

Fiksi ilmiah bisa menumbuhkan rasa solidaritas global

Fiksi ilmiah—fiksi spekulatif yang menggabungkan imajinasi dengan konsep sains dan teknologi—bisa kita nikmati lewat film, buku, atau media lainnya. Fiksi ilmiah menjadi hiburan yang membuat imajinasi kita berkelana.
Namun, dalam penelitian yang dipublikasikan jurnal Communication Research (November, 2024) berjudul “Entertainment for Cosmopolitism: Science Fiction Fosters Identification With All Humanity via Awe”, fiksi ilmiah bukan sekadar hiburan.
Penelitian yang dikerjakan dua peneliti asal Universitas Soochow, Fuzhong Wu dan Universitas Tsinghua, Zheng Zhang menemukan, terlibat secara teratur dengan fiksi ilmiah, baik melalui film, buku, atau media lainnya, dapat membantu seseorang merasakan hubungan yang lebih kuat dengan kemanusiaan secara keseluruhan.
Para peneliti menemukan kemampuan fiksi ilmiah untuk membangkitkan rasa kagum, sebuah emosi kuat yang dipicu oleh pengalaman yang luas dan baru, memainkan peran penting dalam efek ini.
Melalui tiga studi yang dilakukan di China, mereka menunjukkan bahwa paparan terhadap narasi fiksi ilmiah meningkatkan identifikasi orang dengan seluruh umat manusia, dan bahwa keterlibatan berulang dengan genre ini dapat mendorong identifikasi tersebut dari waktu ke waktu.
Dikutip dari PsyPost, secara khusus, para peneliti menyoroti konsep yang disebut “identification with all humanity” (identifikasi dengan seluruh umat manusia). Konsep ini mengacu pada sejauh mana seseorang merasa terhubung dengan semua orang, terlepas dari kebangsaam ras, atau latar belakangnya.
Hal ini mencerminkan identitas yang luas dan inklusif, yang mendukung kepedulian terhadap orang lain di seluruh dunia. Para peneliti berteori, fiksi ilmiah—dengan imajinasinya dan fokus yang sering pada masa depan umat manusia—mungkin mendorong orang untuk mengadopsi perspektif global ini.
Untuk menguji gagasan mereka, para peneliti melakukan tiga studi. Pada studi pertama, mereka merekrut 1.060 orang dewasa dari seluruh China dan meminta mengingat bagaimana berbagai genre film memengaruhi perasaan mereka.
Peserta secara acak diminta untuk merenungkan salah satu dari 12 genre, termasuk fiksi ilmiah, roman, komedi, aksi-petualangan, dan dokumenter. Kemudian, mereka ditanya seberapa kuat film-film tersebut membuat merasakan emosi yang terkait dengan transendensi diri—emosi yang membuat orang merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Emosi ini mencakup kekaguman, rasa syukur, belas kasih, harapan, dan lainnya.
Hasilnya, peserta melaporkan tingkat kekaguman yang lebih tinggi saat menonton fiksi ilmiah dibandingkan film jenis lain. Temuan ini menjadi dasar untuk dua studi berikutnya.
Pada studi kedua, para peneliti melakukan dua eksperimen terkontrol dengan sampel gabungan hampir 1.000 peserta. Peserta secara acak diminta untuk membaca salah satu dari tiga cerita pendek: narasi fiksi ilmiah, narasi realistis dengan tema yang sama, atau tanpa narasi sama sekali.
Sebagai contoh, salah satu eksperimen menggunakan cerita tentang orang-orang yang melarikan diri dari ancaman eksistensial—baik asteroid (fiksi ilmiah) maupun kebakaran hutan (realistis). Eksperimen lain menggunakan cerita tentang kota futuristik versus kota kontemporer.
Setelah membaca cerita, peserta melaporkan respons emosional mereka dan seberapa terhubung mereka merasa dengan umat manusia. Di kedua eksperimen, mereka yang membaca cerita fiksi ilmiah merasa jauh lebih kagum dibandingkan kelompok lainnya. Mereka juga melaporkan tingkat identifikasi dengan seluruh umat manusia yang lebih tinggi.
Analisis statistik menunjukkan, peningkatan rasa kagum menjelaskan peningkatan identifikasi global. Artinya, rasa kagum berfungsi sebagai mediator. Bahkan, ketika mempertimbangkan emosi lain seperti harapan atau belas kasih, rasa kagum tetap menjadi jalur emosional yang paling konsisten yang menghubungkan fiksi ilmiah dengan identifikasi global.
Studi ketiga, para peneliti merekrut 543 mahasiswa untuk studi panel tiga gelombang yang dilakukan selama dua bulan. Pada setiap waktu, mahasiswa melaporkan seberapa banyak mereka mengonsumsi fiksi ilmiah baru-baru ini, seberapa sering mereka merasakan rasa kagum dalam kehidupan sehari-hari, dan seberapa kuat mereka mengidentifikasi diri dengan seluruh umat manusia.
Hasilnya, keterlibatan kumulatif dengan fiksi ilmiah memprediksi peningkatan rasa kagum dalam kehidupan sehari-hari, yang pada gilirannya memprediksi peningkatan identifikasi dengan seluruh umat manusia.
Dengan kata lain, semakin peserta mendalami fiksi ilmiah dari waktu ke waktu, semakin besar kemungkinan mereka merasakan kagum dalam kehidupan sehari-hari—dan ini membantu membangun identitas global yang lebih kuat.
Meski demikian, para peneliti mengakui, ada beberapa keterbatasan dalam studinya. Studi pertama mengandalkan ingatan peserta tentang film-film masa lalu, yang mungkin telah dipengaruhi oleh kesan umum tentang genre daripada reaksi emosional spesifik.
Eksperimen menggunakan narasi tertulis pendek daripada film berdurasi penuh atau media imersif lainnya, mungkin memengaruhi intensitas respons emosional. Selain itu, walau temuan konsisten di seluruh studi, tetapi semua peserta berasal dari China—negara dengan nilai budaya kolektivis yang kuat—sehingga penelitian di latar budaya lain akan membantu menguji generalisasi hasilnya.


Tag Terkait
Berita Terkait
Kecerdasan bahasa terkait usia yang panjang
Logika di balik cara orang berjalan di tengah kerumunan
Pertanda kehidupan di Mars miliaran tahun silam
Arkeolog temukan tulang-tulang mammoth yang disembelih untuk diambil gadingnya 25.000 tahun lalu

