close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi ganja herbal./Foto GAD-BM/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi ganja herbal./Foto GAD-BM/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 20 November 2023 19:56

Ganja dan hubungannya dengan kecerdasan

Riset menyebut, ganja punya dampak positif pada penyakit neurodegeneratif yang memengaruhi daya ingat, seperti alzheimer.
swipe

Ganja sudah lama dianggap sebagai pemicu penurunan memori manusia. Di berbagai negara, ganja pun punya beberapa kebijakan yang mengaturnya. Di Indonesia sendiri, ganja dimasukkan ke dalam narkotika golongan I, menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Mengutip NBC News, 31 Januari 2022, menurut direktur program penggunaan zat remaja dan kecanduan di Rumah Sakit Anak-anak Boston sekaligus profesor di Fakultas Kedokteran Harvard, Sharon Levy, ganja memanfaatkan sistem otak yang sudah ada dalam endokannabinoid, zat mirip ganja yang ada secara alami di dalam tubuh.

Maka, ketika mengonsumsi ganja, seseorang membanjiri sistem dengan zat kimia tanaman psikoaktif tetrahidrokannabinol (THC), yang dalam jangka pendek sangat baik dalam “merampok” sistem otak.

“Analisis terbaru dari penelitian sebelumnya tentang dampak ganja pada kognisi orang muda menemukan, banyak kesulitan pembelajaran dan ingatan, seperti perlambatan kecepatan berpikir dan kesulitan fokus,” tulis NBC News.

Akan tetapi, tak semua orang percaya, ganja itu buruk. Profesor di departemen psikiatri dan direktur Center for Medicinal Cannabis Research di University of California, Igor Grant dalam NBC News mengatakan, tak yakin ada defisit kognitif seperti kehilangan memori jangka panjang pada seseorang yang memakai ganja.

Peneliti asal IRCCS Centro Neurolesi, Italia, yakni Serena Silvestro, Santa Mammana, Eugenio Cavalli, Placido Bramanti, dan Emanuela Mazzon dalam penelitiannya bertajuk “Use of Cannabidiol in the Treatment of Epilepsy: Efficacy and Security in Clinical Trials” terbit di Journal Molecules (April, 2019) justru menemukan, ganja punya dampak positif pada penyakit neurodegeneratif yang memengaruhi daya ingat, seperti alzheimer, hutington chorea, dan epilepsi.

Dua senyawa dalam ganja, yakni THC memiliki sifat berlawanan dengan cannabidiol (CBD). THC bisa mengikat reseptor cannabinoid alami yang ada di otak, sehingga menimbulkan efek euforia. Namun, CBD mampu secara signifikan mengurangi gangguan obsesif kompulsif dan stres pasca-trauma.

“Hingga saat ini, data keamanan yang tersedia menunjukkan, pemberian CBD bersamaan dengan obat anti-epilepsi umum menyebabkan efek samping yang tak serius, yang dapat diatasi dengan mengurangi dosis CBD dan/atau obat anti-epilepsi umum,” kata Silvestro dan kawan-kawan dalam risetnya.

Menurut direktur peneliti dari Yayasan Sativa Nusantara (YSN) Viqqi Kurnianda, di Indonesia belum ada penelitian terkait hubungan antara penurunan kecerdasan dengan ganja maupun ganja medis.

“Yayasan Sativa Nusantara sedang mengusahakan izin dari Kementerian (Kesehatan) untuk penelitian pada pencarian obat anti-diabetes, anti-kanker, anti-bakteri, dan epilepsi,” ujar Viqqi saat dihubungi Alinea.id, Minggu (19/11).

“Semoga juga bisa cepat terealisasi dan kita bisa menemukan obat yang terjangkau bagi masyarakat, namun kualitasnya itu sebanding dengan obat-obat yang dijual dengan harga yang mahal.”

Viqqi membenarkan, salah satu senyawa dalam ganja punya dampak positif pada penyakit neurodegeneratif, seperti alzheimer, huntington chorea, dan epilepsi. Dalam penelitian, katanya, memang ditemukan pengobatan untuk proses regeneratif atau memperbaiki sel-sel yang rusak dengan ganja.

“Tapi, untuk menyambungkan kembali (saraf) yang telah putus ini belum ada penelitian dan belum ada buktinya,” ujar Viqqi.

“Seperti luka, (yang) akan keluar cairan putih, istilah kedokterannya fibrinogen. Kemudian lukanya ditutup, nah di tubuh kita selnya akan diregeneratif, akan diperbaharui itu bisa pakai cannabis.”

Soal ganja yang dituding menjadi pemicu penurunan kecerdasan, Viqqi menjelaskan, yang harus ditekankan adalah cara penggunaan ganjanya. Jika dengan cara dibakar, komponen senyawa sudah mengalami perubahan yang mengakibatkan dampak buruk bagi tubuh.

“Tapi kalau dalam ranah ganja medis, artinya kita berbicara istilah atau model terapi menggunakan senyawa di dalam ganja dengan dosis yang terukur untuk tujuan pengobatan,” ujarnya.

“Nah, kalau kita menggunakan pendekatan ganja medis, itu tidak ada penelitian yang menyebutkan bisa menurunkan (memori).”

Sementara jika dibakar, ganja akan didominasi THC. Senyawa ini bisa menyebabkan efek halusinasi, sel-sel di dalam tubuh menjadi relaksasi. Sama seperti ketika sedang mengonsumsi alkohol dalam kadar yang tinggi.

Viqqi lebih lanjut mengatakan, di sebuah jurnal yang terbit pada 2015 disebutkan, dalam menentukan kecerdasan intelektual (intelligence quotient/IQ) manusia dilihat berdasarkan fungsi kognitif dan efek jangka panjangnya.

“Hasil (riset) ini dijelaskan kalau penggunaan ganja dengan cara selain untuk keperluan medis, itu bisa menurunkan IQ manusia sekira satu sampai dua poin,” kata dia.

“Memang ada penurunan, tapi tidak ada bukti antara hubungan si orang ini sering pakai (ganja) bisa menurunkan IQ.”

Hal itu bisa terjadi, menurut Viqqi karena IQ merupakan sebuah parameter yang ditunjukan melalui genetik. IQ seorang anak ditentukan oleh IQ dari ibunya. “Itukan fakta biologisnya,” tutur dia.

img
Rizky Fadilah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan