Dari Ganool ke IndoXXI: Bagaimana surga film bajakan beranak-pinak
Akhir 2019 menjadi momen yang pahit bagi warganet pecinta film bajakan. Lelah kucing-kucingan dengan pemerintah, situs streaming film ilegal IndoXXI akhirnya mengumumkan bakal berhenti beroperasi pada awal tahun 2020.
"Sangat berat tetapi harus dilakukan, terima kasih kepada seluruh penonton setia kami. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2020 kami akan menghentikan penayangan film di website ini demi mendukung dan memajukan industri kreatif Tanah Air, semoga ke depannya akan menjadi lebih baik," tulis laman IndoXXI seperti dikutip Alinea.id, pekan lalu.
Keputusan itu dikeluarkan pengelola IndoXXI setelah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengeluarkan ultimatum bakal membawa IndoXXI dan situs sejenis ke jalur hukum. Ia mengatakan, bakal menggandeng Badan Sandi dan Siber Nasional (BSSN) untuk mengejar situs-situs yang masih bandel.
"Apabila masih ada (situs streaming ilegal), maka tidak saja akan diblokir, tapi bisa saja ada tindakan hukum. Karena itu, kesadaran untuk berhenti (mengunggah film-film bajakan) adalah hal yang baik," kata Plate.
IndoXXI hanya satu dari sekian banyak situs ilegal yang diburu Kemkominfo. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu mengungkapkan, kementeriannya telah memblokir sebanyak 1.143 situs serupa sepanjang 2019.
Angka itu naik lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan tahun 2018, yakni sebanyak 412 situs. “Total 1.745 situs. Dari tahun-tahun sebelumnya meningkat karena pada tahun 2017 (Kominfo) hanya memblokir 190 situs," ujar Ferdinandus saat dihubungi, Kamis (2/1).
Menurut Ferdinandus, Kemkominfo mulai serius menangani situs-situs penyedia streaming dan unduh film bajakan sejak Januari 2017. Ketika itu, Kemkominfo bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mulai rutin menutup situs-situs semacam itu.
Namun demikian, diakui Ferdinandus, upaya itu tidak mudah. "Tumbang satu, tumbuh lagi. Mereka tidak patah semangat untuk membikin situs baru. Kan bikin situs itu tidak lama. Itu terkesan masih ada, memang masih ada lagi," ujar Ferdinandus.
Kasubdit Pengendalian Konten Internet Ditjen Aptika Kominfo Anthonius Malau mengatakan, pemblokiran situs-situs tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSE).
Para pelanggar, kata Anthonius, juga diancam aturan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. "Ciduk-menciduk urusan penyidik (Polri). Kami urusan konten," kata Anthonius kepada Alinea.id, Kamis (2/1).
Langkah 'kejam' pemerintah tersebut terbilang wajar. Pasalnya, jumlah warganet yang menikmati keberadaan IndoXXI dan rekan-rekannya terbilang cukup besar. Menurut hasil survei yang digelar YouGov untuk Coalition Against Privacy (CAP), sebanyak 63% warganet mengaku menonton via situs streaming film bajakan.
Keberadaan IndoXXI dan situs-situs serupa diyakini merugikan hingga triliunan rupiah per tahun. Di sisi lain, rupiah juga mengalir ke situs-situs tersebut dari beragam iklan ilegal. IndoXXI dan rekan-rekannya juga kerap menjadi sumber virus dan malware.
Dari Ganool ke IndoXXI
Bagi situs penyedia konten legal, IndoXXI dan rekan-rekannya adalah penyakit. Namun, bagi mayoritas warganet berkantong tipis, IndoXXI dan situs-situs sejenis adalah surga. Selain gratis, pilihan film di situs-situs tersebut juga jauh lebih beragam.
Muhammad Guruh Nuary misalnya. Kepada Alinea.id, pria berusia 24 tahun itu mengaku sudah mengenal situs-situs nonton film gratis sejak 2010. Ketika itu, Guruh memulai kebiasaannya menonton film bajakan di Ganool.com. Hampir setiap minggu ia menyempatkan diri mengunjungi situs tersebut.
"Sampai orangtua juga minta download-in film ‘Ghost’ judulnya. Itu film jadul tahun 1990. Hebatnya situs itu menyediakan film sejadul itu. Enggak perlu mahal-mahal pula. Cukup nyewa per jam di warnet terus nonton di laptop deh,” ujar Guruh di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (2/2).
Dari Ganool.com, Guruh kemudian beranjak ke LayarKaca21 (LK21) dan IndoXXI. Khusus untuk anime--salah satu genre film kegemarannya--Guruh mengaku biasanya berselancar situs Riie.net, Samehadaku.net, dan Meownime.net.
Menurut dia, situs-situs itu dipilih karena lamannya mudah dibuka dan film-filmnya gampang diunduh. Ia juga mengaku memilih berselancar di situs-situs itu karena senang mengunduh film lama yang tidak bakal ditayangkan lagi di bioskop.
Namun demikian, setelah bekerja sebagai pegawai negeri sipil di salah satu kementerian, Guruh mengaku tak lagi sering menonton di situs-situs film gratis tersebut.
"Sekarang kalau ada film-film bagus mending nonton langsung (di bioskop). Kalau untuk streaming, paling cuma anime saja. Download juga udah males. Banyak kerjaan. Takut memori handphone penuh," ujar dia.
Pengalaman serupa dituturkan Ilham Rusdi, 23 tahun. Sejak duduk di sekolah menengah pertama (SMP), Rusdi mengaku sudah akrab dengan situs-situs penyedia film bajakan. Seperti Guruh, Ganool.com menjadi situs pertama yang dikunjunginya.
"Ganool.com itu dikasih tahu saudara. Tapi, dulu itu belum ada streaming, masih download semua. Kualitas 3gp sudah dianggap bagus kalau ditonton di hape,” ujar Rusdi saat dihubungi, Kamis (2/1).
Pada 2009, Rusdi mengaku beralih ke icinema3satu. Pasalnya, layanan Ganool kian buruk. Selain terganggu serbuan iklan, Rusdi mengaku sering menemukan tautan unduh yang telah mati di situs tersebut.
"Alternatif lain biasanya langsung mengunjungi situs penyimpan file film, seperti 4Shared, Indowebster, dan Mediafire," kata pria yang berdomisili di Sidoarjo, Jawa Timur itu.
Rusdi mengaku 'mencintai' Ganool dan situs-situs sejenis karena tuntutan zaman. Pasalnya, tempat rental VCD film langganannya di Sidoarjo tutup pada 2011. "Mungkin tidak laku karena situs-situs itu,” kata Rusdi.
Kebiasaan itu juga berlanjut saat Rusdi berstatus sebagai mahasiswa. Pada 2015, ia mengaku masih sering menonton film di situs LK21. "Kalau di bioskop sudah lewat, mending download. Menunggu LK21 (karena) enggak punya duit. Kantong mahasiswa lebih suka film bajakan," tutur dia.
Bajak-membajak sejak era VCD
Pengalaman Guruh dan Rusdi itu diamini Tangguh Okta Wibowo dalam Fenomena Website Streaming Film di Era Media Baru; Godaan, Perselisihan dan Kritik yang diterbitkan di Jurnal Kajian Komunikasi pada 2018.
Menurut Tangguh, situs streaming film bajakan mulai marak di Indonesia pada 2009. "Dengan website streaming populer pada masa itu yaitu Ganool.com. Tepatnya 18 Agustus 2015, sebanyak 22 website penyedia film bajakan diblokir Kominfo yang bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM," tulis Tangguh.
Bukannya malah surut, menurut Tangguh, situs-situs penyedia film bajakan malah beranak-pinak setelah diblokir pemerintah pada 2015. Ganool.com misalnya, berganti domain menjadi Ganool.video sebelum ganti nama lagi menjadi Ganool.se.
Ketika itu, IndoXXI dan LK21 meluncur ke jagat maya menggenapi 50 situs streaming lainnya yang justru lahir pascapemblokiran. "Pada Agustus 2016, yang diblokir Kominfo bertambah lagi menjadi 108 situs streaming film," jelas Tangguh.
Menurut Tangguh, kloning situs mudah dilakukan karena pengelola telah menggandakan data digital film-film yang mereka punya. "Permasalahan lain yang kerap kali muncul dikarenakan keinginan untuk berbagi file di internet melalui P2P (peer to peer). Siapa pun tidak akan ada yang bisa menghalanginya," tulis Tangguh.
Dalam buku Contemporary Indonesian Film; Spirit of Reform and Ghost from the Past (2012), Kantika van Heeren menulis, budaya bajak-membajak film telah berkembang di Indonesia sejak dekade 2000, terutama setelah keping-keping VCD dan mesin pemutarnya mulai marak dimiliki masyarakat.
Pelaku industri film bajakan, menurut dia, menyalin produk film produk Indonesia, Hollywood, Mandarin, Hong Kong, Bollywood, hingga genre porno atau semipornografi. "Film bajakan sering beredar sebelum film asli sampai di bioskop,” tulis Katinka.
Ketika itu, VCD bajakan lebih banyak beredar di daerah pedesaan daripada perkotaan. Pada 1998, film bajakan dari Singapura terbanyak beredar. Dari pulau Batam, film bajakan didistribusikan ke Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan. "Saat itu, pabrik film bajakan hanya ada belasan," tulis dia.
Namun, hanya tiga tahun berselang, pabrik film bajakan di Indonesia telah mencapai ratusan. Bahkan, menurut Kantika, film bajakan telah menjadi komoditas asal Indonesia untuk diekspor ke Singapura, Malaysia, India, dan Filipina.
"Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Intelektual yang telah disahkan pada 1997 impoten lantaran pengusaha film bajakan telah menjalin relasi dengan oknum kepolisian dan elite penguasa," tulus Kantika.
Memukul industri film
Eric Sasono, Ekky Imanjaya, Ifan Adriansyah Ismail, dan Hikmat Darmawan dalam buku Menjegal Film Indonesia; Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia (2011) menulis, paruh pertama 1990-an, industri film Indonesia terpukul akibat kemunculan TV swasta, monopoli distribusi film, dan maraknya pembajakan film.
Khusus pembajakan film, negara-negara produsen bahkan mengkritik upaya-upaya pemerintah RI yang dinilai lemah menghentikan praktik-praktik lancung tersebut. "Sejak 1992, Komite Perdagangan Luar Negeri Amerika Serikat bahkan menganggap Indonesia sebagai salah satu negara yang paling abai terhadap perlindungan film-film AS," tulis Eric dan koleganya.
Merespon desakan luar negeri, pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
Namun, laporan Komite Perdagangan Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun 2010 kembali menegaskan bahwa perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia hanya indah di atas kertas.
"Harco Glodok disebut sebagai salah satu pasar terbesar di Indonesia. Penegak hukum Indonesia, menurut laporan tersebut, enggan masuk untuk melakukan aksi pemberantasan pembajakan disebabkan oleh kehadiran kelompok penjahat terorganisir (organized criminal gang) di sana," tulis Eric dan kawan-kawan.
Dosen Jurusan Film Universitas Bina Nusantara (Binus) Ekky Imanjaya menuturkan, situs film bajakan marak karena akses publik terhadap film-film tertentu terbatas. Apalagi, tak semua daerah di Indonesia memiliki bioskop yang menayangkan film-film yang ingin ditonton publik.
“Apalagi, kalau tidak laku. Kejam juga bisnis (film). Empat hari tidak ada penonton, ya, turun (film bioskop). Dan, orang belum sempat nonton. Ada juga untuk keperluan riset atau kebutuhan edukasi. Mungkin juga ada user yang penginnya gratisan,” kata Ekky saat dihubungi, Kamis (2/1).
Bagi produser dan kreator, Ekky menegaskan, budaya menonton film dari situs ilegal sangat merugikan. Sebelum era streaming, film tetap berumur panjang lantaran bisa didistribusikan ke layanan over the top (OTT) atau ditayangkan di televisi swasta.
“Usia film lebih panjang itu dalam rangka supaya produsernya dapat untung atau balik modal. Tapi, kalau sudah dibajak, itu seperti menutup rezeki orang,” ujar salah satu tim penyusun buku Menjegal Film Indonesia; Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia itu.
Ia pun mengimbau agar publik menonton film Indonesia di situs-situs streaming resmi. Pasalnya, film bukan hanya sekadar karya seni dan karya budaya, tetapi juga sebuah komoditas. "Situs film ilegal dapat mengancam keberlanjutan industri film nasional," ujar dia.
Di sisi lain, ia juga meminta agar pemerintah tegas menindak para pembajak film dan pengelola situs nonton film ilegal. Pasalnya, pemblokiran situs masih kerap tidak efektif menghentikan peredaran film bajakan di jagat maya.