close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gerakan tanpa sedotan marak digaungkan restoran waralaba. /Pixabay.com
icon caption
Gerakan tanpa sedotan marak digaungkan restoran waralaba. /Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 30 Januari 2019 14:12

Gerakan tanpa sedotan dan usaha selamatkan lingkungan

Sampah sedotan plastik termasuk ke dalam lima jenis sampah plastik yang paling banyak ditemukan.
swipe

April tahun lalu, World Bank mengeluarkan laporan, Indonesia ada di peringkat kedua sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia, setelah China. Pada 2010, Indonesia punya populasi pesisir 187,2 juta yang tinggal dalam jarak 50 kilometer dari pesisir, setiap tahun menghasilkan 3,2 juta ton sampah.

Sampah-sampah itu tak dikelola dengan baik, sehingga diperkirakan mengakibatkan kebocoran 0,48 hingga 1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan.

Sampah plastik selalu menjadi persoalan yang pelik. Sampah sedotan plastik termasuk ke dalam lima jenis sampah plastik yang paling banyak ditemukan.

Pada 2018, organisasi Divers Clean Action (DCA) menyebut, sampah sedotan plastik di Indonesia bisa mencapai 93,2 juta per hari. Meski hanya punya panjang sekitar 10 cm, perlu 500 tahun supaya sampah sedotan plastik bisa terurai secara alami.

Untuk mengurangi sampah sedotan plastik sekali pakai, pada 2017 DCA bekerja sama dengan restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC) berkomitmen mengurangi sampah sedotan plastik.

Tagar #Nostrawmovement kemudian digaungkan menjadi gerakan nasional, berbarengan dengan peringatan Hari Terumbu Karang 2018, yang jatuh tiap 8 Mei.

Sejak November 2018, di 630 gerai KFC seluruh Indonesia sudah tak lagi ditemukan dispenser sedotan plastik. Lantas, gerakan ini diikuti restoran cepat saji lainnya yang berbasis di Amerika Serikat.

McDonald’s (McD) Indonesia, pada November 2018 lalu, sudah mencanangkan pula gerakan tanpa sedotan plastik di gerai-gerai mereka. Gerakan #Mulaitanpasedotan digaungkan mereka.

Pada November 2018, sudah 189 gerai McD seluruh Indonesia yang tak lagi menyediakan dispenser sedotan plastik. Gerai kopi asal Amerika Serikat Starbucks pun sudah mengumumkan di media sosial resmi mereka, tak akan lagi menggunakan sedotan plastik di 28.000 gerainya mulai 2020.

Gerakan tanpa aksi?

Meski demikian, sedotan plastik tak sepenuhnya hilang di restoran KFC maupun McD. Konsumen kedua restoran cepat saji tersebut masih diberikan sedotan plastik, bila memintanya kepada kasir, atau saat konsumen memesan minuman yang menggunakan float atau krim.

Kemasan atau wadah makanan pun masih menggunakan bahan plastik. Misalnya, wadah saus, wadah es krim, sendok, tutup minuman, hingga kantong untuk dibungkus pulang.

Salah seorang konsumen KFC Irwan mengatakan, bila gerakan tanpa sedotan itu konsisten direalisasi, sangat bagus.

“Tapi kalau akhirnya penggunaannya juga masih sama, masih menggunakan sedotan dan bahan plastik, akhirnya ya hanya slogan saja enggak ada action-nya,” kata Irwan saat ditemui di KFC Bulungan, Jakarta Selatan, Selasa (29/1).

Irwan mengaku baru mendengar gerakan tanpa sedotan yang dikampanyekan KFC Indonesia, meski dirinya sudah tak asing mengetahui kampanye lingkungan global, seperti yang dilakukan Greenpeace.

Lebih lanjut, Irwan mengatakan, perihal penerapan minum tanpa sedotan, setiap orang harus mengubah cara minumnya agar terbiasa. Dan, ini membutuhkan proses.

Konsumen KFC Bulungan lainnya, Faisal mengatakan, sedotan sudah menjadi kebutuhan. Dia bercermin dari profesinya sebagai karyawan di salah satu kedai kopi di Jakarta. Menurut dia, penerapan gerakan tanpa sedotan hanya bisa berlaku untuk minuman tertentu.

Menurut dia, untuk minuman menggunakan krim, konsumen tak mungkin meminum tanpa sedotan. Kata Faisal, bila kemudian pihak restoran mengganti dengan sedotan berbahan lain, akan mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Dan, bisa jadi tak semua konsumen menerimanya.

Gerai Starbucks berencana meniadakan sedotan plastik pada 2020 mendatang. (instagram.com/pandulaut.id).

“Jadi, kalau saya pikir ya (sedotan) stainless itu kayak customer yang bawa. Nah, kalau customer-nya enggak bawa gimana? Oke kita sediakan, tapi kan harus keluar budget lagi, dan itu enggak solutif buat semua kalangan,” ujarnya.

Faisal menambahkan, masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa kelas sosial. Melihat hal itu, menurutnya, bila yang memesan berasal dari kalangan atas, dan tak diberikan sedotan, pelanggan tersebut bisa saja komplain.

Nah, kalau komplain gitu yang kena siapa? Kan kita juga yang kena,” katanya.

Lebih lanjut, Faisal menuturkan, harus ada solusi dari setiap tindakan yang diambil berbagai pihak dalam kampanye untuk mengurangi penggunaan sedotan plastik. Bukan sekadar kampanye. Tujuannya, supaya tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara pebisnis dan konsumen.

Sementara itu, menurut salah seorang pelanggan restoran McDonald’s Rina, gerakan pengurangan penggunaan sedotan plastik punya kontribusi baik bagi lingkungan. Meski McDonald’s, kata dia, masih menggunakan bahan plastik untuk beberapa wadah makanannya.

“Tapi dengan meniadakan dispenser sedotan bagi pelanggan, setidaknya itu menjadi satu gerakan kecil yang bagus,” katanya ketika ditemui di restoran McDonald's, Jalan Fatmawati, Jakarta selatan, Selasa (29/1).

Menurut Rina, orang harus diingatkan secara terus menerus akan bahaya penggunaan bahan plastik, agar terbiasa tak menggunakan bahan plastik. Bagi dia, hal itu perlu proses yang panjang.

April tahun lalu, World Bank mengeluarkan laporan, Indonesia ada di peringkat kedua sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia, setelah China. Pada 2010, Indonesia punya populasi pesisir 187,2 juta yang tinggal dalam jarak 50 kilometer dari pesisir, setiap tahun menghasilkan 3,2 juta ton sampah.

Sampah-sampah itu tak dikelola dengan baik, sehingga diperkirakan mengakibatkan kebocoran 0,48 hingga 1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan.

Sampah plastik selalu menjadi persoalan yang pelik. Sampah sedotan plastik termasuk ke dalam lima jenis sampah plastik yang paling banyak ditemukan.

Pada 2018, organisasi Divers Clean Action (DCA) menyebut, sampah sedotan plastik di Indonesia bisa mencapai 93,2 juta per hari. Meski hanya punya panjang sekitar 10 cm, perlu 500 tahun supaya sampah sedotan plastik bisa terurai secara alami.

Untuk mengurangi sampah sedotan plastik sekali pakai, pada 2017 DCA bekerja sama dengan restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC) berkomitmen mengurangi sampah sedotan plastik.

Tagar #Nostrawmovement kemudian digaungkan menjadi gerakan nasional, berbarengan dengan peringatan Hari Terumbu Karang 2018, yang jatuh tiap 8 Mei.

Sejak November 2018, di 630 gerai KFC seluruh Indonesia sudah tak lagi ditemukan dispenser sedotan plastik. Lantas, gerakan ini diikuti restoran cepat saji lainnya yang berbasis di Amerika Serikat.

McDonald’s (McD) Indonesia, pada November 2018 lalu, sudah mencanangkan pula gerakan tanpa sedotan plastik di gerai-gerai mereka. Gerakan #Mulaitanpasedotan digaungkan mereka.

Pada November 2018, sudah 189 gerai McD seluruh Indonesia yang tak lagi menyediakan dispenser sedotan plastik. Gerai kopi asal Amerika Serikat Starbucks pun sudah mengumumkan di media sosial resmi mereka, tak akan lagi menggunakan sedotan plastik di 28.000 gerainya mulai 2020.

Gerakan tanpa aksi?

Meski demikian, sedotan plastik tak sepenuhnya hilang di restoran KFC maupun McD. Konsumen kedua restoran cepat saji tersebut masih diberikan sedotan plastik, bila memintanya kepada kasir, atau saat konsumen memesan minuman yang menggunakan float atau krim.

Kemasan atau wadah makanan pun masih menggunakan bahan plastik. Misalnya, wadah saus, wadah es krim, sendok, tutup minuman, hingga kantong untuk dibungkus pulang.

Salah seorang konsumen KFC Irwan mengatakan, bila gerakan tanpa sedotan itu konsisten direalisasi, sangat bagus.

“Tapi kalau akhirnya penggunaannya juga masih sama, masih menggunakan sedotan dan bahan plastik, akhirnya ya hanya slogan saja enggak ada action-nya,” kata Irwan saat ditemui di KFC Bulungan, Jakarta Selatan, Selasa (29/1).

Irwan mengaku baru mendengar gerakan tanpa sedotan yang dikampanyekan KFC Indonesia, meski dirinya sudah tak asing mengetahui kampanye lingkungan global, seperti yang dilakukan Greenpeace.

Lebih lanjut, Irwan mengatakan, perihal penerapan minum tanpa sedotan, setiap orang harus mengubah cara minumnya agar terbiasa. Dan, ini membutuhkan proses.

Konsumen KFC Bulungan lainnya, Faisal mengatakan, sedotan sudah menjadi kebutuhan. Dia bercermin dari profesinya sebagai karyawan di salah satu kedai kopi di Jakarta. Menurut dia, penerapan gerakan tanpa sedotan hanya bisa berlaku untuk minuman tertentu.

Menurut dia, untuk minuman menggunakan krim, konsumen tak mungkin meminum tanpa sedotan. Kata Faisal, bila kemudian pihak restoran mengganti dengan sedotan berbahan lain, akan mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Dan, bisa jadi tak semua konsumen menerimanya.

Gerai Starbucks berencana meniadakan sedotan plastik pada 2020 mendatang. (instagram.com/pandulaut.id).

“Jadi, kalau saya pikir ya (sedotan) stainless itu kayak customer yang bawa. Nah, kalau customer-nya enggak bawa gimana? Oke kita sediakan, tapi kan harus keluar budget lagi, dan itu enggak solutif buat semua kalangan,” ujarnya.

Faisal menambahkan, masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa kelas sosial. Melihat hal itu, menurutnya, bila yang memesan berasal dari kalangan atas, dan tak diberikan sedotan, pelanggan tersebut bisa saja komplain.

Nah, kalau komplain gitu yang kena siapa? Kan kita juga yang kena,” katanya.

Lebih lanjut, Faisal menuturkan, harus ada solusi dari setiap tindakan yang diambil berbagai pihak dalam kampanye untuk mengurangi penggunaan sedotan plastik. Bukan sekadar kampanye. Tujuannya, supaya tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara pebisnis dan konsumen.

Sementara itu, menurut salah seorang pelanggan restoran McDonald’s Rina, gerakan pengurangan penggunaan sedotan plastik punya kontribusi baik bagi lingkungan. Meski McDonald’s, kata dia, masih menggunakan bahan plastik untuk beberapa wadah makanannya.

