Fenomena femisida dalam rentetan pembunuhan perempuan
Beruturut-turut, kasus pembunuhan sadis terhadap perempuan terjadi. Pertama, yang paling menyita perhatian, adalah pembunuhan terhadap RM, 50 tahun, yang dilakukan rekan kerjanya, Ahmad Arif Ridwan Nuwloh, 29 tahun di sebuah hotel di Bandung, Jawa Barat pada Rabu (24/4). Pembunuhan itu dilatar belakangi kekesalan Arif karena RM mendesak menikahinya.
Bisa dibilang, RM dan Arif menjalankan cinta terlarang. Sebab, RM sudah punya suami, sedangkan Arif baru saja menikah pada Maret 2024. Selain membunuh RM, Arif juga menguras uang perusahaan untuk biaya resepsi pernikahannya.
Kemudian, pembunuhan terhadap seorang pekerja seks komersial berinisial RA di sebuah indekos di Kuta, Badung, Bali pada Jumat (3/5). Pelaku dan korban berkenalan melalui aplikasi kencan. Pembunuhan terjadi karena pelaku bernama Amrin Al-Rasyid Pane, 20 tahun, kesal teman kencannya meminta tambahan tarif.
Jenazah korban di dua kasus tadi sama-sama dimasukkan ke dalam koper dan dibuang ke semak-semak.
Lalu, kejadian yang nyaris sama terjadi di Denpasar Selatan, Bali, juga pada Jumat (3/5) di indekos korban. Korbannya juga seorang pekerja seks komersial, yang dikenal pelaku, Anjas Purnama, dari aplikasi kencan yang sama. Anjas membunuh korban karena kesal ditanya soal tarif kencan melulu oleh korban.
Tak kalah sadis adalah pembunuhan oleh Tarsum terhadap Y, yang merupakan istrinya sendiri di Desa Cisontrol, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat pada Jumat (3/5). Laki-laki yang menunjukkan gelagat seperti orang depresi itu, memutilasi istrinya, lalu sempat menawarkan daging jenazah ke beberapa warga. Tarsum diduga depresi karena terlilit utang.
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Mamik Sri Supatmi mengungkapkan, rentetan pembunuhan itu bukan tindak kriminal biasa. Melainkan fenomena femisida—pembunuhan terhadap seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan.
“Ini sangat jelas. Tentu saja dengan relasi kuasa dan bagaimana perempuan dan laki-laki dalam masyarakat patriarki ini didudukan dan secara sosial dikonstruksikan,” kata Mamik kepada Alinea.id, Selasa (7/5).
Mamik bilang, motif asmara, ekonomi, hingga gangguan kejiwaan untuk menghabisi nyawa korban adalah faktor yang memperburuk terjadinya kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida. Menurut Mamik, pembunuhan-pembunuhan tadi dilandasi faktor=faktor, seperti seksisme, misogini, kebencian terhadap perempuan, hingga supremasi laki-laki terhadap perempuan.
“Melihat konteks dari peristiwa pembunuhan ini, utamanya yang terkait dengan bagaimana perempuan diposisikan di dalam masyarakat patriarki, bagaimana perempuan dan laki-laki direlasikan sebagai hal yang timpang,” tutur dia.
Mamik menambahkan, ruang hidup perempuan saat ini, dalam situasi yang tidak setara, sehinga tidak ada keadilan bagi kaum hawa. Parahnya, perempuan kerap kali dianggap sebagai objek kontrol laki-laki atau direndahkan.
“Ekonomi, kemiskinan, atau faktor lain, misalnya terkait problem psikologi atau kesehatan jiwa pada pelaku, itu faktor yang menambah kerentanan perempuan,” ujar Mamik.
Terpisah, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Bahrul Fuad menerangkan, cara berpikir patriarki dan misoginis masih berlangsung, mesi jargon-jargon kesetaraan gender atau emansipasi wanita bergaung.
“Buktinya, masih tinggi angka kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan,” kata Fuad, Senin (6/5).
“Ada kecenderungan kasus femisida ini angkanya meningkat setiap tahun.”
Komnas Perempuan mencatat, sepanjang Oktober 2022 hingga November 2023, terdapat 159 pemberitaan yang mengindikasikan tindakan femisida. Ada eskalasi kekerasan, kekerasan berulang dan berlapis, maskulinitas yang toksik, dan relasi kekuasaan yang menyebabkan kekerasan.
“Pantauan (Komnas Perempuan) juga mengikutsertakan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan sebagai dampak kekerasan berbasis gender,” tutur Fuad.
Sejak 2017, Komnas Perempuan juga telah memasukkan femisida ke dalam catatan tahunan (catahu) sebagai bentuk perhatian khusus. Sering kali, kasus femisida diawali dengan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Termasuk kekerasan seksual. Pelakunya sebagian besar adalah orang yang dikenal oleh korban.
“Femisida juga banyak terjadi dalam kasus-kasus kekerasan berbasis gender di ranah privat atau KDRT,” kata Fuad.
“Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Polri untuk melakukan pendokumentasian secara nasional tentang pembunuhan perempuan agar terpetakan penyebab, pola, dan pelaku femisida di Indonesia.”
Menurut Fuad, hal itu penting lantaran hingga kini tak ada data nasional terkait femisida. Di samping itu, pendokumentasian juga bisa menjadi acuan dalam menyusun langkah-langkah sistemik untuk menangani dan mencegah kasus femisida. Di sisi lain, DPR dan pemerintah perlu melakukan pembaruan hukum pidana yang mengatur femisida sebagai pembunuhan yang menyasar perempuan atau menjadikannya sebagai alasan pemberat hukuman.
Sementara itu, menurut Manik, sosialisasi terkait hak asasi perempuan, termasuk kelompok rentan, tak cukup untuk menyelesaikan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan femisida. Maka, pemerintah dan masyarakat berkewajiban memastikan setiap keluarga maupun komunitas dari lingkup paling kecil menjadi ruang untuk pemberlakuan norma tingkah laku.
Ketika pemerintah abai dan tak cukup berkomitmen dalam memastikan perempuan atau kelompok rentan hidup dalam rasa aman, masyarakat yang harus turun tangan langsung. Komunitas juga perlu lebih peduli dan memahami, saat melihat ada tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga misalnya, hal itu bukan lagi persoalan domestik. Komunitas harus berani mengintervensi kekerasan tersebut.
Perhatian lebih, lanjut Manik, perlu diberikan kepada perempuan dari keluarga pra-sejahtera. Sebab, masalah ekonomi menjadi salah satu faktor yang dapat memperbesar risiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah perempuan yang hidup di perdesaan atau daerah dengan masyarakat yang mendukung dominasi maskulin.
“Kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida, harus diselesaikan. Enggak cukup hanya di permukaan, tapi akarnya ditemukan, dipahami, dan diatasi,” ujar Manik.
“Hukum tidak cukup untuk mencegah, tapi yang harus kita ubah adalah cara pandang kita, cara kita memahami relasi perempuan dan laki-laki, cara kita bertindak, dan cara kita bertingkah laku dalam memberikan penghormatan kepada setiap orang.”