E-sport, antara prestasi dan program pendidikan di sekolah
Turnamen Piala Presiden E-sports 2020 baru saja rampung digelar di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang Selatan. Selain Indonesia, edisi kedua turnamen ini diikuti Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Kamboja.
Turnamen yang mempertandingkan gim Free Fire, Football PES 2020, Ultra Space Battle Brawl, dan Mobile Premier League ini merupakan kolaborasi Indonesia E-sports Premier League (IESPL), Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
E-sport tengah berkembang pesat di Indonesia. Pada Asian Games 2018 di Jakarta, cabang yang menggunakan media video gim ini dipertandingan untuk pertama kalinya.
Di Indonesia, perkembangan e-sport tak lepas dari pertumbuhan gim pada awal 2000-an. Penggemar gim saat itu pasti kenal League of Legends, Mobile Legends, Defense of the Ancients (DotA), dan Counter Strike.
Survei yang dilakukan Newzoo dan Gamescom Asia menyebut, pemain gim di Indonesia menghabiskan total US$1 miliar untuk belanja gim pada 2018. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar gim terbesar di Asia Tenggara.
Newzoo dan Gamescom Asia pun melakukan survei kepada pengguna internet aktif di beberapa kota di Indonesia. Hasilnya, 74% pria dan 70% perempuan menyukai gim mobile, 62% pria dan 50% perempuan bermain gim konsol.
Tak jauh-jauh dari gim
Seorang mantan atlet e-sport yang sekarang bekerja sebagai public relations di Revival TV—sebuah agen dan event organizer turnamen e-sport—Gisma Priayudha mengatakan, sebagian pemain e-sport sudah masuk ke dunia hiburan. Seorang youtuber Kimi Hime adalah contohnya.
“Mereka juga ada yang mengisi acara-acara di tv sebagai host. Lebih masuk ke dunia entertainment atau acara olahraga,” ucap Gisma saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (4/2).
Dahulu, Gisma sempat beranggapan tak ada prospek cerah dari profesi atlet e-sport. Saat aktif kompetisi e-sport pada 2011-2013, sebuah tim pemenang yang berjumlah 5-8 orang hanya mendapat hadiah sebesar Rp2 juta.
Seiring waktu, kompetisi e-sport didukung sponsor dari berbagai perusahaan. Penyelenggara pun menjanjikan hadiah yang berkali lipat besarnya. Dengan dukungan tersebut, kini sebuah turnamen e-sport bisa menyediakan hadiah nominal tertinggi sekitar Rp100 juta.
“Seorang atlet e-sport dengan kelas pengalaman yang tinggi, punya besaran gaji sekitar Rp30-an juta per bulan. Sementara atlet e-sport kelas standar atau pemula, punya penghasilan sebesar Rp10 juta,” kata dia.
Head of E-sport EVOS Esports Aldean Tegar Gemilang pun punya kebanggaan, dengan keberhasilan tim yang ia pimpin dalam cabang Mobile Legends dan Arena of Valor di SEA Games 2019 di Manila, Filipina.
“Kami bisa mendapat dua medali perak di kedua cabang itu. Ini kebanggaan tersendiri bagi kami dan bagi para pemain karena feel-nya sangat berbeda dari turnamen biasa yang membawa nama klub. Kali ini kami membawa nama negara,” ujar Aldean saat dihubungi, Rabu (5/2).
Aldean terjun pertama kali sebagai atlet e-sport pada 2008. Ia sudah puluhan kali mengikuti turnamen e-sport, baik di dalam maupun luar negeri. Sejak 2016, ia memimpin tim EVOS Esports.
“Passion saya di games, jadi saya memutuskan untuk bergabung sebagai manajer tim di EVOS,” ujarnya.
Menurut Presiden Asosiasi E-Sports Indonesia (IESPA) Eddy Lim, dalam e-sport melibatkan dua instrumen penggerak utama, yakni atlet dan manajemen penyelenggara. Oleh karena itu, e-sport memungkinkan peluang baru bagi publik untuk masuk ke dunia profesional. Apalagi, kata dia, peminat dalam kejuaraan e-sport semakin banyak.
Misalnya, dalam kompetisi Piala Presiden E-sports 2020, jumlah peserta meningkat dibanding tahun sebelumnya.
“Tahun lalu 118.000 orang, sekarang 177.000 peserta,” ucap Eddy saat dihubungi, Senin (3/2).
