Film seluloid, layar tancap, dan kenangan masa silam
Saat ini, menemukan hiburan layar tancap di kota-kota besar seperti Jakarta ibarat melihat oasis di tengah gurun pasir. Tak ada lagi orang-orang hajatan menyewa tukang putar film keliling, yang berbekal pita seluloid dan layar dari kain.
Gempuran bioskop grup raksasa yang merambah pusat perbelanjaan, sudah menjadi pilihan kaum urban menikmati film. Bahkan, kini dengan mudah orang menonton film melalui medium internet.
Bila mau lelah sedikit, orang Jakarta bisa melipir ke pinggiran ibu kota untuk menikmati layar tancap. Misalnya saja ke Kelurahan Pondok Benda, Pamulang, Tangerang Selatan.
Pada Rabu (27/3) malam, di sebuah lapangan di lokasi itu diputar layar tancap untuk memeriahkan acara khitanan seorang anak warga kampung.
Berhenti jadi sopir angkot
Selain untuk hiburan di acara hajatan warga kampung, pemutaran biasanya diadakan saat peringatan 17 Agustusan, ulang tahun, atau silaturahmi warga setelah Idulfitri.
Penyedia film-film untuk diputar di layar tancap itu adalah Nur Iyan. Sudah 16 tahun ia berbisnis sewa film seluloid. Di tempat tinggalnya di Pamulang, Tangerang Selatan, ternyata bisnis sewa film seluloid masih menjanjikan untung bagi Iyan.
“Sebulan saya bisa 4 sampai 5 kali adakan pemutaran layar tancap,” kata Iyan saat berbincang dengan reporter Alinea.id di rumahnya, Kelurahan Pondok Benda, Pamulang, Tangerang Selatan, Jumat (29/3).
Iyan tengah mengecek kesediaan dan kondisi gulungan seluloid sejumlah judul film. Menggunakan mesin pencetak lubang klise seluloid, dengan cekatan Iyan memperbaiki pita-pita seluloid yang sudah robek di bagian tepi.
Beberapa tumpukan wadah plastik berdiameter 30 sentimeter tergeletak di teras rumahnya. Judul-judul film yang ditulis dengan tinta tipe-x tertera di sana, seperti Bulletproof Monk (2003) dan Kesempatan dalam Kesempitan (1985).
Iyan mengatakan, umumnya film-film yang kerap diputar merupakan produksi langka. Dalam satu kali pemutaran, film-film yang diputar dipilih dari beberapa genre berbeda.
Dahulu, sebenarnya usahanya ini sebagai sampingan dari pekerjaan utamanya sebagai sopir angkutan kota. Iyan mengatakan, usahanya ini butuh modal lumayan besar.
Setidaknya, kata Iyan, satu judul film seluloid berukuran 16 milimeter maupun 35 milimeter ia beli sekitar Rp4 juta.
Ia berstrategi. Untuk menambah koleksi filmnya, setiap keuntungan bersih dari penyewaan dan jasa pemutaran ia sisihkan untuk membeli film seluloid baru.
Pada 2013 ia fokus total bisnis jasa penyewaan dan pemutaran film seluloid untuk layar tancap. Mobil angkotnya ia jual.
“Saya pakai buat nambah biaya ngembangin usaha film layar tancap ini,” kata dia.
Saat ini, menemukan hiburan layar tancap di kota-kota besar seperti Jakarta ibarat melihat oasis di tengah gurun pasir. Tak ada lagi orang-orang hajatan menyewa tukang putar film keliling, yang berbekal pita seluloid dan layar dari kain.
Gempuran bioskop grup raksasa yang merambah pusat perbelanjaan, sudah menjadi pilihan kaum urban menikmati film. Bahkan, kini dengan mudah orang menonton film melalui medium internet.
Bila mau lelah sedikit, orang Jakarta bisa melipir ke pinggiran ibu kota untuk menikmati layar tancap. Misalnya saja ke Kelurahan Pondok Benda, Pamulang, Tangerang Selatan.
Pada Rabu (27/3) malam, di sebuah lapangan di lokasi itu diputar layar tancap untuk memeriahkan acara khitanan seorang anak warga kampung.
Berhenti jadi sopir angkot
Selain untuk hiburan di acara hajatan warga kampung, pemutaran biasanya diadakan saat peringatan 17 Agustusan, ulang tahun, atau silaturahmi warga setelah Idulfitri.
Penyedia film-film untuk diputar di layar tancap itu adalah Nur Iyan. Sudah 16 tahun ia berbisnis sewa film seluloid. Di tempat tinggalnya di Pamulang, Tangerang Selatan, ternyata bisnis sewa film seluloid masih menjanjikan untung bagi Iyan.
“Sebulan saya bisa 4 sampai 5 kali adakan pemutaran layar tancap,” kata Iyan saat berbincang dengan reporter Alinea.id di rumahnya, Kelurahan Pondok Benda, Pamulang, Tangerang Selatan, Jumat (29/3).
Iyan tengah mengecek kesediaan dan kondisi gulungan seluloid sejumlah judul film. Menggunakan mesin pencetak lubang klise seluloid, dengan cekatan Iyan memperbaiki pita-pita seluloid yang sudah robek di bagian tepi.
Beberapa tumpukan wadah plastik berdiameter 30 sentimeter tergeletak di teras rumahnya. Judul-judul film yang ditulis dengan tinta tipe-x tertera di sana, seperti Bulletproof Monk (2003) dan Kesempatan dalam Kesempitan (1985).
Iyan mengatakan, umumnya film-film yang kerap diputar merupakan produksi langka. Dalam satu kali pemutaran, film-film yang diputar dipilih dari beberapa genre berbeda.
Dahulu, sebenarnya usahanya ini sebagai sampingan dari pekerjaan utamanya sebagai sopir angkutan kota. Iyan mengatakan, usahanya ini butuh modal lumayan besar.
Setidaknya, kata Iyan, satu judul film seluloid berukuran 16 milimeter maupun 35 milimeter ia beli sekitar Rp4 juta.
Ia berstrategi. Untuk menambah koleksi filmnya, setiap keuntungan bersih dari penyewaan dan jasa pemutaran ia sisihkan untuk membeli film seluloid baru.
Pada 2013 ia fokus total bisnis jasa penyewaan dan pemutaran film seluloid untuk layar tancap. Mobil angkotnya ia jual.
“Saya pakai buat nambah biaya ngembangin usaha film layar tancap ini,” kata dia.
Yang langka lebih mahal
Monli adalah salah seorang pelanggan Iyan. Ia hendak mengadakan nonton layar tancap di Dusun Cilalung, Kelurahan Jombang, Ciputat, Tangerang Selatan.
Monli menyediakan jasa memutar film layar tancap. Usahanya ini hanya sampingan, dari pekerjaan utamanya sebagai pengemudi ojek online. Ia sudah menyediakan jasa pemutaran film sejak 2004.
Ia menuturkan, didorong ketertarikan dan hobi menonton layar tancap, Monli berusaha mencari tahu tempat menjual proyektor. Ia akhirnya mendapatkannya dari orang-orang lama yang dahulu bekerja sebagai pemutar rol film di bioskop Pamulang 21.
Bioskop di kota Tangerang Selatan itu sudah tak lagi beroperasi. Untuk pemutaran film layar tancap di acara kampung yang diadakan pukul 20.00 WIB hingga 03.30 WIB, biasanya ia mendapat untung bersih Rp700.000 hingga Rp800.000.
Lewat Iyan lah Monli bisa menyewa film-film yang akan diputarnya. Ia menyewa tiga judul film, yakni Kesempatan dalam Kesempitan (1985), Bang Somad Si Tangan Satu (1991), Bulletproof Monk (2003).
Untuk tiga judul itu, ia harus merogoh kocek sebesar Rp150.000, berlaku hanya sehari. Sementara itu, Iyan mengatakan, film-film yang sudah tidak diproduksi, peminatnya justru banyak dan lebih mahal harga sewanya.
Film laga Indonesia jadul yang dibintangi Barry Prima, Jampang (1989) misalnya, harga sewanya Rp100.000. Sedangkan film Si Pitung (1970) yang dibintangi Dicky Zulkarnaen harga sewanya Rp200.000.
“Itu film-film langka. Jadi lebih mahal,” kata Iyan.
Selain itu, besaran biaya sewa juga tergantung jenis dan durasi film. Film-film drama India produksi lama yang berdurasi dua jam, dipatok harga sewa Rp200.000 per malam.
Layar tancap sebagai pendidikan
Sejak 2017, Iyan juga sudah “dikontrak” oleh panitia festival film Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang, yang dinamakan UMN Animation & Film Festival (UCIFEST). Setiap dua kali setahun, Iyan menggelar pemutaran film dengan layar tancap di kampus itu.
Panitia UCIFEST memintanya untuk mengisi satu sesi layar tancap. Beberapa film seluloid koleksi Iyan yang diputar di UCIFEST, di antaranya film komedi lawas Warkop DKI dan film animasi Janus: Prajurit Terakhir (2003).
Lulu Ratna, pengajar di Jurusan Film dan Televisi UMN yang bertindak selaku organizing committee UCIFEST mengatakan, sesi layar tancap diadakan sebagai wahana belajar bagi mahasiswa untuk merasakan pengalaman menonton film ala layar tancap.
“Kami ingin generasi sekarang punya pengalaman menonton film seluloid. Bioskop juga sudah tak ada yang memutar film seluloid. Maka itu juga bagian cara untuk belajar sejarah film,” kata Lulu ketika dihubungi, Jumat (29/3).
Dengan adanya sesi layar tancap itu, menurut Lulu, mahasiswa yang sudah berjarak cukup jauh dengan teknologi jadul, dapat mengenal dan mencari peluang untuk penggunaan kembali perangkat tersebut.
“Mereka kami rangsang untuk bisa berpikir, menentukan kira-kira film seluloid apa yang layak diputar dan ditonton oleh audiens umum,” tutur Lulu.
Bagi Gabriella, seorang mahasiswa Jurusan Film dan Televisi UMN, menyaksikan film dalam konsep layar tancap memberinya pengalaman baru, yang selama ini tak pernah ia rasakan.
“Ternyata seru juga. Kita nontonnya ngemper, panas-panasan, bisa sambil tidur-tiduran. Experience-nya beda. Lebih seru ketimbang nonton versi bioskop,” tutur Gabby yang selalu hadir dalam setiap pelaksanaan UCIFEST.
Selain itu, Lulu mengatakan, karya film menggunakan medium seluloid kini telah menjadi sebuah seni yang hampir mati. Namun, belakangan muncul gerakan untuk menghadirkan kembali eksistensi seluloid sebagai praktik dan teknik dalam produksi film.
Hal ini dipengaruhi kerinduan kreator film untuk mengembangkan nilai-nilai yang tidak tergantikan dengan kemudahan yang ditawarkan teknologi digital.
“Tingkat kesulitan dalam membikin film dengan seluloid adalah sebuah seni. Bila disesuaikan dengan perkembangan sekarang, anak muda mengembangkan pembelajaran keterampilan untuk memadukannya dengan format baru,” ujarnya.
Lebih lanjut, Lulu menuturkan, temuan teknologi baru akan mengingatkan publik pada semangat yang tersimpan di masa silam. Saat ini, kata dia, anak muda mulai tertarik dengan kamera seluloid.
“Fesyen juga kembali ke gaya tahun 1980-an, bahkan 1960-an. Ini bentuk kerinduan-kerinduan akan sesuatu hal yang tak tergantikan oleh teknologi sekarang,” tutur Lulu.