Seorang balita berusia 3 tahun mengalami nasib tragis usai dibunuh orang tuanya sendiri, Aidil Zacky Rahman, 19 tahun, dan Sinta Dewi, 22 tahun. Kasus itu terungkap setelah seorang juru parkir menemukan jenazah bocah tersebut terbungkus sarung di sebuah ruko Kampung Jatibaru, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat pada Senin (6/1).
Menurut kepolisian, berdasarkan pemeriksaan, terdapat luka lecet di pipi sebelah kiri, memar di kuping sebelah kiri, serta luka sundutan rokok di bokong, pipi, dan kaki. Di bagian kepala tengah dan belakang terdapat benjol, lebam di sekitar pinggang, atas kanan, serta dari mulut mengeluarkan cairan.
Korban tewas setelah ditampar dan ditendang. Zacky dan Sinta ditangkap di daerah Karawang, Jawa Barat pada Rabu (8/1). Motif dua tersangka yang berprofesi sebagai pengemis membunuh anak kandungnya sendiri karena kesal ditegur pegawai minimarket usai anaknya muntah-muntah.
Kasus serupa terjadi di Desa Way Areng, Lampung Timur, Lampung pada Sabtu (11/1). Ketika itu, seorang ibu berinisial UM, 39 tahun, membunuh anak kandungnya yang masih berusia 6 bulan dengan cara dibacok menggunakan sebilah golok. Usai melakukan pembunuhan, UM mencoba bunuh diri.
Diduga, UM mengalami depresi karena mengurus tiga anak seorang diri, sedangkan suaminya bekerja sebagai sopir truk di luar kota. Kondisinya makin kalut karena UM mendengar, suaminya yang bekerja di Jawa akan menikah lagi.
Apa penyebabnya?
Kasus pembunuhan anak kandung oleh orang tuanya dikenal dengan istilah filisida. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dyah Puspitarini menyebut, sebulan ada lima hingga enam kasus filisida yang termonitor. Sepanjang 2024, ada 60-an kasus anak yang menjadi korban filisida.
Di lapangan, kata Dyah, banyak yang tidak terlapor. Sebab, ada kecenderungan kasus disembunyikan lantaran pelakunya orang tua sendiri. Selain itu, banyak yang menganggap, kasus seperti ini sebagai aib keluarga, sehingga tidak terlaporkan.
“Yang menjadi miris karena pelaku adalah orang tua yang seharusnya mereka orang yang melindungi anak tersebut,” kata Diyah kepada Alinea.id, Senin (13/1).
“Pola paling banyak di saat liburan sekolah atau awal masuk sekolah. Salah satunya karena faktor ekonomi.”
Diyah memandang, filisida sudah masuk tataran berbahaya dan harus segera diintervensi agar tidak semakin banyak kasusnya. Caranya, melakukan pengawasan dari keluarga besar dan masyarakat, jika ada hal ayng dianggap membahayakan.
“Filisida seringnya tidak langsung terjadi, namun orang tua sering melakukan kekerasan yang berulang pada anak,” ujar Diyah.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Rose Mini Agoes Salim mengatakan, filisida lazim terjadi karena orang tua mengalami tekanan sosial-ekonomi yang sulit dikendalikan lantas membuat orang tua berpikir jernih. Akhirnya mudah lepas kontrol, menjadikan anak sebagai pelampiasan emosi.
“Ini terkait dengan kesehatan mental masyarakat kita, seperti kasus yang di Bekasi itu, yang kemungkinan adalah pengemis yang dimarahi oleh pemilik toko ( pegawai minimarket). Dampaknya, mungkin merasa malu, mereka takut, dan harus membayar sesuatu ketika anaknya muntah di situ,” ucap Rose, Senin (13/1).
“Itu yang mendorong mereka berani melukai orang yang tidak punya power, yaitu anaknya.”
Rose menuturkan, saat orang tua mengalami tekanan psikologis dan si anak rewel, maka orang tua rentan melampiaskan emosinya kepada anak. Banyak kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang tua melukai bagian mulut. Sebab, kata dia, bagian mulut dianggap sumber rengekan yang harus dihentikan.
Cara berpikir tidak jernih tersebut, dijelaskan Rose, biasanya dilakukan orang-orang yang kalut atau tak bisa menemukan jalan keluar, sehingga yang dipikirkan adalah mengatasi masalahnya dengan memberi hukuman kepada si anak.
Untuk menekan kasus filisida, Rose menerangkan, caranya dengan memberikan edukasi kepada orang tua bagaimana mengontrol dan memiliki manajemen emosi yang baik.
“Supaya tiidak karena kesalahan kecil marahnya bisa besar sekali karena luapan emosi itu berdampak kepada orang-orang sekitarnya,” ujar Rose.
Di samping itu, Rose memandang, orang tua yang sedang mengasuh anak balita perlu menjaga kesehatan mentalnya, serta menghindari penggunaan zat yang mendandung narkotika atau zat adiktif yang dapat memberi efek sulit berpikir jernih.
Lingkungan masyarakat sekitar, kata Rose, juga harus peka terhadap potensi filisida. Sebab, berkaca kasus filisida di Bekasi, Rose melihat, tersangka menganiaya anaknya setelah ditegur pegawai minimarket yang mengancam tersangka tidak bisa mengemis lagi di sana kalau anaknya muntah lagi.
“Yang diintervensi terlebih dahulu (seharusnya) adalah orang tuanya. Bila anaknya ingin intervensi, (sebaiknya) yang membuat dia tenang,” kata Rose.
“Perlu dicek juga orang tuanya saat mengalami (melakukan penganiayaan) itu dalam kondisi baik-baik saja atau terpengaruh obat.”