Ia berpendapat, menjadi seorang pemain dalam kompetisi e-sport bukan sekadar bermain gim. Menurutnya, atlet e-sport punya sejumlah standar yang harus dipenuhi dalam performa mereka sebagai anggota tim.
Eddy mengatakan, layaknya dalam sepak bola, di e-sport ada sejumlah syarat bagi seorang pemain untuk bisa diterima masuk dalam tim. Latihan fisik pun dijalani para pemain, meski skalanya lebih kecil.
“Kondisi fisik harus kuat dan nutrisi makanan harus terjaga. Bergabung di dalam tim itu mereka membahas strategi dan cara mengalahkan lawan, juga membahas kekalahan dalam kompetisi sebelumnya,” tuturnya.
Geliat olahraga berbasis gim dalam jaringan itu pun kini masuk ranah pendidikan. Pada 2019, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) saat itu, Imam Nahrawi, sempat melontarkan wacana e-sport harus mulai masuk ke kurikulum pendidikan.
Menyasar program pendidikan
Beberapa kampus sudah membuka program e-sport. Salah satunya Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang. Sejak tahun ajaran 2018/2019, kampus ini membuka dua cabang program, yakni DotA2 dan Counter Strike: Global Offensive.
Meski belum ada program khusus e-sport, Universitas Bina Nusantara (Binus) punya program studi (prodi) Game Application and Technology (GAT).
Kepala Prodi GAT Binus Andry Chowanda mengatakan, prodi ini didirikan untuk merespons pertumbuhan industri gim yang pesat. Andry menuturkan, prodi ini dibuka pada 2011, di bawah Jurusan Ilmu Komputer. Prodi ini pun cukup tinggi peminatnya.
“Dari tahun ke tahun rata-rata jumlah mahasiswa di prodi ini 130 sampai 140 orang,” ucapnya saat ditemui di Universitas Bina Nusantara, Jakarta Barat, Rabu (5/2).
Lulusan prodi GAT, kata Andry, mayoritas bekerja di perusahaan pengembang gim Agate dan Gameloft, serta industri penunjang e-sport.
Andry menyebut, pengembangan keilmuan yang mereka jalankan mendukung ekosistem e-sport di Indonesia. Menurutnya, tak sedikit pula minat mahasiswa Binus untuk terjun dalam kompetisi e-sport. Minat ini lantas diwadahi divisi Student Club and Activity Center (SCAC) Binus, untuk menggelar ekstrakulikuler.
Namun, untuk ikut ekstrakulikuler e-sport, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi mahasiswa. “Indeks prestasi kumulatif minimal tiga. Ada sistem pendaftaran yang dirancang supaya tidak melupakan tanggung jawab utama di bidang akademis,” katanya.
Sejumlah sekolah pun sudah membuka ekstrakulikuler e-sport. SMA 1 PSKD Jakarta merupakan salah satu pelopor sekolah yang menerapkan program pembinaan e-sport sejak tahun ajaran 2016/2017. Menurut koordinator program pengembangan olahraga PSKD, Yohannes P. Siagian, e-sport di sekolah itu sudah dirintis sebagai ekstrakulikuler sejak 2010.
Ketika itu, gim daring diwarnai permainan DotA 1. Siswa menjalani program pembinaan e-sport intensif sekitar 15-20 jam dalam seminggu. Sebagai tahap awal pembinaan, program e-sport di sekolah ini meliputi tiga cabang utama dan dua cabang sekunder.
Cabang utama terdiri atas tim untuk permainan League of Legends, DotA 2, dan Counter Strike: Global Offensive. Adapun cabang sekunder meliputi Vainglory dan Hearthstone.
Ia mengatakan, perkembangan e-sport sebagai industri cukup besar, dan bisa menciptakan peluang karier bagi siswa. Ia pun menilai, e-sport bisa membuka peluang bidang pekerjaan yang lebih luas.
“Sampai saat ini pun industri e-sport masih sangat kekurangan SDM, baik secara kualitas maupun kuantitas. Bahkan, banyak sekali perusahaan ternama atau brand besar yang mencari staf yang paham dunia e-sport, agar bisa menjembatani strategi pemasaran mereka dengan pasar e-sport,” kata Yohannes saat dihubungi, Selasa (4/2).
Alasan lain e-sport dimasukkan sebagai materi program pembinaan di sekolah ini, kata dia, ada pergeseran standar keahlian yang menjadi syarat calon pegawai. Ia menyebut, beberapa keterampilan dasar untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah, kerja sama dan komunikasi dalam tim, menjadi tuntutan banyak perusahaan.
“Nilai-nilai tersebut dimungkinkan untuk bisa dilatih melalui permainan e-sport yang dijalani peserta didik,” ujarnya.
“Seorang murid yang aktif dibina di dalam bidang tersebut akan mendapat kesempatan mempelajari berbagai soft skill yang saat ini sangat diperlukan di dunia kerja.”
Selain itu, menurutnya, e-sport menunjukkan tren positif pada peningkatan prestasi akademis siswa. Menurut Kepala Sekolah SMA 1 PSKD Ignas Praditya, siswa yang tertarik mengikuti program e-sport harus melewati proses seleksi.
“Bidang e-sport tidak mesti nanti mengarahkan siswa berkarier sebagai pemain game profesional. Bisa juga berarti menunjang karier di bidang marketing, sales, teknologi, atau keuangan,” ucap Ignas saat dihubungi, Selasa (4/2).
Di samping SMA 1 PSKD, SMA Marsudirini Bekasi pun menggembleng bakat siswanya menjadi atlet e-sport. Kepala Sekolah SMA Marsudirini, Hubertus Nugroho Sudjatmiko mengatakan, pada 2018 sekitar 10 siswanya ikut kompetisi High School League E-sports (HSL).
“Para siswa diseleksi. Syarat utamanya, mereka harus punya nilai akademis yang baik. Misalkan, yang bisa ikut nilai pelajarannya 75 ke atas,” ucap Hubertus saat dihubungi, Selasa (4/2).
Di HSL 2018, siswa sekolah ini berhasil meraih tempat ketiga. Lantas, setelah laboratorium e-sport dibangun pada Juli 2019, sekolah ini membuka ekstrakulikuler e-sport. Dalam kompetisi HSL 2019, tim SMA Marsudirini memperoleh peringkat pertama untuk gim DotA 2.
Mempertimbangkan e-sport
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto mengungkapkan, pihaknya tengah mematangkan peraturan menteri terkait e-sport. Nantinya, di dalam peraturan itu akan mencakup definisi yang membedakan antara e-sport dan video game.
“Supaya ke depan ada pandangan yang satu atau jelas di masyarakat mengenai e-sport sebagai sebuah olahraga, prinsip-prinsipnya, dan nilai sebagaimana olahraga lain,” kata Gatot saat dihubungi, Rabu (5/2).
Aturan itu menjadi langkah Kemenpora untuk mendukung terbangunnya ekosistem e-sport di Indonesia. Hingga kini, katanya, penyusunan peraturan tersebut masuk ke tahap akhir.
“Tentunya, e-sport ini bukan barang baru. E-sport sudah ada lebih dulu di negara lain, Asia Tenggara dan dunia,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, pengamat pendidikan Doni Koesoema melihat, ketimbang e-sport lebih baik mengembangkan olahraga lainnya. Ia mengatakan, e-sport tak ada kaitannya dengan pembelajaran.
“Jadi, sangat tidak relevan sebagai pembentukan karakter individu,” kata dia saat dihubungi, Kamis (6/2).
Sementara itu, pengamat pendidikan lainnya Darmaningtyas memandang, pertumbuhan e-sport menyedot minat besar generasi muda, terutama pelajar dan mahasiswa. Tak heran jika belakangan lembaga pendidikan menjalankan program pembelajaran terkait e-sport. Meski begitu, ia memandang, perlu pertimbangan cermat cara menerapkan e-sport.
"Itu belum terlalu penting dengan momen pengembangan pendidikan dengan dunia industri yang tengah digencarkan Menteri Pendidikan sekarang," ujarnya saat dihubungi, Kamis (6/2).
Daripada mengembangkan e-sport, Darmaningtyas mengingatkan tentang pentingnya kesinambungan nilai dalam industri digital, yang harus disispkan di kurikulum.
"Saya rasa e-sport bisa saja diterapkan, tapi untuk tingkat pendidikan tinggi saja dulu. SMA sebaiknya perlu dipertimbangkan, khususnya persiapan penjurusan bidang-bidang ilmu apa yang mau didalami siswa saat akan melanjutkan pendidikan ke kampus," ucapnya.