Etiskah memuaskan keinginan atas dasar inner child?
Penyanyi Ashanty baru merayakan ulang tahunnya yang ke-40 di sebuah hotel mewah bilangan Jakarta Selatan pada Minggu (5/11). Dalam konferensi pers, istri penyanyi Anang Hermansyah itu mengaku senang bisa memilih kupu-kupu sebagai tema perayaan hari jadinya.
Ia mengatakan, kupu-kupu adalah sesuatu yang pas untuk menggambarkan kehidupannya selama ini, yang dipenuhi metamorfosa. Merasa usia mudanya penuh dosa, Ashanty tak menyangka, kini dikaruniai keluarga bahagia dan anak-anak yang luar biasa. Merayakan ulang tahun bertema kupu-kupu juga menjadi impiannya sejak kecil.
Jika Ashanty rela mengeluarkan ongkos besar menggelar pesta ulang tahun mewah bertema kupu-kupu, Sasa, 28 tahun, punya kehidupan yang sangat berbeda. Sasa tak pernah mengeluh kalau harus mengambil pekerjaan sampingan dan menghemat biaya hidupnya.
Usaha itu ia lakukan demi bisa menonton konser musik idola-idolanya. Baginya, menonton konser musik idola-idolanya merupakan sarana penyembuh jiwanya. Ia mengaku, sudah sejak lama mengalami depresi mayor dan gangguan kecemasan karena disfungsi keluarga.
“Aku selalu nenangin diri pakai (mendengar) lagu-lagu dari idol yang aku suka, seperti Super Junior, SNSD, CN BLUE, Day6, dan NCT dari K-pop. Arashi dan YUI dari Jepang sama Ed Sheeran,” katanya kepada Alinea.id, Kamis (2/11).
Sayangnya, ia tak pernah mampu melihat penampilan idola-idolanya itu secara langsung. Alasannya, kondisi ekonomi keluarga, serta tak dapat izin orang tua.
Kini, setelah punya penghasilan sendiri, karyawan di sebuah museum di Jakarta itu ingin hadir di konser musik idolanya, demi merawat “si anak kecil” yang ada dalam dirinya. “Sebelumnya, pernah beberapa kali ke psikiater, terapi obat,” ujarnya.
“Tapi, aku mikir, kalau obat terus kan enggak baik. Jadi aku coba buat ngonser (hadir di konser) aja. Ternyata lumayan efeknya (bagi kondisi psikologis).”
Ketika menonton konser, saat lagu-lagu kesukaannya dimainkan, Sasa bebas bernyanyi, berteriak, bahkan menangis. Setelah konser selesai, ia merasa pundaknya tak lagi berat. Sasa berhasil mewujudkan impiannya sejak lama, menonton Super Junior, SNSD, dan NCT 127. Bertemu dengan orang-orang baru dan bertatap muka dengan idola adalah nilai plus baginya.
“Luka masa kecilku bisa sedikit-sedikit terobati. Jadi, enggak masalah kalau aku harus kerja keras biar bisa nonton mereka,” tutur Sasa.
Memuaskan keinginan masa kecil
Barangkali, Ashanty dan Sasa adalah contoh mereka yang ingin menyembuhkan luka masa kecil karena tak kesampaian meraih sesuatu. Mereka ingin mengobati inner child yang terluka.
Kondisi ini serupa dengan beberapa orang yang mengunggah pengalamannya di media sosial, seperti makan di restoran cepat saji McDoland’s atau membeli mainan tertentu sebagai penghargaan atas masa kecilnya, yang tak bisa diwujudkan di masa kanak-kanak.
Dalam psikologi populer, inner child adalah aspek kekanak-kanakan seseorang. Inner child merupakan sisi kepribadian seseorang yang terbentuk dari suatu kejadian di masa kecil dan terbawa hingga dewasa. Ketika ada satu stimulus, maka mengingatkan seseorang pada kejadian di masa lalu.
Psikolog keuangan dan penulis buku Mind Over Money: Overcoming the Money Disorders That Threaten Our Financial Health (2009) Brad Klontz pernah mengatakan, inner child tak hanya dapat memengaruhi kehidupan seseorang, tetapi juga kondisi finansialnya. Sebab, jika banyak orang mengalami konflik finansial, maka membuatnya mengalami pengalaman seputar uang. Dan kejadian itu sering terjadi di masa kanak-kanak.
Artinya, jika selama ini seseorang berjuang untuk menghentikan kebiasaan finansial tertentu, masalahnya mungkin bukan pada besar-kecil penghasilan. Namun karena impian masa kecilnya.
Menurut psikolog anak dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan, tak masalah jika seseorang ingin merasakan pengalaman-pengalaman yang belum pernah ia alami, semisal makan di restoran, nongkrong di kafe, membeli barang mewah, atau nonton konser musik. Akan tetapi, yang harus diperhatikan, segala aktivitas itu jangan sampai membebani kemampuan ekonomi.
“Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang yang tidak mampu, tapi menginginkan hal itu,” ujarnya, Jumat (3/11).
“Karena mungkin, dia akan menghalalkan segala cara yang sifatnya keluar dari norma sosial lantaran tidak sabar ingin merasakan pengalaman yang sifatnya mahal.”
Tak jarang, kata Sani, aktivitas-aktivitas yang pada mulanya dilakukan untuk menyembuhkan luka masa lalu, justru membuat orang tersebut mengubah prioritas hidup. Menjadikan uang nomor satu lantaran merasa uang bisa membeli segalanya, termasuk kebahagiaan.
“Jadi, enggak heran kalau akhirnya banyak juga orang yang stres atau depresi karena frustasi tidak bisa mencapai apa yang diinginkan, tidak bisa memenuhi keinginan masa kecilnya,” tutur Sani.
Terpisah, pengajar psikologi di Universitas Pembangunan Jaya, Tangerang Selatan, Runi Rulanggi menjelaskan, setiap orang memiliki inner child dalam diri mereka. Itu bisa muncul kembali ketika beranjak dewasa.
Hanya saja, ada orang yang bisa mengendalikan inner child-nya, ada pula yang sebaliknya. Jadi, bagi Runi, wajar saja jika orang dengan masalah finansial akhirnya tak bisa mengendalikan keinginan masa kecilnya.
“Tapi, yang jadi enggak wajar adalah kalau orang itu sudah over,” ujarnya, Sabtu (4/11).
“Kalau begitu, harus segera dikasih penanganan, enggak harus ke psikolog. Setidaknya, dia harus punya dukungan (dari orang lain) untuk mengontrol inner child itu.”
Runi bilang, untuk merawat inner child tak harus dilakukan dengan berfoya-foya atau memenuhi segala keinginan materi waktu kecil. Ketimbang berfoya-foya, Runi menyarankan untuk mencoba lebih memahami dirinya sendiri.
“Menemukan proses pemaknaan diri yang lebih positif,” ucapnya.
Selain itu, seseorang perlu melakukan observasi terhadap perilaku, pikiran, dan emosinya untuk mengetahui masalah apa yang sebenarnya dialami saat kecil dan bertahan hingga dewasa. Ia mengingatkan, untuk merawat inner child dibutuhkan keberanian dan keterbukaan pada diri sendiri. Karena hanya dengan hal itu, seseorang bisa memahami apa yang diinginkan oleh “sosok kecil” dalam dirinya.
“Ini bertujuan untuk memaafkan dan menerima semua pengalaman pahit yang pernah terjadi di masa lalu,” katanya.