Tren friendship marriage di tengah menurunnya populasi di Jepang
Populasi penduduk Jepang tengah dalam masalah. Dikutip dari Nippon, pada 1 Oktober 2023 total populasi di Negeri Sakura tersebut sebanyak 124.352.000 jiwa. Jumlah tersebut turun sebanyak 595.000 atau 0,48% dari tahun sebelumnya. Kondisi ini merupakan tahun ke-13 berturut-turut penurunan populasi.
Penurunan populasi alami—yang dihitung dengan mengurangi kelahiran dan kematian—mencapai rekor tertinggi sebesar 837.000, meningkat selama 17 tahun berturut-turut. Penurunan ini tediri dari 414.000 pada perempuan dan 423.000 pada laki-laki.
Jumlah penduduk hanya meningkat di Tokyo, sedangkan penurunan terjadi pada 46 prefektur lainnya. Tingkat penurunan populasi lebih dari 1% terjadi pada 15 prefektur, di antaranya Akita, Aomori, dan Iwate. Penduduk produktif berusia 15 hingga 64 tahun berjumlah 73.952.000, mengalami penurunan dari tahun ke tahun sebesar 256.000 jiwa.
Di sisi lain, dilansir Nikkei Asia, jumlah pasangan di Jepang yang menikah tahun 2023 turun di bawah 500.000 untuk pertama kalinya dalam 90 tahun terakhir. Jika pasangan asing tak disertakan, diperkirakan ada penurunan pernikahan sebesar 5,8% dari tahun 2022 menjadi 476.000 pernikahan.
“Ini pertama kalinya sejak 1933 jumlahnya turun di bawah 500.000. Pada 1933, populasi Jepang berjumlah setengah dari jumlah penduduk saat ini, dan orang-orang menikah pada usia rata-rata 25 tahun—sekitar lima tahun lebih muda dibandingkan pernikahan saat ini,” tulis Nikkei Asia.
Menurut Nextshark, tingkat pernikahan di Jepang menurun akibat banyak generasi muda yang kecewa dengan ekspektasi masyarakat. Pemerintah bahkan sudah memanfaatkan big data dan algoritma artificial intelligence (AI) untuk meningkatkan acara perjodohan, yang secara tradisional dikenal dengan istilah konkatsu.
Akan tetapi, di tengah menurunnya populasi di Jepang dan populasi, muncul tren hubungan baru yang disebut friendship marriage atau “pernikahan persahabatan”. South China Morning Post menyebut, friendship marriage adalah hubungan hidup bersama berdasarkan minat dan nilai yang sama. Ini berbeda dengan cinta romantis yang konvensional atau menikahi seorang sahabat.
“Dalam hubungan seperti itu, pasangan adalah sah, tetapi tanpa cinta romantis atau interaksi seksual,” tulis South China Morning Post.
“Pasangan mungkin tinggal bersama atau terpisah. Jika mereka memutuskan untuk mempunyai anak, mereka mungkin memutuskan menggunakan inseminasi buatan.”
Dua individu bebas menjalin hubungan romantis dengan orang lain di luar pernikahan. Asalkan ada kesepakatan bersama. Friendship marriage dianggap menarik bagi mereka yang menginginkan persahabatan, manfaat sosial dari pernikahan, atau untuk memulai keluarga.
Lembaga friendship marriage pertama di Jepang, Colorus, dikutip dari Nextshark, melaporkan sekitar 1% populasi atau 1,24 juta orang merupakan kandidat yang memungkinkan untuk melakukan perjanjian semacam itu. Sejak 2015, Colorus telah memfasilitasi sekitar 500 pernikahan dan beberapa pasangan bahkan sudah membesarkan anak.
Rata-rata peserta berusia 32,5 tahun, berpendidikan tinggi, dan stabil secara finansial. Sekitar 70% pelaku friendship marriage punya tujuan memiliki anak melalui metode inseminasi buatan.
South China Morning Post menulis, mereka yang tertarik pada hubungan semacam ini, antara lain individu aseksual, homoseksual, dan heteroseksual yang kecewa dengan pernikahan biasa.
“Pernikahan persahabatan itu seperti mencari teman sekamar yang memiliki minat yang sama,” kata seseorang yang sudah menjalin friendship marriage selama tiga tahun kepada South China Morning Post.
Sebelum melangsungkan pernikahan, biasanya pasangan menghabiskan waktu berjam-jam atau berhari-hari untuk mencapai kesepakatan sejumlah hal kecil dalam hidup mereka, seperti apakah ada makan bersama, bagaimana membagi pengeluaran, siapa yang mencuci pakaian, dan sebagainya.
“Diskusi semacam itu mungkin tampak tidak romantis, namun hal ini telah membantu sekitar 80% pasangan untuk hidup bahagia bersama dan dalam banyak kasus memiliki anak,” tutur Colorus, dikutip dari South China Morning Post.
Tren ini sangat menarik bagi orang-orang aseksual dan homoseksual. Sebab, banyak orang aseksual yang tak mampu merasakan hasrat seksual atau jatuh cinta, tetapi masih mendambakan koneksi atau persahabatan. Sedangkan bagi kaum homoseksual, kemungkinan memilih friendship marriage sebagai alternatif lantaran pernikahan sesama jenis tidak sah di Jepang.
Generasi muda yang heteroseksual memilih friendship marriage karena tak suka pernikahan tradisional, tetapi rentan terhadap tekanan sosial. Dengan friendship marriage, mereka dapat menampilkan citra individu yang stabil dan dewasa demi kemajuan karier atau menyenangkan orang tua.
“Di Jepang, menikah mempunyai keuntungan pajak dan masih sangat sulit bagi perempuan lajang untuk memiliki anak,” tulis South China Morning Post.
Di beberapa negara di luar Jepang, ada sejumlah pasangan yang menjalankan hubungna serupa friendship marriage. Misalnya, dua perempuan asal Singapura yang telah berteman dekat sejak kecil, memutuskan menjadi pasangan hidup dan tinggal bersama di Los Angeles, Amerika Serikat. Hubungan mereka tak bersifat seksual. Di China, semakin banyak anak muda yang memilih untuk membeli rumah dan tinggal bersama teman dekat.
Di sisi lain, pengacara pernikahan Zhao Li kepada South China Morning Post mengingatkan pentingnya menandatangani perjanjian pranikah sebelum memutuskan menjalin friendship marriage.
“Meskipun pernikahan non-seksual mungkin tidak cocok untuk semua orang, hal ini belum tentu tidak sehat atau tidak normal,” kata seorang dokter di China, Ma Xiaonian kepada South China Morning Post.