close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Seniman Entang Wiharso. Foto Istimewa
icon caption
Seniman Entang Wiharso. Foto Istimewa
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 07 Desember 2020 20:07

Entang Wiharso dan perjalanan seninya dua tahun terakhir

Pelaksanaan Pilpres AS pada November juga menjadi inspirasinya dalam menggarap karya seni.
swipe

Seniman Entang Wiharso menggelar bincang virtual dan presentasi visualnya dengan dukungan Can’s Gallery Indonesia dan dimoderatori oleh kurator Bambang Asrini Widjanarko kepada para apresian di Tanah Air. 

Bincang Virtual itu memaparkan pembahasan karya-karya terakhir Entang Wiharso selama dua tahun, yakni 2019-2020 di dalamnya termasuk Promising Land Chapter 2 yang sebenarnya berelasi dengan karya-karyanya sejak 2009-2017.

Secara substansi, Promising Land Chapter 2 memuat lansekap fisik, yakni meriset kontur tanah, topografi, karakter dan jenis populasi pun tipikal objek dan artefak fisik serta sarana-prasana sebuah tempat secara optikal di Amerika Serikat.

Lansekap psikogeografis merujuk pada tafsir Entang tentang sebuah tempat khusus dan pengalaman personalnya berkelindan dengan tempat secara lebih luas. Semacam upaya menggambarkan ingatan komunal masyarakat Amerika Serikat dengan kode-kode visual dan menjadi perwakilan psikis masyarakat itu.

Entang juga menafsirkan lansekap fenomena, yakni sekumpulan peristiwa sejarah dengan usahanya menyingkap, terutama peristiwa khusus yang besar dan penting yang terjadi di Amerika pada masa lalu dan yang terkini. Kemudian ia kaitkan pengalaman sangat personalnya.

Entang Wiharso menamatkan studinya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, yang ia memang mengintimasi dua budaya. Dia memilih menikahi warga Amerika Serikat, Christine Cocca yang juga lulusan Seni grafis, S2 manajemen seni Carnegie Mellon University dan banyak mengkurasi dan menuli seni di media.

Sejak 1997 hilir-mudik Yogjakarta-Amerika Serikat, maka tak heran keluarganya memeluk fenomena bikultural dan birasial yang mewariskan keyakinan spiritual dan pandangan ideologi kolektif yang majemuk pula.

Topik identitas, politik dan pandemi

Program fellowship dari John Simon Gugenheim Memorial Foundation pada Juni 2019-Juni 2020 di New York, AS membuat Entang meneliti, dengan pengalaman identitas personalnya, mengamati serta memahami lebih mendalam bagaimana sebuah tempat atau geografi sebuah lokasi berelasi dengan sejarah, topografi fisik sampai peristiwa-peristiwa fenomenal berkonteks politik.

“Saya tahu bahwa begitu banyak konflik politik  tahun-tahun terakhir ini di Amerika, dari isu rasial, gerakan black lives matter sampai bahkan mungkin gejala xenophobia dengan sebutan kuasa “white supremacy" itu. Saya terkejut bagaimana teori konspirasi mendapat hati jutaan orang. Mereka tidak percaya fakta melainkan percaya pada fantasi dan narasi palsu,yang lebih memprihatinkan mereka antiscience. Ini saya kira pengaruh besar dari pimpinannya. Saya kira Amerika akan kembali kejalan yang semestinya di bawah kepemimpinan Joe Biden.” katanya. 

Hal itulah yang membuatnya mencoba menyusuri dan mempelajari masa lalu tentang sejarah Amerika, melihat jejak-jejak civil war, sejarah budaya dan seni, juga potensi traumatik tentang isu perbudakan masa lalu, sekaligus rekonsiliasi sampai terbentuknya negara demokrasi terbesar sejagat ini. Dirinya tertarik persoalan ini karena memengaruhi hidupnya sebagai pendatang.

Seniman Entang Wiharso menggelar bincang virtual dan presentasi visualnya dengan dukungan Can’s Gallery Indonesia dan dimoderatori oleh kurator Bambang Asrini Widjanarko kepada para apresian di Tanah Air. 

Bincang Virtual itu memaparkan pembahasan karya-karya terakhir Entang Wiharso selama dua tahun, yakni 2019-2020 di dalamnya termasuk Promising Land Chapter 2 yang sebenarnya berelasi dengan karya-karyanya sejak 2009-2017.

Secara substansi, Promising Land Chapter 2 memuat lansekap fisik, yakni meriset kontur tanah, topografi, karakter dan jenis populasi pun tipikal objek dan artefak fisik serta sarana-prasana sebuah tempat secara optikal di Amerika Serikat.

Lansekap psikogeografis merujuk pada tafsir Entang tentang sebuah tempat khusus dan pengalaman personalnya berkelindan dengan tempat secara lebih luas. Semacam upaya menggambarkan ingatan komunal masyarakat Amerika Serikat dengan kode-kode visual dan menjadi perwakilan psikis masyarakat itu.

Entang juga menafsirkan lansekap fenomena, yakni sekumpulan peristiwa sejarah dengan usahanya menyingkap, terutama peristiwa khusus yang besar dan penting yang terjadi di Amerika pada masa lalu dan yang terkini. Kemudian ia kaitkan pengalaman sangat personalnya.

Entang Wiharso menamatkan studinya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, yang ia memang mengintimasi dua budaya. Dia memilih menikahi warga Amerika Serikat, Christine Cocca yang juga lulusan Seni grafis, S2 manajemen seni Carnegie Mellon University dan banyak mengkurasi dan menuli seni di media.

Sejak 1997 hilir-mudik Yogjakarta-Amerika Serikat, maka tak heran keluarganya memeluk fenomena bikultural dan birasial yang mewariskan keyakinan spiritual dan pandangan ideologi kolektif yang majemuk pula.

Topik identitas, politik dan pandemi

Program fellowship dari John Simon Gugenheim Memorial Foundation pada Juni 2019-Juni 2020 di New York, AS membuat Entang meneliti, dengan pengalaman identitas personalnya, mengamati serta memahami lebih mendalam bagaimana sebuah tempat atau geografi sebuah lokasi berelasi dengan sejarah, topografi fisik sampai peristiwa-peristiwa fenomenal berkonteks politik.

“Saya tahu bahwa begitu banyak konflik politik  tahun-tahun terakhir ini di Amerika, dari isu rasial, gerakan black lives matter sampai bahkan mungkin gejala xenophobia dengan sebutan kuasa “white supremacy" itu. Saya terkejut bagaimana teori konspirasi mendapat hati jutaan orang. Mereka tidak percaya fakta melainkan percaya pada fantasi dan narasi palsu,yang lebih memprihatinkan mereka antiscience. Ini saya kira pengaruh besar dari pimpinannya. Saya kira Amerika akan kembali kejalan yang semestinya di bawah kepemimpinan Joe Biden.” katanya. 

Hal itulah yang membuatnya mencoba menyusuri dan mempelajari masa lalu tentang sejarah Amerika, melihat jejak-jejak civil war, sejarah budaya dan seni, juga potensi traumatik tentang isu perbudakan masa lalu, sekaligus rekonsiliasi sampai terbentuknya negara demokrasi terbesar sejagat ini. Dirinya tertarik persoalan ini karena memengaruhi hidupnya sebagai pendatang.

Dia pun membahas sejumlah karya selama dua tahun, yakni 2019-2020. Salah satunya proyek yang disponsori Yayasan Gugenheim yang memiliki visi masa depan dengan instalasi raksasa yang riil, yakni Tunnel of Light dan merupakan kelanjutan dari karya lama Temple of the Hope (2009-2011).

Selain itu, dia juga menampilkan materi-materi baru, seperti Glitter, dalam The Camouflage Series (2020), yang dia klaim merupakan materi sempurna untuk mengekspresikan ide-ide tentang palsu dan nyata, persepsi dan asumsi, serta tak pelak: identitas.

Bahkan pelaksanaan Pilpres AS pada November juga menjadi inspirasinya dalam menggarap karya seni.

“Selama beberapa minggu menjelang Pemilu AS pada November, saya menggarap karya dari materi Glitter, yang mencerminkan kondisi politik dengan merenungkan terus-menerus esok hari. Terciptalah Tree for Tommorow (2020) sebagai metafora atau simbol-simbol doa dan harapan untuk esok hari lebih baik untuk Amerika Serikat, Indonesia dan kondisi seluruh planet yang kita diami,” papar dia.

Mengenai Covid, dia mengaku pada awalnya panik karena minimnya informasi dan sengkarutnya informasi. Namun dia mengaku merenungkan sekaligus kreatif menghadapi wabah ini. Pengaruh aktifitas di studio tidak banyak berubah, justru sebaliknya waktu kerja distudio lebih banyak.

“Saya menemukan bentuk, struktur, warna, tekstur tanaman, kebun halaman belakang rumah sampai metafor yang kaya bahwa pandemi sembilan bulan adalah saat merenungi segala yang hingar-bingar di luar dengan hal-hal kecil yang sebenarnya indah. Di dalam hati mencoba untuk berdamai tanpa menafikan terus menemukan apa yang terbaik bagi hidup," papar dia. (Bambang Asrini)

img
Herzha Gustiansyah S
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan