

Ganja bisa merusak memori pada otak

Penelitian terdahulu menyebut, penggunaan ganja secara teratur dipercaya dapat meningkatkan risiko seseorang terhadap masalah kesehatan, seperti kerusakan paru-paru, kesehatan mental, strok, dan serangan jantung. Faktor risiko demensia juga punya kaitan dengan penggunaan ganja.
Namun, dikutip dari Medical News Today, penggunaan ganja meningkat secara signifikan di seluruh dunia, dari sekitar 180,6 juta orang pada 2011 menjadi 219 juta orang pada 2021. Sebagian besar peningkatan itu karena didorong langkah-langkah melegalkan ganja di banyak negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Thailand, Spanyol, Afrika Selatan, Belanda, dan Uruguay.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Penggolongan Narkotika, ganja termasuk jenis narkotika golongan I.
Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Network Open, dikerjakan para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Colorado Anschutz menemukan risiko lain dari penggunaan ganja.
Studi ini diklaim sebagai yang terbesar yang pernah dilakukan dalam meneliti dampak penggunaan ganja pada lebih dari 1.000 orang dewasa berusia 22 hingga 36 tahun, menggunakan teknologi pencitraan otak. Mereka dikategorikan sebagai salah satu kelompok pengguna berat, yang sudah menggunakan ganja lebih dari 1.000 kali selama hidup mereka; pengguna sedang, yang menggunakan ganja antara 10 hingga 999 kali selama hidup mereka; dan bukan pengguna, yang menggunakan ganja kurang dari 10 kali.
Mengutip situs Universitas Colorado Anshutz, para peneliti menemukan, 63% pengguna ganja berat seumur hidup menunjukkan penurunan aktivitas otak selama tugas memori kerja, sedangkan 68% pengguna baru-baru ini juga menunjukkan dampak yang sama.
Penurunan aktivitas otak ini dikaitkan dengan kinerja yang lebih buruk pada memori kerja, yakni kemampuan untuk menyimpan dan menggunakan informasi untuk melakukan tugas. Misalnya, memori kerja memungkinkan seseorang untuk mengikuti instruksi yang baru saja diberikan atau memvisualisasikan dan memanipulasi informasi secara mental, seperti memecahkan soal matematika.
Para peneliti mempelajari respons saraf peserta selama sesi pencitraan resonansi magnetik dan memberi mereka tujuh tugas kognitif untuk diselesaikan. Tugas-tugas itu menguji daya ingat, penghargaan, emosi, bahasa, dan keterampilan motorik.
Para peneliti menemukan, ganja memiliki efek signifikan secara statistik pada fungsi otak selama tugas-tugas memori kerja. Selama tugas memori kerja, para peneliti menemukan penggunaan ganja dalam jumlah besar mengurangi aktivitas otak di area tertentu, seperti korteks prefrontal dorsolateral, dan insula anterior. Area otak ini terlibat dalam fungsi kognitif penting, seperti pengambilan keputusan, memori, perhatian, dan pemrosesan emosi.
“Penelitian ini pada orang dewasa muda menunjukkan apa yang kami lihat dalam praktik klinis bahwa orang yang memilih menggunakan CBD (cannabidiol) atau THC (tetrahydrocannabinol), baik dalam bentuk makanan maupun yang dapat diisap, terbukti memiliki masalah memori,” kata ahli saraf di Providence Saint John’s Health Center di Santa Monica, Clifford Segil kepada Medical News Today.
“Ini menunjukkan, orang dewasa muda yang menggunakan ganja berat dan baru-baru ini, mengalami masalah memori. Jadi, kesimpulannya memilih menggunakan produk ganja dapat menyebabkan kehilangan memori dalam jangka panjang maupun pendek.”
Neuropsikolog klinis dan direktur The Center for Memory & Healthy Aging di Hackensack Meridian Jersey Shore University Medical Center, Jasdeep S. Hundal kepada Medical News Today pun mengatakan, dia tak terkejut dengan penelitian ini.
“Kami telah lama menduga penggunaan ganja secara teratur dan berat mungkin memiliki konsekuensi terhadap fungsi otak, terutama di area yang terkait dengan memori kerja dan fungsi eksekutif,” ujar Hundal.
“Temuan ini sejalan dengan apa yang sering kami amati secara klinis, beberapa pasien yang menggunakan ganja secara teratur melaporkan kesulitan memori subjektif, kecepatan pemrosesan yang lebih lambat, dan fleksibilitas kognitif yang berkurang, meski mereka tidak memiliki kondisi neurodegeneratif.”
Namun, menurut profesor emeritus dan direktur Pusat Studi Narkoba, Alkohol, Merokok, dan Kesehatan di Universitas Michigan, Carol Boyd kepada CNN memandang, studi observasional tersebut tidak dapat membuktikan ganja membahayakan otak. Akan tetapi, penelitian tersebut menambah bukti ilmiah pada keyakinan sosial lama tentang penggunaan ganja.
“Selama bertahun-tahun, dokter, keluarga, dan teman yang mengenal pengguna ganja berat memahami bahwa ingatan mereka ‘rusak’, seperti lupa daftar belanjaan atau tidak bisa mengikuti resep,” kata Boyd.
Menurut Boyd, penelitian itu juga tidak dapat memastikan apakah memori kerja kembali, jika pengguna ganja berat berhenti dan tidak menggunakannya lagi dalam jangka waktu yang lama.
“Dapatkah remaja yang menggunakan ganja lebih dari 1.000 kali antara usia 15 dan 20 tahun, tetapi berhenti menggunakannya pada usia 20 tahun, menunjukkan peningkatan daya ingat 10 tahun kemudian?” ujar Boyd.
Penelitian itu juga tidak dapat menentukan kadar THC dalam ganja yang digunakan atau mengendalikan kondisi psikologis yang ada, seperti attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)—gangguan neurobiologis yang menyebabkan kesulitan memusatkan perhatian, hiperaktivitas, dan impulsivitas—yang juga diketahui memengaruhi daya ingat.
“Ada kemungkinan, ADHD merupakan faktor pengganggu, yang mendistorsi hasil antara penggunaan ganja berat dan gangguan memori kerja,” tutur Boyd kepada CNN.


Tag Terkait
Berita Terkait
Ibu-ibu di Brasil pimpin perjuangan untuk mengakses ganja medis
Afsel melegalkan penggunaan ganja, negara Afrika lainnya mengikuti?
Pertama kali di AS, penggunaan mariyuana melebihi minuman beralkohol
Thailand akan melarang penggunaan ganja untuk rekreasi akhir tahun ini

