Mengenal gempa megathrust yang ancam Selat Sunda dan Mentawai-Siberut
Baru-baru ini, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperingatkan gempa bumi megathrust tinggal menungggu waktu terjadi di Indonesia. Dalam keterangan tertulisnya, BMKG memperkirakan, megathrust Selat Sunda dapat memicu gempa dahsyat magnitudo 8,7 dan megathrust Mentawai-Siberut magnitudo 8,9.
Apa itu gempa megathrust?
Dikutip dari Science Alert, gempa bumi megathrust terjadi di zona subduksi—tempat satu lempeng tektonik didorong ke bawah lempeng lainnya. Gempa bumi ini sangat umum terjadi di sekitar Samudera Pasifik dan Hindia, serta menyebabkan tsunami raksasa.
Dikutip dari CNN, gempa bumi terburuk dalam sejarah Jepang berkekuatan magnitudo 9,1 di Tohoku pada 2011, yang memicu tsunami besar dan bencana nuklir. Saat itu, lebih dari 20.000 orang tewas.
Di Jepang, ada ancaman gempa bumi megathrust di Palung Nankaim dengan kekuatan magnitudo 9. Para ahli seismologi menduga, gempa ini berpotensi terjadi dalam beberapa dekade.
Kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap megathrust Nankai, serupa dengan yang dirasakan ilmuwan Indonesia, terutama terhadap megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. BMKG menyebut, gempa di kedua megathrust itu dapat dikategorikan tinggal menunggu waktu karena sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar.
Apa itu megathrust di Jawa dan Sumatera?
Dikutip dari Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017, catatan gempa besar karena megathrust di Sumatera sudah banyak terekam dari beberapa penelitian. Zona subduksi Jawa, dengan banyak segmen, punya frekuensi dan magnitudo kegempaan yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan Sumatera. Walau demikian, sejumlah gempa besar pernah terjadi di lepas pantai selatan Jawa, terutama sepanjang megathrust.
Laporan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 mencatat, megathrust di daerah Sumatera meliputi segmen Aceh-Andaman, Nias-Simelue, Batu, Mentawai-Siberut, Mentawai-Pagai, Mentawai, Batu-Mentawai-Siberut, Enggano, dan Selat Sunda. Sedangkan zona megathrust Jawa, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Enggano-Selat Sunda, Enggano-Selat Sunda-Jawa Barat, Jawa Tengah-Jawa Timur, Selat Sunda-Jawa Barat-Jawa Tengah-Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.
Dalam Seri Buku Saku 2020 Kajian Risiko Tsunami Megathrust Selatan Jawa (2020), perusahaan reasuransi Maskapai Asuransi Indonesia dan Perusahaan Asuransi Risiko Khusus (MAIPARK) Indonesia menyebut, di sepanjang pantai selatan Jawa memiliki bahaya dan risiko tinggi terhadap kejadian gempa besar megathrust.
MAIPARK Indonesia dan Institut Teknologi Bandung (ITB) bekerja sama melakukan kajian risiko tsunami di wilayah itu. Hasilnya, data GPS mengindikasikan adanya kopling seismik yang kuat di selatan Jawa, yang sering disebut sebagai seismic gap, yakni tempat yang potensial terjadi gempa megathrust.
Kedalaman dari seismic gap itu relatif sangat dangkal, kurang dari 30 kilometer. Hasil pemodelan dengan data GPS menunjukkan, potensi tsunami di selatan Jawa lebih tinggi ketimbang tinggi tsunami yang dimodelkan dengan sumber Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen).
Tinggi tsunami maksimum berdasarkan model sumber dari Pusgen adalah delapan meter, yang terjadi di selatan Blitar, Jawa Timur. Sedangkan tinggi tsunami maksimum berdasarkan model sumber data GPS jauh lebih tinggi, yakni 20 meter yang terjadi di dekat Banten.
Penyebabnya, dislokasi yang kecil bila menggunakan model sumber dari Pusgen lantaran model Pusgen sangat luas. Akibatnya, untuk membangkitkan gempa megathrust hanya perlu dislokasi yang kecil, yang hanya mampu membangkitkan tsunami relatif tidak tinggi.
Sementara, dalam laporan “Analisis Ancaman Megathrust Mentawai” yang diterbitkan Disaster Management Institute of Indonesia (DMII) dan Aksi Cepat Tanggap (ACT) disebutkan, segmen patahan Nias pernah pecah dan memicu gempa magnitudo 8,7 pada 2005. Lalu, segmen patahan Enggano mengalami gempa magnitudo 8,4 pada 2007 dan magnitudo 7,7 pada 2010. Namun, gempa hanya terjadi pada tepi-tepi ujung selatan dan utara dari segmen Mentawai yang belum pecah.
Pada 1797, segmen Mentawai pernah terjadi gempa besar, berkekuatan magnitudo 8,8 diserta tsunami. Akan tetapi, setelah itu segmen tersebut sepi gempa, sehingga menyimpan potensi gempa bumi besar.
Bagaimana mengantisipasinya?
Hingga sekarang, ilmu pengetahuan belum bisa memprediksi kapan gempa akan terjadi. Akan tetapi, tiga orang peneliti kegempaan asal Amerika Serikat dan Belanda, yakni K.A. McKenzie, K.P. Furlong, dan M.W. Herman dalam jurnal Geochemistry, Geophysics, Geosystems (2020) menemukan, pergerakan longsor yang bertahap dan lambat jauh di bawah zona subduksi dapat menjadi kunci untuk memahami bagaimana gempa bumi megathrust dipicu, dan kemungkinan berpotensi meningkatkan model perkiraan untuk memprediksi gempa bumi tersebut dengan lebih baik di masa mendatang.
Menurut para peneliti, peristiwa pergeseran lempeng lambat ini, tak terjadi di setiap zona subduksi, tetapi dapat memengaruhi bagaimana tekanan terbentuk di bawah tanah. Peristiwa ini bisa memindahkan energi ke berbagai arah dalam gempa bumi megathrust, dan tak selalu mengikuti pergerakan lempeng.
Para peneliti menggunakan data dari stasiun GPS resolusi tinggi untuk menganalisis pergerakan di sepanjang zona subduksi Cascadia—yang membentang dari Pulau Vancouver di Kanada hingga California utara—selama beberapa tahun. Meski gempa bumi berkekuatan kecil terjadi beberapa mil di bawah permukaan, tulis Science Alert, pergerakannya dapat memengaruhi waktu dan perilaku gempa bumi megathrust. Peristiwa yang lebih kecil ini terjadi setiap satu atau dua tahun, tetapi bisa memicu sesuatu yang jauh lebih serius.
Science Alert menulis, temuan riset ini bakal membantu menginformasikan model gempa bumi di masa mendatang. Lalu, bagaimana mengantisipasi gempa megathrust?
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, dilansir dari Antara, memastikan BMKG sudah menyiapkan sistem monitoring, prosesing, dan diseminasi informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami yang semakin cepat dan akurat seabgai langkah antisipasi dan mitigasi.
BMKG punya Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami di seluruh Indonesia. Termasuk memantau aktivitas gempa dan tsunami di megathrust Nankai, Jepang secara realtime.
BMKG pun terus memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, evakuasi kepada pemerintah daerah, instansi, masyarakat, serta pelaku usaha pariwisata pantai dan infrastruktur kritis pelabuhan yang dkemas dalam kegiatan sekolah lapang gempa bumi dan tsunami, BMKG goes to school, dan pembentukan masyarakat siaga tsunami.