close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi wajah./Foto Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi wajah./Foto Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 15 Juli 2024 06:05

Ekspresi wajah bisa ungkap arah politik seseorang

Para peneliti dari Italia menemukan, ekspresi wajah seseorang dapat menentukan arah politiknya.
swipe

Ekspresi wajah seseorang, terutama sedikit gerakan di sekitar mata, ternyata dapat mengungkapkan kecenderungan politik kita. Hal itu adalah kesimpulan temuan penelitian Edita Fino, Michela Menegatti, Alessio Avenanti, dan Monica Rubini dari departemen psikologi Alma Mater Studiorum Universita di Bologna, Italia, yang terbit di jurnal Plos One (April, 2024). Penelitian itu menemukan, partisipan sayap kiri menunjukkan reaksi wajah yang berbeda ketika membaca senyuman dan kerutan di wajah politisi dalam kelompok sayap kiri dan politisi sayap kanan.

Pemimpin politik kerap kali menggunakan senyum mereka untuk memengaruhi opini publik, membangkitkan perasaan bahagia, dan mendapatkan dukungan dalam pemilu. Namun, senyum bisa menyampaikan berbagai emosi, mulai dari kenyamanan hingga dominasi.

Para peneliti melakukan eksperimen di Universitas Bologna, melibatkan 30 mahasiswa yang diidentifikasi sebagai sayap kiri. Peserta sebagian besar adalah perempuan, dengan usia rata-rata 22 tahun, dipilih berdasarkan identifikasi politik.

Mereka duduk terpisah di laboratorium, elektroda dipasang pada otot wajah tertentu untuk merekam reaksi. Mereka ditugaskan membaca frasa subjek kata kerja yang menggambarkan politisi sayap kiri dan kanan tersenyum atau mengerutkan kening di monitor komputer.

Aktivitas otot wajah direkam menggunakan elektromiografi, dengan fokus pada tiga otot utama, yakni zygomaticus mayor yang membuat bibir tersenyum, orbicularis oculi yang menyebabkan kerutan di sekitar mata, dan corrugator supercilii yang membuat kerutan di kening.

Disebut PsyPost, zygomaticus mayor menunjukkan aktivasi yang lebih tinggi ketika peserta membaca politisi dalam kelompok sayap kiri yang tersenyum, dibandingkan dengan politisi sayap kanan. Aktivasi otot ini meningkat secara konsisten dan bertahap, mencapai puncaknya pada waktu terakhir interval pasca-stimulus 3.000 milidetik.

“Sebaliknya, ketika melihat politisi sayap kiri yang mengerutkan kening, terjadi penurunan terhadap aktivitas utama zygomaticus,” tulis PsyPost.

“Hasil ini menunjukkan, peserta merespons dengan senyuman yang lebih jelas ketika meihat senyuman dari politisi dalam kelompok (sayap kiri).”

Orbicularis oculi yang menunjukkan senyuman tulus dengan menimbulkan kerutan di sekitar mata pun memperlihatkan aktivasi yang lebih tinggi ketika peserta melihat politisi sayap kiri tersenyum.

Aktivitas otot ini mencapai puncaknya, sekitar 500 hingga 1.000 milidetik setelah timbulnya stimulus, yang menunjukkan respons cepat terhadap dampak positif dari para politisi sayap kiri. Sebaliknya, orbicularis oculi menunjukkan aktivasi yang lebih lemah ketika para peserta membaca politisi sayap kanan yang mengerutkan kening.

Corrugator supercilii menunjukkan aktivasi yang lebih tinggi ketika peserta melihat politisi sayap kiri yang mengerutkan kening dibandingkan dengan politisi sayap kanan. Aktivasi otot ini lebih jelas dan berkelanjutan dari waktu ke waktu, mencapai puncaknya pada 2.000 hingga 2.500 milidetik pasca-stimulus. Selain itu, ketika membaca politisi sayap kiri yang tersenyum, terjadi penurunan terhadap aktivitas corrugator supercilii. Hal ini menunjukkan, peserta memiliki respons mengerutkan kening yang lebih jelas terhadap kerutan politisi sayap kiri dan berkurangnya respons cemberut terhadap senyuman mereka.

“Meski ada keterbatasan, temuan kami merupakan yang pertama menyoroti bagaimana bahasa dan informasi sosial dapat membentuk mekanisme yang mendasari reaktivitas wajah, yang bisa menjadi relevan terutama dalam bidang komunikasi sosial dan politik,” tulis para peneliti.

Penelitian serupa pernah dilakukan Michal Kosinski, Poruz Khambatta, dan Yilun Wang dari Stanford University. Hanya saja, penelitian yang diterbitkan di jurnal American Psychologist (2024) tersebut menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dalam melihat fitur wajah seseorang yang berkorelasi dengan kecenderungan politiknya.

Penelitian ini melibatkan 591 peserta, yang diberi tugas menjawab kuesioner politik yang memberikan wawasan tentang isu-isu sosial tertentu, yang biasanya menginformasikan kecenderungan politik. Wajah peserta kemudian dipindai menggunakan teknologi yang mencakup kemampuan AI, yang bertujuan menentukan bagaimana fitur wajah dapat digunakan dalam menentukan kepercayaan politik seseorang.

“Kami menunjukkan, orientasi politik dapat diprediksi dari gambar wajah yang netral, baik oleh manusia maupun algoritma, bahkan ketika faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, dan etnis diperhitungkan,” tulis para peneliti.

“Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara kecenderungan politik dan karakteristik wajah yang melekat, yang sebagian besar berada di luar kendali individu.”

Dikutip dari News Nation Now, menurut penelitian, kaum liberal cenderung memiliki wajah yang lebih kecil dan lebih rendah, sedangkan kaum konservatif punya wajah yang lebih besar dan lebih luas. Selain itu, penelitian tersebut menemukan, orang-orang yang lebih condong ke kiri secara politik memiliki bibir dan hidung yang lebih kecil dan menggeser ke bawah, serta punya dagu yang lebih kecil dibandingkan mereka yang lebih konservatif.

“AI dapat mengenai kaum konservatif dan liberal hanya dengan mempertimbangkan nuansa kecil pada fitur wajah, dengan tingkat keberhasilan 70%,” tulis News Nation Now.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan