Geliat tingwe: Saat ngudud adalah sebentuk perlawanan
Sebuah papan informasi terpacak di salah satu pilar bangunan Toko Maestro di kawasan Ampera, Tangerang, Banten, Senin (4/1) siang itu. Isi informasinya tergolong umum: menjelaskan kapan toko itu buka, tutup, dan libur. Yang tak biasa ialah penanda nomor antrean di bawah papan informasi itu.
Sang pemilik toko, Jumiati, sedang ada di balik etalase toko siang itu. Bersama sejumlah anak buahnya, perempuan berusia 49 tahun tersebut seolah tak henti-hentinya melayani para pembeli yang mengular hingga ke jalan raya di depan toko.
"Mau rasa kayak Samsu, Sampoerna Mild atau Gudang Garam Surya sama Marlboro banyak di sini. Mas, biasanya rokok apa?" tanya Jumiati kepada seorang pengunjung toko yang terlihat masih ragu memilih tembakau rajangan yang akan dibeli.
Sebagaimana tertulis di plang nama toko, Maestro adalah agen besar tembakau rajangan. Beragam jenis tembakau dijual di toko tua yang sebagian besar cat pada tembok bangunannya telah mengelupas itu.
Tersimpan di toples-toples dan bungkusan-bungkusan plastik besar, mole dan lempengan tembakau berwarna kecoklatan terlihat menyesaki seantero toko. Hampir tak ada ruang untuk bergerak bebas di toko kecil itu.
"Anak buah saya juga ada yang enggak masuk gara-gara kecapekan dari kemarin layanin pelanggan. Jadi, agak ribet hari ini," ujar Jumiati saat berbincang dengan Alinea.id di sela-sela tugasnya melayani pembeli.
Biasanya, Jumiati ditemani lima anak buahnya saat menjaga toko. Dengan pegawai sebanyak itu pun, Jumiati masih sering kewalahan melayani pembeli membeludak. Tembakau rajangan yang dijual tokonya memang sedang laku keras sejak beberapa bulan terakhir. Dalam sehari, omzet Maestro bisa mencapai kisaran Rp50-80 juta.
"Saat sebelum pandemi, dapat Rp20 juta aja sudah bagus. Barang baru sampai itu bisa langsung ludes hari itu juga. Padahal, untuk pesan lagi itu perlu waktu untuk pengiriman dan lain sebagainya. Jadi, kadang ada sehari enggak ada barang," ujar Agus Anandata, suami Jumiati.
Agus mengaku sudah berjualan tembakau rajangan sejak 2002. Biasanya, Agus melayani pembelian partai kecil. Namun, ia kerap melayani pembelian partai besar selama pandemi. Itulah kenapa omzet tokonya bisa naik dua sampai tiga kali lipat.
"Di beberapa daerah seperti di Lampung, Medan, Bekasi, Karawang, rokok tingwe (linting dewe) itu lagi digemari anak muda. Para penjualnya itu ambil barangnya di saya," ujar pria berusia 57 tahun itu.
Dalam beberapa bulan terakhir, tingwe atau melinting sendiri tembakau untuk merokok memang sedang ngetren. Di media sosial, beragam akun mulai mempromosikan merokok tingwe sebagai gaya hidup.
Agus menduga tren tingwe kian berkibar lantaran situasi pandemi membuat sebagian masyarakat kehilangan pendapatan. Saat harga rokok pabrikan kian tidak terjangkau, banyak perokok yang akhirnya memilih tembakau tingwe.
"Akhirnya ganti tembakau karena kan (dengan keluar biaya yang sama) bisa jadi beberapa bungkus. Ya, akhirnya beralih. Uniknya lagi justru anak muda yang sekarang banyak tertarik sama tembakau tingwe," ujar Agus.
Ucapan Agus dibenarkan Alexander, 30 tahun. Warga Poris, Tangerang, Banten, itu mengaku baru sebulan beralih ke rokok tingwe karena tak mampu lagi membeli rokok pabrikan sejak pandemi Covid-19 membekap Indonesia.
"Soalnya mulai berasa mahal beli rokok (pabrikan). Jadi, saya beli tingwe saja biar ngirit. Apalagi, sekarang cukai naik. Di online juga lagi rame (rokok tingwe)," ujarnya saat berbincang dengan Alinea.id di depan Toko Maestro.
Jika Alexander memilih tingwe karena berhemat, lain halnya dengan Syarif, 24 tahun. Warga Kalideres, Jakarta Barat, itu memilih tingwe lantaran terpengaruh kampanye di media sosial. "Terus coba-coba. Eh, keterusan," ujarnya kepada Alinea.id.
Seperti Alexander, ia juga merupakan perokok tingwe pemula. Setelah beberapa lama meracik tembakau sendiri, Syarif mengaku merasakan ada cita rasa yang unik pada rokok tingwe. "Karena kalau ngelinting dan ngeracik sendiri itu berasa klasik aja," kata Syarif.
Roll your own...
Juru bicara Komunitas Kretek (Komtek) Jibal Windiaz mengatakan fenomena beralihnya para perokok ke tembakau tingwe bukanlah hal baru. Peralihan itu berlangsung jauh sebelum pandemi. Pendorongnya ialah terus naiknya harga rokok. Namun demikian, ia membenarkan jika rokok tingwe booming saat pandemi.
"Ini bagian dari gaya hidup baru. Orang perkotaan, terutama kaum muda, sudah tak sungkan melinting rokok sendiri. Anggapan bahwa tingwe itu rokoknya wong tuwek (orang tua) atau kampungan sudah tak lagi berlaku. Bahkan, sebagian nganggap itu aktivitas artsy. Dulu kan enggak," ujar Jibal kepada Alinea.id.
Komtek adalah sebuah perkumpulan yang salah satu perhatian utamanya adalah mengadvokasi para konsumen rokok. Didirikan pada 2010, menurut Jibal, anggota perkumpulannya berasal dari berbagai latar belakang profesi dan tidak semuanya perokok.
"Satu hal lain, kita sejak awal memang concern pula pada khazanah budaya pertembakauan atau sebut saja ngudud (merokok dalam bahasa Jawa). Di berbagai daerah, punya kekayaan kultur itu. Kami sepaham untuk merawat heritage ini. Bahwa selain sebagai produk konsumsi, kretek juga menjadi sumber ekonomi dan budaya masyarakat," tutur dia.
Meski "mengkultuskan" mengisap asap tembakau sebagai budaya yang perlu dilindungi, Jibal menegaskan, komunitasnya tidak pernah mendorong orang-orang untuk merokok. Mereka tergerak untuk mengampanyekan rokok kretek dan tingwe lantaran merasa budaya itu kian terancam oleh beragam aturan dan stigma.
"Stigma tentang rokok itu buruk bagi kesehatan. Di balik itu juga adanya penetrasi dari rezim standarisasi yang mengatur-atur kadar tar nikotin. Itu ditengarai kurun 2000-an awal. Makin lama terlihat sektor lokal (pabrikan kecil) banyak yang terpukul dan bangkrut karena tak kuat mengikuti aturan-aturan yang dikeluarkan secara beruntun," kata Jibal.
Menurut Jibal, tingwe bukan lebih dari sekadar gaya hidup yang muncul karena himpitan kesulitan ekonomi. Dalam setiap tembakau rajangan tanpa cukai, Jibal menuturkan, setiap perokok turut berkontribusi menyejahterakan petani tembakau.
"Tahu sendiri kan naiknya cukai otomatis bikin pabrikan melakukan pembatasan kuota produksi. Panen petani tak semua terserap pabrikan. Di situlah, kemudian sebagian tembakau dijual di pasaran dan perokok bisa membelinya tanpa harus ribet dibebani ongkos tambahan," tutur pria kelahiran 1978 itu.
Soal cita rasa, Jibal sepakat tingwe punya keunikan yang tak bisa disaingi rokok pabrikan lantaran diracik sendiri. "Yup, roll your own. Ini kan mengisyaratkan adanya daulat atas cita rasa. Tingwe lovers jadi bisa bebas jamming atau eksperimen. Mau bikin cita rasa kayak apa. Ditambahi cengkeh, nge-blend varian tembakau sendiri," kata dia.
Tingwe sebagai pilihan politik
Budayawan Mohamad Sobary membenarkan bahwa fenomena ngetrennya rokok tingwe turut didorong kesulitan ekonomi masyarakat akibat pandemi. Meski begitu, ia menilai, ada semangat tradisi dalam tingwe yang coba dipopulerkan kembali oleh generasi baru.
"Makanya, gejala ke tradisi lama ini menjadi lifestyle klasik yang sangat mentereng dan itu tidak hanya di kampung-kampung. Lifestyle ini juga ada di Jakarta dan sekitarnya di kalangan anak-anak muda," kata Sobary kepada Alinea.id, Rabu (6/1).
Meski lebih murah ketimbang rokok pabrikan, Sobary mengatakan rokok tingwe memiliki keunggulan nilai estetika. Tingwe juga merupakan simbol perlawanan yang sejak lama identik dengan kaum pergerakan. Itu yang menyebabkan anak muda tak malu merokok tingwe.
"Tingwe, cerutu dan lain sebagainya itu identik dengan gerakan perlawanan. Tokoh sekaliber Fidel Castro dari Kuba yang selalu bangga dengan cerutu sering digambarkan sebagai simbol perlawanan," ujar pria lulusan Monash University itu.
Sobary bisa dikata dekat dengan petani tembakau. Pada 2010, ia memutuskan mulai merokok tingwe. Keputusan itu ia ambil setelah meneliti kehidupan dan aktivisme politik petani tembakau di Temanggung, Jawa Tengah.
"Interaksi saya dengan petani tembakau membuat saya sebagai peneliti menganggap merokok adalah pilihan politik. Dan, pilihan politik saya adalah berpihak kepada petani tembakau. Karena itu, saya memutuskan memilih tingwe ketimbang rokok pabrik," ujar Sobary.
Tingwe adalah sebuah perlawanan#tembakau #tembakauindonesia #rokok #indonesia #tobacco pic.twitter.com/kGaBfyQXzB
— pakdee_tobacco (@PakdeeTobacco) April 10, 2020
Sobary meneliti kehidupan kultural petani Temanggung pada 2010-2011 untuk bahan disertasi doktoral di Universitas Indonesia (UI). Saat itu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru saja menerbitkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dalam beleid itu, rokok ditetapkan mengandung zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan dan harus diawasi dengan ketat. Dengan asumsi kenaikan harga bakal mengurangi prevalensi perokok, pemerintah secara rutin menaikkan tarif cukai untuk produk-produk rokok.
Lazimnya, kenaikan tarif cukai membuat produsen rokok biasanya menekan harga bahan baku. Petani tembakau dirugikan karena tembakau mereka dibeli dengan harga murah. Demo berjilid-jilid pun digelar petani tembakau Temanggung untuk memprotes situasi itu.
Dalam salah satu demo, kata Sobary, para petani tembakau menggelar aksi di sebuah tempat sakral leluhur mereka. "Demo itu merupakan sindiran keras para petani tembakau Temanggung kepada rezim SBY. Karena kelelahan menuntut ke orang yang masih hidup, mereka menuntut ke orang yang sudah meninggal," kata Sobary.
Aksi-aksi semacam itu, kata Sobary, kini berganti rupa. Menurut dia, perlawanan terhadap cukai dan keberpihakan terhadap petani kecil kini menggeliat di media sosial lewat kampanye tingwe. Para aktivisnya tak lagi petani, namun kaum muda yang melek digital.
"Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, dari interpretasi kaum peneliti, ya, itu bentuk perlawanan. Barangkali mereka (generasi muda) tidak menyadari. Tapi, itu perlawanan yang nyata yang belum ada dulu. Gerakan ini bentuk perlawanan terhadap kemiskinan dan perlawanan dari tekanan ekonomi," kata dia.