close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi seseorang yang mengalami alexithymia ./Foto rubberduck1951/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi seseorang yang mengalami alexithymia ./Foto rubberduck1951/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Mental Health
Jumat, 17 Januari 2025 06:06

Emosi adalah misteri bagi penderita alexithymia

Autisme adalah salah satu faktor seseorang menderita alexithymia.
swipe

Direktur Tree of Life Behavioral Health di Madison, Jessica Penot, mengaku didagnosis autisme di usia 40-an, dalam tulisannya di Psychology Today. Setelah itu, dia baru menyadari kesulitan memahami kondisi emosionalnya sendiri.

“Orang lain terkadang mengatakan aku cemas, tetapi aku tidak dapat mengidentifikasi emosi itu, tanpa waktu dan analisis yang mendalam,” ujar Penot.

“Semua emosi terasa sama.”

Selain itu, dia mengaku, sering kali bereaksi secara tidak tepat terhadap situasi emosional melalui wajahnya. “Sebab, saya tidak tahu harus mearasa apa,” kata dia.

Penot mengalami alexithymia. Menurut Healthline, orang yang mengalami alexithymia kesulitan menggambarkan dan mengekspresikan emosi diri mereka sendiri. Misalnya, mengekspresikan rasa bahagia saat situasi yang menggembirakan. Orang lain pun mengalami kesulitan mengidentifikasi emosi mereka.

Asisten peneliti bidang kesehatan masyarakat di Swansea University, Rebecca Ellis dalam The Conversation mengatakan, istilah alexithymia pertama kali dideskripsikan dalam sebuah penelitian pada 1970-an. Berasal dari kata Yunani: a (tidak), lexis (kata-kata), dan thymia (jiwa atau emosi)—yang diterjemahkan sebagai “tidak ada kata untuk emosi.” Saat itu, belum ada diagnosis klinis.

“Namun diperkirakan, kondisi ini memengaruhi sekitar 10% dari populasi umum,” tulis Ellis.

Pengalaman alexithymia, kata Ellis, berbeda-beda setiap orang. Semisal, penderita autis mengalaminya pada tingkat yang lebih tinggi, antara 33% dan 66%. Kondisi ini pun lebih sering terjadi pada penderita gangguan obsesif kompulsif, gangguan disforik pramenstruasi, gangguan stres pascatrauma, kecemasan, dan depresi.

Akan tetapi, Healthline menyebut, tidak semua orang dengan kondisi tersebut mengalami masalah dalam mengenali atau mengekspresikan emosi. Penelitian menunjukkan, hanya sebagian kecil yang terpengaruh.

Mereka yang mengalami alexithymia, sebut Healthline, tidak selalu bersikap apatis. Namun, mereka tidak memiliki emosi yang sekuat orang lain dan mengalami kesulitan dalam merasakan empati.

Selain faktor psikologis, kondisi ini bersifat genetik. Penyebab lainnya, karena kerusakan pada insula—bagian otak yang berperan dalam keterampilan sosial, empati, dan emosi.

Alexithymia pun bisa muncul pada beberapa penyakit dan cedera neurologis, seperti penyakit alzheimer, distonia, epilepsi, penyakit huntington, sklerosis ganda, parkinson, stroke, serta cedera otak traumatis.

Gejala alexithymia sulit dikenali. Namun Healthline menyebut, seseorang dengan kondisi alexithymia, kemungkinan merasa marah, bingung, kesulitan “membaca” wajah orang lain, tidak nyaman, kehampaan, detak jantung meningkat, kurang kasih sayang, dan panik.

“Kondisi ini juga dapat membuat seseorang kesulitan menafsirkan perubahan tubuh sebagai respons emosional,” tulis Healthline.

“Misalnya, seseorang tidak mengaitkan detak jantung yang cepat dengan kegembiraan atau ketakutan, meski mereka menyadari adanya respons fisiologis.”

Di sisi lain, dalam The Conversation Ellis menulis, seseorang dengan alexithymia perlu mengingat kembali suatu kejadian untuk memahami apa yang mereka rasakan saat itu lewat petunjuk kontekstual. Mereka sering kali menyesuaikan tindakannya untuk mengatasi hal ini di situasi mendatang.

Orang dengan alexithymia juga merespons secara berbeda terhadap kejadian yang biasanya memicu emosi bersama, seperti kematian seorang selebritas. Reaksi yang tampak tidak pada tempatnya bagi orang lain, ujar Ellis, bisa menyebabkan kesalahpahaman.

Hingga sekarang, belum ada pengobatan khusus untuk alexithymia. Menurut Healthline, pendekatan pengobatan tergantung pada kebutuhan kesehatan seseorang secara keseluruhan. Terapi juga bisa membantu kondisi ini, seperti terapi perilaku kognitif, terapi kelompok, dan psikoterapi.

Pinot dalam Psychology Today menjabarkan beberapa strategi untuk mengatasi alexithymia yang dideritanya. Dia tak bisa memahami rasa takut, jadi Pinot mencoba untuk melihat sekeliling, melihat berbagai hal di lingkungannya yang seharusnya menakutkan, dan menganalisis risikonya berdasarkan beberapa konstruksi yang masuk akal. Dia tak bisa menafsirkan rasa sakit dengan tepat, maka Pinot mencoba bersikap logis.

“Ini memakan waktu dan melelahkan, saya sering kali salah. Saya akan berakhir di UGD karena jari kaki terantuk dan akan mengabaikan tulang yang patah,” tutur Pinot.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan