Efek domino kekerasan perempuan berbasis online
Kasus penyebaran video asusila di media sosial awal November lalu—yang diduga mirip penyanyi Gisella Anastasia—menambah panjang daftar tindak penyebaran konten intim nonkonsensual atau revenge porn. Hingga kini, kasus hukum atas video tersebut masih ditangani Subdit Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya.
Dua orang pelaku penyebar video sudah ditangkap polisi. Pada 17 November, Gisel dan pengacaranya pun memenuhi panggilan Polda Metro Jaya sebagai saksi. Ketika dikonfirmasi reporter Alinea.id, Jumat (20/11), pengacara Gisel, Sandy Arifin, belum berkenan memberikan informasi terkait perkembangan kasus kliennya.
Pada 8 November lalu, video porno berdurasi 19 detik itu diperkarakan seorang advokat, Pitra Romadoni Nasution. Pitra melaporkan beberapa akun yang terindikasi menyebarkan video asusila tersebut ke Polda Metro Jaya. Pelaporan ini merujuk Pasal 45 juncto Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 6 juncto Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dalam kasus ini, Pitra menyayangkan publik yang cenderung menuduh sosok perempuan di dalam video itu sebagai Gisel. Menurut dia, hal itu akan merugikan nama baik Gisel dan keluarganya.
“Saya mengharap kepada masyarakat agar jangan dulu berandai-andai dan menyandingkan foto orang-orang lain dengan artis tersebut,” kata Pitra saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (19/11).
“Masyarakat harus bersabar sambil menunggu hasil resmi dari polisi agar tidak ada yang dirugikan.”
Penyidik, kata Pitra, sedang memastikan hasil pemeriksaan digital forensik terhadap konten tersebut untuk mengidentifikasi wajah pemeran dalam video.
“Si penyebar dan si pembuat harus diberikan hukuman maksimal karena telah membuat kegaduhan di tengah-tengah masyarakat,” kata Pitra.
Usaha pemerintah
Pemerintah bukannya tanpa usaha menghambat penyebaran konten asusila. Menurut juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Dedy Permadi, pihaknya sudah sering memblokir tautan-tautan situs web yang mengandung unsur pornografi.
Kemenkominfo juga sudah berkoordinasi dengan pengelola platform media sosial untuk melakukan pencabutan (take down) terhadap konten-konten negatif. Terkait kasus video asusila yang belakangan menghebohkan publik, pihaknya pun melakukan pemblokiran terhadap situs web-situs web yang kemungkinan menampilkan selebritas tertentu.
“Kasus ini sepenuhnya ditangani oleh penyidik kepolisian. Dalam hal penyidik membutuhkan ahli UU ITE dari Kementerian Kominfo, maka kami siap memberikan dukungan,” kata Dedy saat dihubungi, Jumat (20/11).
Dedy mengungkapkan, Kemenkominfo menerapkan kebijakan dari hulu ke hilir dalam menangani muatan konten negatif di internet. Di hulu, Kemenkominfo mengupayakan literasi digital untuk memberikan pengetahuan ke publik, agar makin bijak mengakses internet.
“Supaya publik dapat menumbuhkan ketahanan dari muatan negatif di internet,” ucapnya.
Di tingkat menengah, kata Dedy, Kemenkominfo bekerja sama dengan platform internet untuk menutup akses publik pada konten-konten bermuatan negatif. Sementara di hilir, Kemenkominfo memberikan dukungan kepada pihak kepolisian untuk melakukan upaya penegakan hukum.
Pengamat teknologi, informasi, dan komunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi mengatakan, penggunaan internet yang pesat dewasa ini sangat riskan memungkinkan sebuah data digital, termasuk video, tersebar dengan mudah.
“Setiap orang semestinya harus lebih berhati-hati dalam menyimpan data,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (19/11).
“Ketika membuat, meski koleksi pribadi, harus dipikirkan kalau-kalau video tersebut tersebar secara tidak sengaja oleh orang lain.”
Lebih lanjut, Heru menjelaskan, ada dua persoalan yang selalu dilibatkan dalam pengusutan kasus penyebaran video asusila. Pertama, penindakan pelaku yang menyebabkan konten bisa diakses publik. Kedua, siapa pihak pembuat konten.
Sementara itu, psikolog klinis Kasandra Putranto menilai, tindakan menyebar video porno merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya, terlepas dari penilaian masyarakat adanya pelanggaran norma, menyebarkan video intim dan menghakimi orang yang tampil di dalamnya merupakan bentuk kekerasan. Kasandra mengusulkan pencegahan tindak penyebaran konten intim melalui pendidikan bagi publik soal keamanan digital.
“Sebaiknya publik juga tidak merekam aktivitas intim karena berpotensi untuk disebarluaskan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,” ucapnya saat dihubungi, Sabtu (21/11).
Dampak buruk KBGO
Dihubungi terpisah, komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah menyebut, salah satu faktor utama yang masih menimbulkan problem berulang dari kasus penyebaran konten intim nonkonsensual adalah pandangan patriarki.
Akibatnya, penanganan kasus hukum akan berat sebelah, lebih menitikberatkan perempuan sebagai pihak yang salah atau korban. Selain itu, penyebaran konten intim memiliki dampak sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kerugian akan lebih besar menimpa perempuan. Terminologi “melanggar kesusilaan” yang tercantum dalam UU ITE juga dipandang Siti masih kurang punya misi melindungi korban kekerasan seksual.
Terminologi itu tercantum dalam Pasal 45 ayat 1 UU ITE, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Pasal 27 ayat 1 UU ITE menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
“Perlu direvisi beberapa ketentuan dalam UU ITE tersebut,” kata dia saat dihubungi, Kamis (19/11).
Siti pun menyoroti UU Pornografi. Di dalam beleid itu, terdapat ketentuan yang menjadikan seseorang di dalam konten atau melakukan tindak pornografi sebagai sasaran untuk dijatuhi hukuman pidana.
Ketentuan yang dimaksud Siti adalah Pasal 34 UU Pornografi, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar. Pasal 8 UU Pornografi sendiri menyebut, setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Menurut staf Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum, motif pelaku penyebar video adalah untuk melecehkan korban dalam konten itu, yang termasuk sebagai kekerasan berbasis gender online (KBGO). KBGO juga termasuk menyebarkan video intim yang diambil tanpa izin orang yang bersangkutan.
“Dari motif dan modusnya, penyebaran konten intim nonkonsensual memang menargetkan supaya si korban menjadi malu,” katanya ketika dihubungi, Kamis (19/11).
“Maka, agar lebih mudah menjangkau audiens, media sosial jadi salurannya.”
Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2018-2019, terjadi lonjakan kasus KBGO dari 65 menjadi 97 kasus. Pada 2019, meningkat 300% menjadi 281 kasus. Komnas Perempuan menggarisbawahi, selama tiga tahun yang paling menonjol adalah tindak penyebaran konten intim nonkonsensual.
Sedangkan menurut Siti, data terbaru Komnas Perempuan dari Januari hingga Oktober 2020 melaporkan, ada 659 kasus KBGO. Jumlah ini didominasi tindak kekerasan seksual, salah satunya berupa ancaman dan penyebaran konten intim.
Sementara data SAFEnet sepanjang 2019 mencatat, ada sekitar 60 aduan KBGO. Sebanyak 45 di antaranya terkait penyebaran konten intim nonkonsensual. Sepanjang Maret hingga Juli 2020, penyebaran konten intim nonkonsensual naik signifikan hingga empat kali lipat, sebanyak 169 aduan.
Nenden mengatakan, di masa pandemi Covid-19 kasus KBGO meningkat signifikan. Menurutnya, biang keladinya adalah seringnya masyarakat mengakses internet di gawai di saat pandemi.
“Karena tak ada kegiatan lain, akhirnya dalam keseharian mereka aktif menggunakan internet dan media sosial,” katanya.
Singkat kata, frekuensi penggunaan internet yang semakin tinggi, memperbesar risiko penyalahgunaan. Beberapa layanan dalam aplikasi komunikasi, kata dia, rentan dimanfaatkan orang untuk bertindak negatif.
Ia mencontohkan, dalam komunikasi melalui panggilan video, orang berpeluang iseng merekam percakapan tanpa izin. Sama halnya dalam penggunaan berbagai aplikasi kencan daring.
“Lalu dengan mudah itu disebar,” ucapnya.
Korban yang kemungkinan tidak tahu sudah direkam, sangat berpeluang dianggap ikut memproduksi video porno. Selain terancam hukuman, nama baik korban akan tercoreng.
“Stigma atau stereotip negatif lantas dengan mudah melekat pada orang itu,” kata dia.
Tak hanya itu, dia mengingatkan, bahaya dampak kesan buruk akan berlangsung lama. Korban sering juga menjadi sasaran victim blaming oleh publik.
“Sayangnya, publik pun ikut menjadi kepo. Si artis dalam video itu lalu diulik dan dicap sebagai ‘perempuan nakal’ atau stereotip lainnya,” ujarnya. “Hal-hal baik dari orang di dalam video itu jadi tidak diperhitungkan.”
Dampak buruk pun bisa merembet kepada orang-orang terdekat atau keluarga korban. Hal ini berpotensi menimbulkan trauma berkepanjangan dan melukai orang lain dalam lingkaran keluarga korban. Jejak digital seputar pemberitaan di internet turut mengawetkan isu itu.
“Meskipun orang dalam video itu tidak terbukti sebagai tokoh artis, tapi namanya sudah disebut-sebut oleh media,” ucapnya. “Jejak digital selalu tersimpan dan tak bisa hilang.”
Di sisi lain, orang yang tampak di dalam video porno sangat rawan menjadi sasaran kriminalisasi lantaran ada pasal di dalam UU ITE yang bersifat sumir atau pasal karet.
Nenden mengakui, SAFEnet belum mencatat satupun penanganan kasus hukum soal video intim nonkonsensual yang bisa menjerat pelakunya dengan hukuman pidana yang tegas. Karena alasan itu, ia memperkirakan, kasus-kasus video porno yang diduga melibatkan selebritas akan terus berulang.
“Idealnya memang perlu ada payung hukum tersendiri yang fokus mengurus KBGO agar tegas dan benar-benar melindungi korban,” tuturnya.
Keadilan dibutuhkan, bukan hanya berupa hukuman kepada pelaku. Kata dia, pihak yang menjadi korban juga memerlukan pemenuhan hak atas pemulihan psikologisnya.
“KBGO itu dampaknya sangat berlipat-lipat pada korban,” ujarnya.