Erotomania: Delusi rasa cinta terhadap orang asing
Pada 1996, Robert Dewey Hoskins divonis 10 tahun penjara lantaran terbukti menguntit dan mengancam penyanyi terkenal Madonna. Pria nekat itu secara obsesif melompati pagar rumahnya di Hollywood Hills. Kepada asisten penyanyi itu, dikutip dari CBS News, Hoskins mengatakan akan menikahi Madonna, yang ditakdirkan menjadi istrinya.
Tahun 2012, polisi menangkap Hoskins yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa di kawasan Los Angeles. Setelah bebas dari penjara, Hoskins menjalani perawatan di rumah sakit jiwa Atascadero. Di sini, menurut polisi, ia mengalami gangguan mental.
Sebelum itu, ada John Warnock Hinckley yang berusaha membunuh Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan pada 1981. Hinckley terobsesi dengan aktris Jodie Foster, setelah menonton film Taxi Driver (1976). Ia percaya, akan mendapat perhatian dan cinta Foster dengan melakukan tindakan tersebut.
Para pelaku kriminal dalam kasus-kasus masa silam tadi diduga menderita erotomania. “Meskipun sebagian besar penderita erotomania tak melakukan kekerasan, kasus-kasus seperti ini menarik perhatian, melanggengkan kesalahpahaman bahwa penyakit mental biasanya mengarah pada kekerasan,” ujar psikolog Elizabeth Campbell dikutip dari Verywell Mind.
Erotomania atau disebut juga sindrom de Clerambault, menurut Verywell Mind, merupakan gangguan kejiwaan yang ditandai dengan keyakinan delusional kalau orang asing, biasanya berstatus sosial lebih tinggi, sangat mencintai dirinya, meski tak ada buktinya. Penamaan sindrom de Clerambault berasal dari seorang psikiater Prancis, Gaetan Gatian de Clerambault, yang mempelajari dan mendokumentasikan kondisi mental ini secara luas pada 1921.
“Meski hanya ada sedikit data mengenai erotomania, beberapa penelitian menunjukkan kondisi ini cenderung lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan pria,” tulis Verywell Mind.
Dilansir dari Health Line, dalam kebanyakan kasus, orang yang diyakini mencintainya bahkan belum pernah bertemu. Seseorang dengan kondisi mental ini percaya orang lain sedang mencoba mengirimkan mereka pesan rahasia. Mereka bisa mempercayai hal itu lewat berita atau pemikiran—disebut juga telepati.
Health Line menyebut, erotomania dapat dikaitkan dengan kondisi kesehatan mental lain, yang melibatkan delusi atau perilaku manik. Sedangkan Medical News Today menulis, erotomania juga dikaitkan dengan skizofrenia, depresi mayor dengan fitur psikotik, gangguan bipolar, atau penyakit alzheimer.
Dalam riset yang diterbitkan di Journal of the National Medical Association (Mei, 2006) para peneliti menulis, erotomania terkait pula dengan demensia, meningioma, alkohol, dan orkiektomi.
“Kelainan tersebut sebenarnya merupakan salah satu bentuk skizofrenia dengan ketidakseimbangan neurokimia,” ujar Harold W. Jordan dkk, dalam jurnal itu.
Faktor penyebab erotomania lainnya berhubungan dengan genetik. Para peneliti menyebut, seseorang kemungkinan punya kecenderungan genetik, yang mengakibatkan kelainan mental itu muncul secara berurutan dalam satu generasi. Erotomania pada pria, kata para peneliti, merupakan varian dari paranoia akibat penolakan, perpindahan, dan proyeksi.
Lingkungan, psikologis, farmakologis, dan fisiologis, dikatakan para peneliti juga menjadi faktor yang sering kali dapat memicu orang punya kecenderungan “mengembangkan” erotomania. Jordan dkk menjelaskan pula, pembelajaran melalui televisi, radio, dan buku telah memengaruhi perkembangan jenis delusi ini.
Medical News Today bahkan menulis, media sosial dapat memperburuk atau memicu keyakinan delusional terkait erotomania. Media sosial, menurut Medical News Today, menghilangkan beberapa hambatan antara orang-orang yang tak dikenal dan dapat dengan mudah dapat diamati, dihubungi, dikuntit, atau bahkan dilecehkan—orang-orang yang sebelumnya sama sekali tak dapat diakses.
“Erotomania dapat mulai tiba-tiba, dan gejalanya sering kali tahan lama,” tulis Medical News Today.
Menurut psikoterapis dan kepala petugas klinis di D’amore Mental Health, Gary Tucker kepada Verywell Mind, secara umum gangguan delusi menyerang sekitar 15 dari setiap 100.000 orang per tahun. “Dan perempuan tiga kali lebih mungkin terdiagnosis dibandingkan pria,” ujar Tucker.
Verywell Mind mencatat, delusi yang berlangsung satu bulan atau lebih, tak ada bukti gejala dapat mengindikasikan skizofrenia, perilaku yang ganjil, sebagai gejala erotomania. “Penting untuk dicatat, dalam erotomania, tema utama delusinya adalah orang lan jatuh cinta pada individu tersebut,” tulis Verywell Mind.
Di sisi lain, Health Line menjabarkan gejala umum erotomania, antara lain secara obsesif mengonsumsi media yang berhubungan dengan orang lain, seperti selebritas atau figur publik; terus menerus mengirim surat, email, atau hadiah kepada orang lain; terus menerus menelepon orang lain; percaya orang lain sedang mencoba berkomuniasi secara diam-diam lewat pandangan sekilas, gerak tubuh, berita, film, atau media sosial; merasa cemburu dengan orang asing yang memiliki kekasih; melecehkan orang lain di depan umum; serta kehilangan minat pada aktivitas selain membicarakan orang lain.
Kepada Verywell Mind, Campbell mengatakan, erotomania dapat memberikan pengaruh besar pada eksistensi seseorang, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan, kemampuan yang terganggu, dan hubungan antarpribadi yang rusak.
“Mereka yang terkena erotomania mungkin menghadapi pengasingan sosial, tantangan pekerjaan, dan dampak hukum yang berasal dari keyakinan dan tindakan delusi mereka,” ujar Campbell.
“Penting untuk diingat, meskipun penderita erotomania umumnya tidak rentan terhadap kekerasan, mereka menghadapi stigmatisasi dan kesalahpahaman yang signifikan seputar penyakit mereka.”
Health Line menulis, perawatan untuk erotomania biasanya dengan mengatasi gejala psikosis atau delusi, yang sering kali melibatkan kombinasi terapi dan pengobatan. Obat antipsikotik, seperti pimozide sering kali berhasil digunakan.
“Antipsikotik nontradisional, seperti olanzapine, risperidone, dan clozapine juga telah digunakan bersamaan dengan terapi atau konseling,” tulis Health Line.
Jika erotomania disebabkan kondisi yang mendasarinya, misalnya bipolar, pengobatan bisa dilakukan dengan obat penstabil suasana hati, seperti litium atau asam valproat. Disebut Verywell Mind, terapi perilaku kognitif juga dapat bermanaat dalam pengobatan.
“Terapi perilaku kognitif berfokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikir yang dapat berkontribusi pada keyakinan delusi. Selain itu, dukungan keluarga mungkin juga bermanfaat,” tulis Verywell Mind.