tas, saat alur cerita sedang memasuki adegan diburu Si Kebaya Merah.
Bahkan telepon pintar milik Linda dan teman-temannya masih menyala dalam kondisi baik, meski telah retak karena terbentur dan berkali-kali tercebur air.
Meski begitu, sinematografi yang dihadirkan sang sutradara masih terbilang baik, dengan pengambilan angle kamera yang ciamik. Dan lebih jauh, film ini cukup menghibur penontonnya dengan munculnya adegan-adegan yang terkesan wagu tadi.
Film ini tak memberi plot cerita dengan baik. Banyak hal yang tak masuk akal. Benang merahnya tak terjelaskan.