close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi seorang mahasiswa di perpustakaan./Foto StockSnap/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi seorang mahasiswa di perpustakaan./Foto StockSnap/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 01 Februari 2024 18:35

Gagalnya student loan Kredit Mahasiswa Indonesia

Kredit Mahasiswa Indonesia diluncurkan pada 1982, dengan BNI 1946 sebagai pelaksana.
swipe

Dalam keterangan pers hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Selasa (30/1), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sedang membahas kemungkinan memberikan student loan atau pinjaman ke mahasiswa untuk berkuliah.

Wacana itu dilontarkan sebagai respons ramainya protes mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mempermasalahkan penggunaan layanan pinjaman online Danacita untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT). Mahasiswa mengeluh, biaya layanan platform itu terlalu tinggi.

“Tapi, kami juga waspada. Di negara maju seperti Amerika, (student loan) itu sudah dilakukan dan menimbulkan masalah jangka panjang,” kata Sri Mulyani dalam keterangan pers.

Student loan adalah jenis bantuan keuangan yang diberikan oleh lembaga untuk membantu biaya kuliah. Uang itu harus dikembalikan sesuai perjanjian. Berbagai negara, misalnya Kanada, Prancis, Jerman, India, Thailand, Inggris, dan Amerika Serikat memanfaatkan student loan, dengan mekanisme berbeda-beda.

Sebelum Sri Mulyani mengemukakan wacana student loan, Indonesia sebenarnya sudah mengenal sistem itu pada awal 1980-an. News on Indonesia (1982), pernah mengangkat wacana Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 yang bakal mengeluarkan pinjaman kepada mahasiswa. Pinjaman itu disebut Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI).

Direktur BNI 1946, H.M. Poetiray, dikutip dari News on Indonesia, mengatakan saat itu bank yang dipimpinnya punya kantor cabang pembantu di hampir semua universitas dan instansi negeri, antara lain Universitas Indonesia (UI), Universitas Sumatera Utara (USU), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, tugas cabang pembantu bank itu hanya sebatas mengumpulkan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) alias biaya sekolah, dengan staf berjumlah lima orang.

“Tanpa membeberkan jumlah yang akan dijadikan kredit mahasiswa, dia mengatakan, dana KMI akan diperoleh dari Bank Indonesia yang belum mengeluarkan arahan yang diperlukan dalam penerbitan kredit mahasiswa tersebut,” tulis News on Indonesia.

Ketika itu, BNI 1946 tengah mengalami pertumbuhan signifikan. BNI 1946, sebut News on Indonesia, saat itu sangat aktif menyediakan dana kepada masyarakat, sehingga punya surplus likuiditas. Bank memanfaatkan kelebihan dananya di pasar uang internasional, dengan mengambil bagian dalam transaksi uang di Singapura, Hong Kong, New York (Amerika Serikat), dan London (Inggris).

Selain itu, BNI 1946 juga membentuk konsorsium dengan bank-bank asing di Amerika Serikat, Eropa, dan ASEAN untuk pembiayaan proyek-proyek raksasa di Indonesia dan luar negeri, di antaranya pembangunan pabrik semen swasta Tiga Roda dan Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Poetiray mengatakan, BNI 1946 duduk di peringkat teratas dalam hal aset di Indonesia dan nomor delapan di antara negara-negara Asia Tenggara.

Akhirnya, Kredit Mahasiswa Indonesia diperkenalkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 1982. Dalam buku Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan (1988) disebutkan, program Kredit Mahasiswa Indonesia dilaksanakan BNI 1946. Jika belum ada kantor cabang BNI 1946, maka bakal dilaksanakan bank pemerintah yang ditunjuk Bank Indonesia.

Lalu, plafon kredit atau batas maksimum yang diberikan bank untuk debitur sebesar Rp750.000 setahun. Kemudian, suku bunga kredit kepada nasabah sebesar 6% setahun dan jangka waktu kredit maksimal 10 tahun. Thomas pun menjabarkan syarat-syarat penerima kredit mahasiswa itu.

“KMI hanya dapat diberikan kepada mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi negeri. Untuk mahasiswa program S1 telah lulus sarjana muda atau memperoleh beban studi minimal 90 SKS (sistem kredit semester) untuk mahasiswa IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan),” tulis Thomas.

“Dan 110 SKS untuk mahasiswa perguruan tinggi bukan IKIP. Telah lulus semester pertama untuk mahasiswa program gelar S2, S3, serta program non-gelar D3.”

Sayangnya, Kredit Mahasiswa Indonesia gagal. Pada akhir 1980-an, pemerintah mengakhiri program pinjaman mahasiswa itu. Penyebabnya, sebut peneliti Teguh Yudo Wicaksono dan Deni Friawan dalam tulisan mereka, “Recent Developments in Higher Education in Indonesia: Issues and Challenges” di buku Financing Higher Education and Economic Development in East Asia (2011), karena tingkat gagal bayar yang tinggi.

“Berdasarkan wawancara kami dengan beberapa orang penting, tingkat gagal bayar mencapai 95%,” tuls Teguh dan Deni.

Teguh dan Deni menulis, pangkal kegagalan Kredit Mahasiswa Indonesia adalah buruknya administrasi. Banyak mahasiswa penerima kredit yang tidak melunasi pinjamannya, setelah menyelesaikan studi mereka.

Padahal, ada ancaman ijazah bakal ditahan jika kredit tak dibayar. Mantan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M. Nasir pernah mengisahkannya, saat ia masih menjadi mahasiswa dan menerima kredit dari program pemerintah itu.

“Ternyata mereka (mahasiswa) tidak butuh ijazahnya, tapi hanya butuh fotokopi ijazah yang dilegalisir,” ujar Nasir di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (15/3/2018) seperti dikutip dari Antara.

Teguh dan Deni menulis, bank yang memberikan pinjaman memiliki administrasi yang buruk. Akibatnya, gagal memantau dan melacak lulusan yang mengikuti Kredit Mahasiswa Indonesia.

“Bank-bank memperlakukan pinjaman mahasiswa seperti hibah karena mereka mengira itu adalah bagian dari program pembangunan pemerintah dari Bank Indonesia,” tulis Teguh dan Deni.

“Pengelolaan pinjaman yang buruk ini tercatat sebagai pinjaman bermasalah, dan pinjaman mahasiswa telah dianggap oleh sektor perbankan sebagai bisnis yang berisiko tinggi. Hal ini menyebabkan perbankan enggan untuk terlibat lagi dalam program ini.”

Seiring waktu, program kredit ini diadaptasi perusahaan swasta. Misalnya, pada 2006 sebuah yayasan pendidikan swasta Sampoerna Foundation mendesain ulang program pinjaman mahasiswa. Dalam merancang program tersebut, yayasan bekerja sama dengan International Finance Corporation (IFC) dan Bank Internasional Indonesia (BII) sebagai kreditor. Dalam program ini, BII berperan sebagai administrator.

“Menurut perkiraan, total anggaran program pinjaman mahasiswa hampir 20 juta dolar AS, dengan setengah dari dana tersebut didukung IFC,” tulis Teguh dan Deni.

Karakteristik pinjaman tersebut tanpa agunan, meski mahasiswa atau anggota keluarganya yang bertindak sebagai penjamin harus punya pekerjaan berpenghasilan minimal Rp40 juta setahun. Batasan pinjaman yang diberikan yayasan antara Rp10 juta hingga Rp200 juta. Bank mengenakan bunga sebesar 1,5% per bulan, dengan jangka waktu pembayaran antara enam bulan hingga tiga tahun.

Sayangnya, sejak diluncurkan pada 2007, menurut Teguh dan Deni, jumlah mahasiswa yang menerima pinjaman hanya 15 orang. “Hal ini menunjukkan, program tersebut hanya menjangkau penerima yang sangat terbatas,” ujar Teguh dan Deni.

“Keterbatasan ini tidak hanya disebabkan oleh pendeknya jangka waktu pelaksanaan program, namun juga karena keterbatasan kelembagaan atau peraturan.”

Dari aspek kelembagaan atau peraturan, tulis Teguh dan Deni, bank masih menganggap pinjaman mahasiswa sangat berisiko dan tak ada insentif kuat yang diberikan oleh pemerintah atau bank sentral bagi bank untuk meminjamkan uang pada program pinjaman mahasiswa.

Dalam tulisannya “5 Higher Education Financing and Inequality the Critical Role of Student Loan Scheme Design—Illustrations from Indonesia, Vietnam and Thailand” di buku Human Capital Formation and Economic Growth in Asia and the Pacific yang terbit pada 2013, ekonom Asutralia Bruce Chapman mencoba menjabarkan asumsi skema pinjaman mahasiswa di Indonesia.

“Total utang per mahasiswa sebesar Rp30,4 juta, yang secara kasar mencerminkan biaya kuliah rata-rata yang saat ini dibebankan di universitas di Indonesia dan perkiraan biaya minimalnya, biaya hidup, tingkat bunga riil sebesar 3% per tahun, dan jangka waktu pengembalian 10 tahun,” tulis Chapman.

Terlepas dari itu, student loan bisa dibilang sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, dapat mengubah perilaku kredit konsumtif menjadi produktif. Namun, di sisi lain bisa menjadi petaka bagi perekonomian.

“Membengkaknya student debt sudah menjadi masalah di Amerika. Sekitar 20 juta rakyat Amerika adalah mahasiswa di setiap tahunnya. Ada 12 juta di antaranya, atau 60%, meminjam uang untuk membantu pembiayaan pendidikan tinggi,” tulis Reza Prama Arviandi dalam Buku Putih Kajian Infrastruktur Indonesia (2019).

“Masalahnya, sekitar 13,7% dari peminjam student loan di Amerika dinyatakan gagal bayar terhadap utang pendidikannya pada 2011.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan