Gen Z enggan terima panggilan telepon, telephobia?
Generasi Z—kelahiran 1997-2012—punya kecenderungan tak suka menerima panggilan telepon. Hal ini ditemukan dalam survei yang dilakukan perusahaan informasi dan telekomunikasi SOFTSU yang berbasis di Tokyo, Jepang. Survei itu dirilis pada November 2023 lalu.
Dikutip dari Japan Forward, survei yang dilakukan secara online pada Agustus 2023 terhadap 562 orang berusia 20-an mencakup pekerja kantoran, pegawai negeri, pekerja medis, dan pekerja paruh waktu di seluruh Jepang itu mengungkapkan, lebih dari 70% responden merasa tak percaya diri dalam menerima panggilan telepon.
Dibandingkan kelompok usia lainnya, persentase orang berusia 20-an sedikit lebih tinggi mengalami kecemasan soal apakah mereka punya pengetahuan yang cukup untuk menjawab pertanyaan penelepon dengan baik, yakni 41,4%. Kelompok usia ini juga menyatakan kecemasan mengenai apakah mereka dapat mentransfer panggilan telepon ke atasan mereka atau memberi tahu alasan mereka tentang panggilan tersebut secara efisien, yakni 27,3%.
Survei itu juga menemukan, individu berusia 20-an melaporkan 5,8 panggilan telepon, sedangkan mereka yang berusia 50-an melaporkan jumlah panggilan tertinggi, yakni 12,7 panggilan. Artinya, intensitas antargenerasi tersebut dalam menerima panggilan telepon sangat timpang.
Sebelumnya, survei serupa juga dilakukan di Australia. Dilansir dari CBS News, hasil survei menunjukkan, 90% gen Z merasa cemas saat berbicara di telepon dan beberapa orang mengatakan, panggilan telepon salah satu yang ingin mereka hindari dalam kehidupan.
Survei lainnya dilakukan Sky Mobile—dirilis pada Oktober 2023. Dalam survei itu, Sky Mobile menemukan, panggilan telepon dari orang tua sering diabaikan gen Z. Lebih dari separuh gen Z tak mau mengangkat telepon orang tuanya dan seperempatnya menolak semua panggilan telepon.
Dikutip dari Daily Mail, Sky Mobile melakukan survei terhadap 1.000 orang tua yang punya anak berusia 13-25 tahun dan 1.000 gen Z berusia 18-25 tahun.
“Remaja berusia 18 hingga 25 tahun mengatakan, mereka menganggap panggilan telepon sebagai peninggalan masa lalu, dengan 57% secara rutin menolak menjawab ketika orang tua mereka menelepon,” tulis Daily Mail.
“Lebih dari sepertiga (34%) menganggap panggilan telepon bikin canggung, dengan 32% mengatakan mereka jarang melakukan panggilan telepon dan seperlima merasa aneh ketika menerima panggilan telepon.”
Selain itu, 36% dari kelompok usia gen Z mengatakan, mereka hanya akan melakukan panggilan telepon untuk mencari lokasi teman-teman mereka saat keluar malam dan 19% hanya akan melakukannya dalam keadaan darurat. WhatsApp, SMS, dan Snapchat lebih dipilih oleh gen Z untuk berkomunikasi, dengan 24% mengatakan panggilan telepon adalah hal yang tidak boleh dilakukan.
Keengganan gen Z untuk menerima panggilan telepon, disimpulkan SOFTSU sebagai gejala semakin banyaknya anak muda yang mengalami telephobia. SOFTSU menyebut, kegelisahan menerima panggilan telepon mungkin berasal dari lebih sedikitnya kesempatan untuk terlibat dalam percakapan telepon karena banyaknya fitur obloran dan pesan di layanan jejaring sosial.
Psikolog sekaligus penulis buku Therapy in Focus: What to Expect from CBT for Social Anxiety Disorder, Arlin Cuncic dalam Verywell Mind menulis, telephobia adalah kecemasan atau rasa takut untuk menjawab panggilan telepon.
“Ini adalah ketakutan umum di antara mereka yang menderita gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder/SAD),” tulis Cuncic.
Telephobia, sebut Cuncic, ditandai dengan gejala menghindari menelepon atau meminta orang lain menelepon kita, lamban dalam menjawab panggilan telepon, terobsesi dengan apa yang diucapkan setelah panggilan telepon, stres karena menganggap mempermalukan diri sendiri, khawatir akan mengganggu orang lain, serta khawatir tentang apa yang akan dikatakan.
“Gejala fisik kecemasan telepon, antara lain peningkatan detak jantung, mual, gemetar, dan kesulitan berkonsentrasi,” tulis Cuncic.
Sedangkan mereka yang tak mengidap SAD, menurut Cuncic, mungkin hanya tak nyaman menggunakan telepon. “Mereka mungkin lebih nyaman dalam interaksi sosial langsung, barangkali karena tatap muka memungkinkan mereka membaca isyarat non-verbal, seperti ekspresi wajah,” tulis Cuncic.
News.com.au menyebut, sebagian besar pakar percaya, ketakutan terhadap panggilan telepon dikaitkan dengan kecemasan sosial, yang berasal dari ketakutan terhadap penilaian atau penghinaan.
Mengirim pesan pendek menggunakan aplikasi, seperti Snapchat, mencegah terjadinya kesalahan. “Mengirim pesan pendek memungkinkan gen Z mengoreksi kalimat dan melacak percakapan mereka,” tulis News.com.au.
Di samping itu, mengirim pesan pendek pun memberi mereka waktu untuk merespons dengan tepat, tanpa rasa canggung. “Ini menghilangkan kemungkinan dihakimi atau dipermalukan,” tulis News.com.au.
Mengirim pesan pendek juga lebih cepat. Hal ini memungkinkan gen Z dengan cepat mengirimkan pesan pendek dan pergi sambil menunggu respons.
“Mengirim pesan pendek memungkinkan Anda melakukan banyak tugas, sedangkan panggilan telepon berarti memfokuskan seluruh perhatian Anda pada percakapan,” tulis News.com.au.
Di sisi lain, CBS News menulis, dengan semakin ketinggalan zamannya telepon rumah dan generasi muda punya ponsel sendiri pada usia dini, para ahli mengatakan, gen Z tak mempelajari keterampilan bertelepon yang benar.
“Ternyata menggunakan telepon adalah sebuah keterampilan dan selama beberapa dekade, kita tak menyadarinya,” kata pakar telekomunikasi yang dijuluki The Phone Lady, Mary Jane Copps kepada CBS News.
Ia mengakui, kecemasan terhadap panggilan telepon meningkat. Selain itu, ada perubahan bisnis yang menyebabkan telepon kurang dipakai. Sementara itu, seorang influencer dari Irlandia, Erin Lally kepada NewsTalk mengatakan, ada kesenjangan generasi.
Ia menyebut, alasan gen Z tak terbiasa menerima panggilan telepon—termasuk dari orang tua mereka—lantaran pada masa gen Z dewasa, tak pernah ada sambungan telepon rumah.
“Orang-orang sadar pada keheningan yang canggung, tidak tahu bagaimana mengakhiri panggilan, dan khawatir mereka akan mengganggu siapa pun yang menelepon,” tutur Lally.
“Saya bisa mengerti mengapa orang-orang (gen Z) cemas mengenai hal ini.”