Fenomena hijrah di kalangan muslim perkotaan tengah menjamur, terutama di media sosial. Benarkah?
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Anam menilai, gerakan hijrah yang menjadi tren di kalangan masyarakat perkotaan disebabkan oleh masifnya revolusi dan perubahan dunia digital serta media sosial yang sangat signifikan.
Menurut Anam, tren ini didominasi oleh golongan milenial, utamanya di kalangan muslim perkotaan. Mengingat komunitas milenial perkotaan memiliki akses internet yang memadai, yakni 57% dibandingkan milenial perdesaan 27%.
"Sehingga wajar jika fenomena hijrah menyebar jauh lebih agresif di perkotaan ketimbang di perdesaan. Ke depan angka persentase tersebur saya pastikan akan terus mengalami peningkatan signifikan seiring dengan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan terbukanya akses informasi di kalangan mereka," papar Umam dalam diskusi Tren Gaya Hidup Hijrah, Peluang atau ancaman bagi NKRI, di Hotel IBI Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (25/7).
Dikatakan Umam, tren hijrah sendiri cenderung diyakini sebagai bentuk awal kebangkitan Islam di Indonesia yang diprakasai oleh segemen kaum muda. Namun, di sisi lain tren keagamaan ini juga dipandang sebagai fenomena normal di tengah kompleksitas masyarakat modern yang kian merasa kering akibat budaya materialisme yang miskin spiritualitas. Akhirnya bergeser pada wilayah asketisme keagamaan.
Umam menuturkan, dalam praktiknya pergeseran cara pandang keagamaan itu seharusnya dilakukan melalui kontemplasi dan pembelajaran serius. Kendati demikian, tidak jarang banyak yang menempuh cara pandang ini dengan cara instan atau sekadar mengakamodir kebutuhan identitas dan spiritualitas secara cepat dan mudah.
Bagi Umam, banyak orang yang mendadak atau ikut-ikutan hijrah lantaran tren itu sendiri sudah semakin populis. Populisme itu sendiri kemudian lebih powerful daripada substansi doktrin-doktrin nilai keagamaan yang diajarkannya.
"Untuk mereka yang ikut-ikutan inilah ada celah untuk dipolitisasi. Seringkali mereka dalan konteks militansi keberagamaan itu, seringkali melampaui kapasitas pemahaman keagamaan itu sendiri. Akhirnya kemudian sangat militan, lost control, hilangnya strata keilmuan," papar dia.
Lemahnya penggunaan bahasa Arab dasar misalnya, sebagai pintu masuk untuk mempelajari manuskrip dasar keislaman, seolah menjadi karakter unik mayoritas muslim Indonesia. Akibatnya, Islam di Indonesia dan juga negara-negara Islam yang tidak berbasis Arab, seolah menempati kelas kedua dalam strata pemahaman dan penguasaan kajian-kajian Islam.
Di sisi lain, lanjut Umam, sejarah panjang kolonialisme yang menempatkan fondasi sekulerisme juga berimplikasi pada lemahnya kesadaran publik untuk menempatkan agama sebagai kebutuhan primer dalam laku keseharian dan spritual mereka.
Akibatnya saat masa pertaubatan itu ada, atau interaksi secara kelompok yang secara paham keagamaan dinilai lebih fasih, mereka yang "galau" dalam beragama mengalami "inferioritas" keagamaan. Fenomena hijrah akhirnya tidak hanya berkaitan dengan gelombang taubat an-nasukha, melainkan juga berkorelasi dengan lemahnya pemahaman keislaman seseorang.
"Ketika inferiorotas, rasa minder dan tidak percaya diri secara keagamaan itu datang, maka kelompok sosial yang siap berhijrah ini juga menjadi lebih mudah dimobilisasi dan digerakkan menggunakan internalisasi doktrin-doktrin keagamaan," kata dia.
Akibatnya, fenomena hijrah justru kurang menunjukkan kedalaman substansi pemahaman keagamaan, namun lebih fokus pada penggunaan simbol keagamaan yang bersifat artifisial.
"Jika ditarik lebih panjang, tren hijrah kontemporer juga banyak didominasi oleh spektrum salafisme dalam tradisi keislaman yang dangkal. Hal itu berimplikasi pada munculnya perilaku keislaman yang kaku, tidak toleran, dan resisten terhadap elemen-elemen budaya lokal," ucap Umam.