Generasi milenial mudah alami gangguan mental
Gangguan mental bisa berawal dari stres yang terabaikan. Mengingat mencegah lebih baik dari pada mengobati maka kita perlu peduli pada kesehatan jiwa kita dan keluarga. Jika anda pernah mendengar keluhan anggota keluarga, seperti kurang tidur, banyak pikiran, dan stres. Mulai perhatikan apa masalahnya, bagaimana kualitas hidup mereka, dan apakah bisa ditangani segera karena stres bisa dialami siapa saja.
Menginformasikan bahwa anggota keluarga, orang terdekat atau diri sendiri sedang mengalami gangguan mental kepada ahlinya, masih dianggap tabu dan aib dalam masyarakat Indonesia, karena seringkali kita khawatir dan malu jika aib keluarga diketahui orang lain dan dirasa dapat merusak nama baik keluarga.
Selain itu, ada rasa takut akan dijauhi dan dikucilkan, bisa jadi akan menjadi bahan bully orang sekitar bahkan disebut gila. Padahal, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Terkait masalah gangguan mental, isu ini menjadi begitu populer beberapa minggu belakangan ini karena film "Joker". Tetapi, jauh sebelum populernya isu gangguan mental dari film "Joker", kisah Arthur Fleck seorang komedian gagal yang diperankan oleh aktor ternama Hollywood Joaquin Phoenix, beberapa tahun silam, artis Marshanda telah menyatakan bahwa dirinya mengidap gangguan mental bipolar disorder.
Mengakui diri mengidap gangguan mental tentulah bukan hal yang mudah. Marshanda perlu waktu untuk menerima kondisi dirinya yang berbeda. Apalagi, saat itu kebanyakan masyarakat Indonesia menanggapinya dengan tidak positif. Banyak yang beranggapan sosok seperti Marshanda itu "tidak waras."
Di luar kisah Marshanda, akan banyak kita temukan orang dengan gangguan mental yang tidak menyadari kondisinya, malu mengakui hingga akhirnya justru terabaikan dalam hiruk pikuk kesibukan masyarakat.
Stigma buruk dan penerimaan palsu pada pribadi yang mengalami gangguan mental membuat mereka dan keluarga menjadi tertutup, tidak percaya diri, menganggap diri lemah, tidak berharga, dan tidak berani berkonsultasi ke psikolog. Istilahnya, malu nanti disangka gila. Padahal, jika didiamkan justru akan berbahaya bagi kesehatan pasien. Pasalnya, gangguan mental tidak dapat hilang dengan sendirinya. Apalagi, mendeteksi gejalanya tidaklah mudah, tidak selalu dapat dilihat secara kasat mata. Bayangkan jika penderitanya terlambat ditangani bisa jadi jumlah penderita gangguan mental akan semakin bertambah.
Milenial rentan terkena gangguan mental
Data WHO menyebutkan setengah dari penyakit mental bermula sejak remaja, yakni di usia 14 tahun dengan banyak kasus yang tidak tertangani sejak dini. Bunuh diri akibat depresi juga menjadi penyebab kematian tertinggi pada anak muda usia 15-29 tahun. Ini berarti, milenial sangat berisiko mengalami gangguan mental. Padahal usia milenial adalah saat seseorang ingin dan berkesempatan untuk menunjukkan eksistensi diri dan awal menentukan arah masa depan.
Di sisi lain, pada usia milenial juga terjadi perubahan fisik, emosional, psikologis, finansial, dan lingkungan pergaulan. Perubahan ini adalah waktu transisi bagi mereka untuk menjadi pribadi yang matang tetapi jika terjadi gangguan dan tidak siap maka dapat menggangu mental mereka. Misalnya saja, saat harus lulus dari sekolah dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi tetapi dihadapkan pada kesulitan finansial, tidak mampu menghadapi persaingan saat mencari pekerjaan, tidak mampu se-eksis teman sebayanya, dan masih banyak masalah lain yang dapat membuat jiwa milenial terguncang kemudian menutup diri.
Untuk itu, pendampingan, perhatian, dan dorongan positif dari orang tua, keluarga, dan orang-orang terdekat sangat penting bagi remaja untuk membantu mereka menyiapkan masa depannya.
Tidak mampu beradaptasi pada kemajuan teknologi dan media sosial
Perubahan lingkungan ikut memicu generasi milenial rentan pada gangguan mental. Salah satunya, adanya kemajuan teknologi yang menuntut kemampuan beradaptasi dari penggunanya tetapi sayangnya kebanyakan dari milenial tidak mampu memanfaatkan dengan baik seperti, mudah mendapatkan informasi tapi tidak mau melakukan verifikasi, menggunakan aplikasi yang tidak sesuai umur, mudahnya berkomunikasi dengan siapa saja secara privat, bisa berbagi foto, video, dan content yang dapat dijadikan materi untuk menjatuhkan seseorang.
Kehadiran media sosial sebenarnya untuk memudahkan koneksi sosial tetapi kenyatannya media sosial dan media mainstream sering menampilkan dunia fatamorgana yang penuh kebahagiaan dan kemewahan yang nampak abadi terbingkai rapi dalam feed Instagram, WhatsApp story, atau media sosial lainnya. Make up, dan filter berhasil membuat penampilan jauh lebih menarik. Artinya, banyak hal yang tidak realistis dan semu dalam social media demi membangun image, keperluan eksistensi sosial atau kepentingan bisnis.
Intensitas menggunakan media sosial berlebihan dapat mengakibatkan ketergantungan dan membuat sebagian milenial tidak percaya diri, membandingkan dirinya dengan orang lain yang mereka lihat di media sosial, cemas, menjadi pribadi yang manipulatif agar terlihat sempurna hingga menjadi depresi.
Konsep perfeksionisme dalam diri milenial
Persoalan mental milenial tidak hanya soal keliru dan salah menggunakan teknologi dan media sosial. Ada juga konsep perfeksionisme yang sangat dekat dengan lingkungan milenial, yaitu ekspektasi tinggi terhadap dirinya dan pada berbagai hal di sekitarnya. Sebut saja, ingin tampil sempurna, ingin terlihat bersinar dalam lingkungan pergaulannya, malu jika kondisi ekonomi keluarga tidak seperti lingkungan pergaulannya.
Seseorang yang perfeksionis biasanya akan berjuang keras untuk meraih kesempurnaan dan bisa bereaksi negatif terhadap kesalahan kecil. Mereka bisa mengkritik diri sendiri secara keras jika gagal melakukan sesuatu hal. Bisa jadi juga mereka akan mudah menyalahkan sekitar jika ia menganggap tidak mendukung rencananya atau jika sekitarnya melakukan kesalahan. Hasil yang tidak sempurna bisa membuat mereka tidak puas, marah, mengomel, menggerutu, dan berteriak.
Menuntut diri sendiri dan lingkungan untuk sempurna serta tidak siap menerima kekurangan maupun kesalahan membuat mereka menjadi pribadi yang tidak mampu untuk mengontrol emosi dan menjaga perasaan orang lain. Pada akhirnya, ketika dijauhi oleh sekitarnya ia pun sulit menerima kenyataan bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri.
Penyebab perfeksionisme sangat kompleks dan semakin meningkat akibat gaya hidup masyarakat modern yang memperhitungkan peringkat dan kinerja. Milenial dituntut dapat kompetitif dan menghasilkan kesempurnaan. Persoalan perfeksionisme dalam masyarakat modern merupakan masalah serius. Tidak menutup kemungkinan perfeksionisme dapat menyebabkan gangguan mental, seperti kecemasan, stress, depresi, gangguan makan, dan bahkan bunuh diri.
Peduli kesehatan mental dan asuransi
Segala aspek dalam kehidupan tentunya turut berperan untuk menciptakan sistem pendukung (support system) bagi penderita gangguan mental. Masyarakat harus menyadari dan berhenti menganggap orang dengan gangguan mental sebagai sosok yang aneh, hina, dan asing. Semua penderita tentunya sedang berjuang untuk menerima dirinya dan ingin sembuh. Ini membutuhkan banyak dukungan yang kuat.
Apakah Anda ingin mendukung mereka? Banyak hal yang dapat kita dilakukan pada milenial yang mengalami gangguan mental. Misalnya saja, menanyakan kabar, menjadi pendengar, menjadi teman cerita tanpa mendikte atau menggurui sampai mereka merasa nyaman dan aman untuk jujur atas kondisi yang mereka rasakan, tidak mendebat atau menghakimi opini mereka walaupun sanggahan mereka belum tentu benar, gunakan kata yang positif ketimbang berkata nyinyir.
Jangan terlalu banyak berkomentar pada reaksi mereka ketika Anda mencoba menasehati karena bisa jadi perkataan atau opini kita malah membuat mereka semakin merasa terkucilkan. Biarkan juga mereka menangis bila memang dibutuhkan karena menangis bukan isyarat bahwa seseorang tidak kuat melainkan cara tubuh mengurangi rasa sedih dan melampiaskan stres dari beban fisik, mental, dan emosional.
Namun, jika gangguan mental terjadi secara terus menerus, seperti sulit tertidur, sering marah walau pada hal sepele, merasa sedih terus menerus, dan merasa bahwa diri sendiri dan lingkungannya sudah tidak bisa mengatasinya, serta terjadi perubahan fisik, seperti berat badan naik atau turun drastis maka sebaiknya keluarga memperhatikan perubahan tersebut dan memeriksakan pada psikolog.
Sayangnya, kesadaraan masyarakat untuk mengobati gangguan mental sejak dini masih rendah, masih banyak yang merasa malu untuk memeriksakan diri ke psikolog, belum lagi biaya konsultasi ke psikolog di Indonesia cukup tinggi dengan rata-rata biaya konsultasi ke psikolog berkisar Rp250-Rp750 ribu untuk durasi 1 jam konsultasi.
Branding and Communication Strategist MiPOWER by Sequis Ivan Christian Winatha mengatakan Sequis menyadari biaya konsultasi ke psikolog termasuk sangat tinggi sehingga, Sequis menghadirkan produk MiProtection yang menanggung biaya kesehatan untuk konsultasi kesehatan mental ke psikolog.
"Bayangkan dengan penghasilan yang tidak seberapa tetapi mereka harus menyiapkan sekian dana untuk mengobati gangguan mental. Belum lagi jika berdampak pada kesehatan. Bukannya menyembuhkan, malah membuat mereka semakin stres karena harus menyediakan sejumlah dana. Cara yang paling cepat biasanya membayar dengan menggunakan kartu kredit, tetapi ujungnya hanya menambah utang. Oleh sebab itu, kami ingin mengedukasi milenial untuk berasuransi sebagai bentuk pencegahan dari risiko kehidupan yang dapat terjadi pada mereka di era kompetitif saat ini," ujar Ivan dalam keterangan tertulisnya.