Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) melaporkan kasus doxing yang menyasar peneliti ICW Diky Anandya ke Bareskrim Polri, Senin (13/1). Dilansir dari Tempo.co, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan terkena doxing karena mengkritik Joko Widodo yang masuk dalam nominasi tokoh terkorup versi Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Serangan doxing berupa penyebaran data pribadi, seperti nama, nomor KTP, alamat lengkap, hingga nomor ponsel itu disebar sebuah akun Instagram.
Serangan dari beberapa akun Instagram pernah pula dialami Jauhari, 29 tahun. Dia mengomentari keputusan PSSI di akun Instagram resmi federasi terkait keputusan memecat Shin Tae-yong.
“Saya komentar (di akun Instagram PSSI), kenapa untuk pengganti sekelas Shin Tae-yong itu (Patrikck) Kluivert. Padahal dia sudah jelas punya catatan buruk utang judi. Selain itu, sebagai pelatih belum punya catatan bagus,” kata Jauhari kepada Alinea.id, belum lama ini.
Tak disangka, dia diserang beberapa akun Instagram, dengan menyebutnya sebagai fan timnas Indonesia yang pandir. Bahkan, Jauhari sempat dikirim pesan langsung di Instagram untuk menghapus komentarnya.
“Apa salah saya? Orang saya juga mengomentari hal yang sama seperti pecinta timnas lainnya,” ujar Jauhari.
Namun, Jauhari hanya mendiamkan akun-akun yang mengajaknya berdebat karena tidak mau menghabiskan tenaga bersilang pendapat di media sosial.
“Tapi gila ini mah, sudah banyak buzzer-nya,” ucap Jauhari.
Serangan terhadap Diky dan Jauhari diduga dilakukan buzzer atau pendengung di media sosial. Menurut sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana, buzzer di media sosial sudah sangat tampak diorkestrasi untuk melawan pihak yang kritis, terutama terhadap kebijakan penguasa. Fenomena ini, menurut Asep, mirip preman pada masa Orde Baru yang dirangkul untuk menekan dan mengintimidasi pihak oposisi terhadap rezim.
“Bedanya, dulu para kelompok ini bergerak dalam kehidupan nyata sebagai orang yang memberi intimidasi kepada lawan politik Soeharto, sekarang perilaku preman ini bertransformasi di media sosial,” ujar Asep, Rabu (15/1).
Asep menilai, pendengung sudah menjadi bahaya bagi kehidupan berdemokrasi. Sebab, tekanan yang dilakukan membuat banyak orang takut mengutarakan pendapat karena khawatir “dirujak”, dibunuh karakternya, atau dicari aib pribadinya.
“Ini jelas dipelihara. Praktiknya (preman dan buzzer) sama. Sama-sama menjadi alat untuk menekan kelompok yang kritis,” ucap Asep.
Salah satu cara melawan buzzer, ungkap Asep, adalah dengan mengorganisir masyarakat untuk melakukan kontra narasi yang dilakukan pendengung. Cara lainnya, dengan membuat viral.
“Walaupun tidak mudah mengorganisir warganet untuk membuat viral dan melawan, (tapi) banyak contoh viral itu bisa mengubah keadaan. Apalagi kalau sudah ada korbannya,” tutur Asep.
Sementara itu, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengakui, perilaku pendengung yang terkesan mendukung penguasa, patut diduga memang diorkestrasi untuk menekan kelompok kritis.
Ardi melihat, bibit buzzer yang agresif bisa dilihat saat pertarungan pilpres. Dia sudah memperhatikan perilaku pendengung sejak Pilpres 2019.
“Sangat mengkhawatirkan buzzer-buzzer ini di tengah situasi masyarakat kita yang belum dewasa bermedia sosial,” kata Ardi, Jumat (17/1).
“Media sosial kita makin jelas dibiarkan oleh negara menjadi tempat berkelahi satu sama lain. Semestinya bila ada kritik, pemerintah harus menerima, bukan mengerahkan buzzer.”
Para pendengung partisan ini, kata Ardi, pada gilirannya akan menjadi pendengung rezim jika capres yang didukung menang. Dia mengatakan, kalau pemerintah terus tutup mata dan membiarkan perilaku buzzer ini menekan kelompok kritis, maka akan menurunkan kredibilitas negara. Akhirnya, malah memicu konflik sosial.
Namun, pendengung yang sudah agresif sulit ditindak. Apalagi menuntut negara bertanggung jawab. Sebab, kata dia, pembuktiannya akan sangat sulit.
“Mereka bisa berkilah kalau mereka hanya pendukung atau simpatisan. Tapi rakyat tidak bodoh, rakyat tahu kalau ini diorkestrasi," kata Ardi.