“Tapi dengan meniadakan dispenser sedotan bagi pelanggan, setidaknya itu menjadi satu gerakan kecil yang bagus,” katanya ketika ditemui di restoran McDonald's, Jalan Fatmawati, Jakarta selatan, Selasa (29/1).

Menurut Rina, orang harus diingatkan secara terus menerus akan bahaya penggunaan bahan plastik, agar terbiasa tak menggunakan bahan plastik. Bagi dia, hal itu perlu proses yang panjang.

Selamatkan lingkungan

Manajer Kampanye Perkotaan, Tambang, dan Energi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung menyambut baik gerakan yang dilakukan dua restoran waralaba raksasa itu. Dwi menilai, penggunaan sedotan plastik tak terlalu krusial bagi siapapun, karena tanpa sedotan pun orang masih bisa minum.

Namun, menurut Dwi, efek yang ditimbulkan dari gerakan tanpa sedotan untuk mengurangi menumpuknya sampah plastik memang minim. Akan tetapi, untuk membangun kesadaran mengurangi penggunaan bahan plastik, gerakan itu menimbulkan efek besar.

“Sekarang sudah umum anak-anak muda membawa sedotan, botol minuman, hingga kantung belanja sendiri,” katanya ketika dihubungi, Senin (28/1).

Dia mengaku, saat ini pengelolaan sampah plastik di Indonesia sangat minim. Hanya mengandalkan sektor informal, yakni pemulung-pelapak, tak ada manajemen pengeloaan sampah yang baik. Untuk itu, bagi Dwi, gerakan tanpa sedotan menjadi penting.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi (tengah) didampingi Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) AM Fachir (ketujuh kiri) dan staf merayakan hari kerja pertama di tahun 2019 dengan berfoto bersama seraya mengangkat botol tempat minum di halaman Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (2/1). (Antara Foto).

Gerakan tanpa sedotan juga diapresiasi Koordinator SEASOLDIERS cabang Surabaya Agnesia Walandouw. “Setidaknya, mereka sudah lebih peduli dan membantu untuk menyelamatkan lingkungan,” kata Agnesia saat dihubungi, Selasa (29/1).

Agnesia mengatakan, di Surabaya pun sudah banyak restoran yang juga tak lagi menyediakan sedotan plastik bagi konsumennya. Dia melanjutkan, di sejumlah tempat bahkan ada restoran yang mengganti sedotan plastik dengan sedotan berbahan bambu dan stainless.

Bahaya sampah sedotan plastik, kata Agnesia, mengancam hewan laut. Hewan-hewan itu mati lantaran memakan sampah sedotan plastik.

“Sedotan plastik merupakan salah satu masalah terbesar dalam dunia persampahan,” kata aktivis yang konsisten dalam usaha penyelamatan ekosistem laut ini.

Agnesia menambahkan, setiap orang mesti berani mengatakan tidak atau menolak sedotan plastik saat di restoran, kafe, atau di manapun ketika memesan minuman. Sama halnya, kata dia, ketika kita berani menolak penggunaan kantong plastik saat berbelanja dan menggantinya dengan kantong yang bisa dipakai berulang kali.

Sejumlah restoran mengumandangkan gerakan tanpa sedotan.

Dia pun menyoroti sudah banyaknya lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pemerintah kota yang sadar pada pengelolaan sampah plastik.

Hanya saja, menurut Agnesia, yang harus diperhatikan betul ke depannya bukan soal bagaimana mengelola sampah plastik, tapi bagaimana mengurangi penggunaannya. Caranya, menurut dia, dengan reduce, reuse, dan recycle. Semisal, mengganti penggunaan botol plastik dengan reusable bottle. 

Perihal gerakan tanpa sedotan dan masih digunakannya wadah berbahan plastik di gerai KFC Indonesia, reporter Alinea.id juga mencoba menghubungi General Manager Marketing PT Fast Food Indonesia Tbk., sebagai pemegang hak waralaba tunggal KFC Indonesia. Namun, tak ada konfirmasi lebih lanjut dari mereka.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan