Gen Z yang rentan terhadap bunuh diri
Carol—bukan nama sebenarnya—tertarik dengan dunia penata artistik. Namun, perundungan yang dialami pada 2023 lalu, membuatnya merasa sulit berkembang di bidang periklanan. Politik kantor kerap menyudutkan perempuan berusia 23 tahun itu dalam posisi serba salah.
“Jika kerja saya bagus, itu dianggap karena kerja tim. Tapi begitu ada kerjaan salah atau tidak sesuai harapan, itu langsung dituduhkan salah saya,” kata alumnus salah satu universitas swasta di Jakarta Barat itu kepada Alinea.id, belum lama ini.
Perundungan yang selalu dialaminya, membuat Carol ingin berhenti bekerja. Dia mengaku depresi. Sebab, di sisi lain, dia harus menghidupi kedua orang tuanya yang sudah tak lagi bekerja.
“Orang tua saya enggak mau tahu kondisi saya di kantor. Bilangnya, nyari kerja itu susah, tapi saya terus-terusan capek batin. Kondisi ini saya alami selama setahun,” ucap Carol.
Lingkungan kerja yang tdak bersahabat, membuatnya kehilangan motivasi bekerja. Bahkan, saking terus menerus disalahkan, sempat terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri hidup.
“Tapi teman saya mengetahui kalau saya punya niat bahaya. Dia bawa saya menyingkir dari kerjaan. Saya lari (pergi) ke suatu tempat sunyi di Jawa Tengah. Setelah pulang dari sana, saya putuskan untuk berhenti bekerja dan mencari pekerjaan lain,” kata warga Poris, Tangerang, Banten itu.
Menurut Carol, kondisi mental yang buruk tidak sepantasnya dibiarkan berlarut, apalagi dipendam lama sendirian. Carol merasa beruntung bisa mencari lingkungan baru untuk menata karier.
“Kalau saya terus biarkan, mungkin saya beneran bunuh diri. Tapi sekarang saya fokus saja sama kerjaan baru jadi marketing perumahan. Sejauh ini, saya merasa lebih baik,” ucap Carol.
Angka bunuh diri pada gen Z tinggi
Bunuh diri pada anak muda alias generasi Z tak bisa disepelekan. Beberapa waktu belakangan, kerap terjadi. Misalnya, dugaan bunuh diri mahasiswi berinisial E, 18 tahun, yang melompat dari lantai 6B Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat pada Jumat (6/10).
Sebelumnya ada pula seorang mahasiswa berinisial VIS, yang nekat mengakhiri hidup dengan cara gantung diri di kamar indekosnya di Semarang, Jawa Tengah pada Kamis (3/10). Lalu, seorang mahasiswa berinisial RD nekat mengakhiri hidup dengan melompat dari sebuah lantai di gedung kampusnya di Universitas Kristen Petra, Surabaya, pada Selasa (1/10).
World Health Organization (WHO) mencatat, setiap tahun lebih dari 720.000 orang meninggal dunia karena bunuh diri. Bunuh diri, sebut WHO, adalah penyebab kematian ketiga terbesar pada kelompok usia 15-29 tahun.
Di Indonesia, sejak awal tahun hingga 19 Agustus 2024, Polri menangani kasus bunuh diri yang mencapai 849 kejadian. Pelaku bunuh diri, dari catatan Polri, paling banyak berusia 26 hingga 45 tahun, yakni 263 kasus. Jumlah pelaku bunuh diri berusia kurang dari 17 tahun, disebut Polri, lebih banyak daripada pelaku berusia 17 hingga 25 tahun.
Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, yang diterbitkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi penduduk yang punya pikiran ingin mengakhiri hidup tertinggi ada di usia 15-24 tahun, yakni 0,39%.
Psikolog klinis forensik, A. Kasandra Putranto mengatakan, ada banyak faktor yang membuat generasi Z rawan bunuh diri, di antaranya karena tingkat depresi yang tinggi, kecerdasan emosi yang rendah, dan kepribadian yang minim dukungan sosial.
“Menurut (psikolog Elizabeth Bergner) Hurlock, masa remaja sangat berat dan rentan akan depresi karena masa ini adalah fase penuh perubahan, baik anatomis, fisik, emosional, intelegensi, serta hubungan sosial,” ucap Kasandra kepada Alinea.id, Sabtu (5/10).
Faktor lainnya yang bisa memicu bunuh diri, kata Kasandra, yakni kehilangan seseorang yang dinilai dekat; mengalami kekerasan, baik verbal, emosional, fisik, dan seksual di masa lalu; kegagalan hubungan yang bermakna; isolasi sosial atau hidup di lingkungan yang jauh dari orang lain.
“Riwayat menyakiti diri sendiri, yang terekspos dengan percobaan bunuh diri yang dilakukan orang lain, perpisahan atau perceraian orang tua, penyalahgunaan narkoba dan minuman keras, tidak memiliki rumah, kegagalan di sekolah atau pekerjaan, penindasan, masalah hukum, masalah finansial,” kata Kasandra.
Merujuk data Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), Kasandra mengatakan, satu dari tiga remaja di Indonesia berusia 10-17 tahun memiliki gangguan mental. Hal itu setara dengan 15,5 juta remaja. Sedangkan satu dari 20 remaja, mengaku mereka merasa lebih sedih, kesepian, murung, dan sulit berkonsentrasi setelah pandemi Covid-19.
“Tapi hanya 2,6% dari remaja yang mengalami gangguan mental mencari bantuan profesional,” kata dia.
Selain itu, terpotret pula sebanyak 38,2% orang tua dengan anak yang memiliki gangguan mental, menggunakan bantuan dari sekolah. Dan, 43,8% dari orang tua yang menyadari anaknya membutuhkan bantuan profesional mengaku tetap ingin memecahkan masalah anak mereka sendiri bersama orang-orang terdekat.
“Hal ini menunjukkan, walaupun banyak remaja di Indonesia membutuhkan bantuan profesional mengenai masalah mental yang mereka alami, orang tua banyak yang masih ragu-ragu untuk memberikan bantuan kesehatan mental yang dibutuhkan,” ujar Kasandra.
Data Survei Kesehatan Indonesia menyebut, prevalensi depresi paling banyak terjadi pada orang-orang berusia 15-24 tahun, yakni 2,0%. Namun, hanya 10,4% orang berusia 15-24 tahun yang mengalami depresi pergi untuk berobat atau mendapatkan pelayanan kesehatan mental. Terendah di antara semua kelompok umur.
Pentingnya orang terdekat dan bantuan profesional
Kasandra menilai, orang yang rawan bunuh diri terkadang ragu mencari bantuan orang terdekat atau profesional karena masih ada stigma yang kuat. Selain itu, persoalan finansial juga menjadi alasan orang enggan melakukan konsultasi dengan profesional.
“Biaya untuk konsultasi tidak murah. Menurut data pada situs (asuransi) LifePal, pada 2023 ini biaya konsultasi ke psikolog di Jakarta sekitar Rp200.000 sampai Rp1,1 juta per jam,” ucap Kasandra.
“Untuk menyembuhkan masalah kesehatan mental akan memerlukan beberapa konsultasi, belum ditambah biaya obat dan psikiater, jika memang memiliki masalah kesehatan mental yang berat.”
Ditambahkan Kasandra, merujuk American Psychiatric Association, terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi tanda bagi seseorang untuk mendapatkan bantuan psikologis dari profesional, yakni jika ada perubahan dalam kegiatan sehari-hari yang signifikan.
Misalnya, perubahan dalam kualitas tidur, nafsu makan, performa di sekolah atau tempat kerja, perubahan suasana hati yang drastis, kehilangan motivasi terhadap hobi, gugup berlebihan, menjauh dari lingkungan sosial, kehilangan keinginan terlihat kegiatan tertentu, menjadi lebih sensitif terhadap suara atau bau tertentu, serta mengalami kesulitan dalam berpikir.
Kasandra menuturkan, stres dan depresi yang terjadi pada remaja, sehingga rawan bunuh diri perlu dideteksi secara dini dengan cek psikologis. Penting pula bagi anak muda punya dukungan sosial yang kuat.
“Anak dan remaja perlu belajar mengelola stres dengan cara yang sehat. Mereka dapat mencoba teknik relaksasi, seperti meditasi, yoga, atau olahraga. Menjaga pola tidur yang baik, mengatur waktu dengan baik, dan menghindari kebiasaan yang merugikan, seperti konsumsi alkohol atau obat-obatan,” kata Kasandra.
Di samping itu, anak muda juga perlu mempelajari mekanisme penanganan yang positif untuk keseimbangan emosi saat menghadapi tekanan atau kondisi yang kurang menyenangkan, seperti pergi ke alam terbuka. Lalu, memastikan kesehatan fisik.
“Anak dan remaja perlu menjaga keseimbangan antara pekerjaan, sekolah, dan waktu luang. Mereka perlu mengatur waktu untuk beristirahat, bersosialisasi, dan melakukan aktivitas yang mereka sukai,” tutur Kasandra.
Orang terdekat, ujar Kasandra, bisa pula memberikan kepedulian kepada seseorang yang menunjukkan tanda-tanda bunuh diri, seperti mendengarkan ceritanya secara aktif, tidak menghakimi, dan memberi apresiasi.
Tak kalah penting, menurutnya, masyarakat atau komunitas mesti peka terhadap adanya tanda-tanda percobaan bunuh diri. Misalnya, ketika seseorang merasa putus asa dan tidak berguna, terkurung, menjauh dari keluarga dan lingkungan, cemas dan tak dapat tidur, dan tak punya gairah hidup.
"Berbicara mengenai kematian atau bunuh diri dan mencari cara-cara untuk melakukan bunuh diri," ucap Kasandra.
Kasandra mengingatkan agar masyarakat atau komunitas terlibat aktif mencegah seseorang mengakhiri hidup. “Remaja dan orang tua perlu diberi pemahaman yang jelas tentang pentingnya menjaga kesehatan mental,” ujar Kasandra.
“Mereka perlu menyadari, curhat ke profesional, seperti psikolog atau konselor, adalah langkah positif untuk membantu mengatasi masalah yang mereka hadapi.”
---
Peringatan: Artikel ini tidak ditujukan untuk melakukan hal serupa. Jika Anda, teman, atau keluarga Anda memiliki gejala depresi dengan kecenderungan pemikiran untuk bunuh diri, segera berkonsultasi dengan profesional, seperti psikolog, psikiater, atau klinik kesehatan mental.