close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi belanja hemat. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi belanja hemat. /Foto Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 20 Januari 2025 12:00

No Buy Challenge: "Kebahagiaan tak selalu berasal dari barang baru..."

Kampanye bertagar #NoBuyChallenge2025 kembali viral di media sosial Indonesia pada pengujung 2024.
swipe

Meskipun baru kembali viral beberapa bulan terakhir, Jeremy Kinanta mengaku sudah menjalani No Buy Challenge sejak setahun lalu. Tak hanya demi kesehatan finansial, Jeremy merasa No Buy Challenge turut mengubah persepsinya terhadap beragam aspek kehidupan sehari-hari, terutama terkait kebahagiaan dan keberlanjutan. 

“No Buy Challenge benar-benar mengubah cara saya memandang konsumsi. Awalnya, saya merasa hampir semua barang yang saya inginkan adalah kebutuhan. Tetapi, setelah menjalani tantangan ini, saya belajar membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Ini membantu saya mengurangi kebiasaan belanja impulsif,” ujar Jeremy saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (17/1).  

Kampanye bertagar #NoBuyChallenge2025 melanda media sosial di Indonesia pada pengujung 2024. Tagar itu viral berbarengan dengan rencana pemerintahan Prabowo-Gibran menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) mejadi 12%.

Secara sederhana, No Buy Challenge mengajak masyarakat untuk tidak mudah mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang yang tidak benar-benar dibutuhkan. Tak hanya kali ini, kampanye itu juga sempat viral di era pandemi Covid-19. 

Jeremy mengaku termotivasi menjalankan kampanye No Buy Challenge karena ingin mengendalikan keuangan. Namun, saat menjalani gaya hidup hemat itu, dia merasakan perspektifnya turut berubah. Salah satunya soal kepemilikan. 

"Saya merasa sering membeli barang hanya karena FOMO (fear of missing out) atau tekanan sosial. Setelah menjalani No Buy Challenge, saya sadar bahwa kebahagiaan enggak selalu berasal dari memiliki barang baru," ujar pria berusia 24 tahun itu. 

Sebagai bagian dari generasi Z, Jeremy mengaku menjalani No Buy Challenge tak mudah. Apalagi, budaya konsumsi sudah sangat melekat di generasi Z. Promosi barang-barang murah di media sosial membuat ia kerap tergoda. Ia juga kerap dianggap pelit oleh rekan-rekan sebaya lantaran tak mau keluar duit untuk barang diskon. 

"Awalnya itu cukup sulit. Tetapi, saya coba menjelaskan alasan di balik keputusan saya. Saya juga belajar untuk lebih percaya diri dengan gaya hidup yang saya pilih. Kalau mereka enggak setuju, ya enggak apa-apa. Yang penting, saya tahu ini baik buat saya. Selain itu, saya juga mulai mencari komunitas yang punya pola pikir serupa sehingga saya merasa lebih didukung dan enggak sendirian," tuturnya. 

No Buy Challenge, lanjut Jeremy, membuat dia menghargai hal-hal yang sudah ia miliki. Dan, itu bukan hanya soal kepemilikan barang atau benda fisik. "Saya jadi lebih menghargai hal-hal kecil, seperti waktu bersama keluarga, pengalaman baru, atau bahkan momen sederhana seperti membaca buku favorit saya," jelas dia

Menjalani No Buy Challenge juga memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Dengan membeli lebih sedikit, Jeremy merasa ikut membantu mengurangi limbah dan jejak karbon dari produksi barang baru. “Saya mulai mengadopsi prinsip re-use dan re-purpose, seperti memperbaiki barang lama daripada langsung membuangnya,” imbuh dia. 

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan tak mudah bagi seseorang untuk menjalani No Buy Challenge di era kiwari. Terlebih, kebutuhan manusia saat ini terus berkembang, tak terbatas pada kebutuhan pokok saja. 

"Terutama ketika ada kenaikan pendapatan yang biasanya diikuti oleh peningkatan permintaan terhadap produk dengan kualitas yang lebih baik. Oleh karena itu, No Buy Challenge sering kali sulit dijalankan dalam jangka panjang karena bertentangan dengan sifat alamiah manusia untuk terus mengonsumsi barang-barang yang diinginkan," ujar Huda kepada Alinea.id. 

Menjalankan No Buy Challenge, kata Huda, punya banyak dampak positif. Bagi individu, tantangan itu bisa memberikan kepuasan diri karena  mampu mengontrol konsumsi yang berlebihan di tengah tekanan sosial yang seolah terus-menerus mendorong masyarakat untuk belanja. 

"Dalam konteks keberlanjutan, No Buy Challenge dapat membantu mengurangi konsumsi berlebihan yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Namun, perlu diingat bahwa konsumsi tetap menjadi bagian penting dalam mendukung perekonomian global, termasuk penyerapan tenaga kerja dan ekspansi industri," jelas Huda. 

Huda mengusulkan strategi terbaik untuk menjalankan No Buy Challenge tanpa terbebani secara psikologis, yakni memprioritaskan konsumsi berdasarkan kebutuhan yang memang mendesak dan penting. Sederhananya, membeli barang yang diinginkan dan juga dibutuhkan. 

"Fokus pada pengendalian konsumsi barang-barang yang tidak menjadi prioritas jauh lebih masuk akal dibandingkan mencoba membagi konsumsi secara kaku, yakni antara keinginan dan kebutuhan," ujar Huda. 

img
Irene Anggraini
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan