Chandra Dewi masih kesal mengingat-ingat mantan pacarnya, hubungan mereka pascaputus tidak berjalan baik. Tahun lalu, pacarnya tiba-tiba menghilang begitu saja dari kehidupannya. “Waktu itu aku sudah ngerasa nyaman sama dia, tiba-tiba dia ngilang, enggak pernah kontak-kontakin aku lagi,” ceritanya.
Dewasa ini, saat perkembangan teknologi komunikasi memberikan kesempatan untuk saling terhubung, tapi itu juga membuat pelaku ghosting dengan mudahnya menyetop komunikasi. Satu setengah bulan setelah itu, Chandra mengambil keputusan, mereka harus bertemu.
“Aku ajak dia bertemu dan memutuskan hubungan kita berakhir saja,” ujarnya. Beberapa minggu setelah mereka putus, Chandra mengetahui mantan pacarnya akan menikah dengan orang lain dalam waktu dekat.
“Cara dia ingin putus dengan ngilang gitu menurutku pengecut sih ya,” katanya. Perlakuan ghosting yang diterima Chandra dari pacarnya membuat dirinya merasa tak dihargai dan dipermainkan. Ghosting terjadi ketika dua orang yang menjalin hubungan dan telah bertemu beberapa kali, salah satunya menghilang begitu saja seperti hantu.
Ghosting seperti yang dilakukan mantan Chandra bukanlah hal baru. Sejak lama orang-orang menghilang dari sebuah hubungan. Di masa kiwari, dilansir dari laman Psychology Today, hampir 50% perempuan dan laki-laki yang menjalin hubungan, pernah mengalami ghosting. Walaupun fenomena ghosting terlihat umum, efeknya bisa sangat menghancurkan dan membahayakan orang-orang yang memiliki kepercayaan diri rendah.
Seperti yang dilansir dari Psychology Today, korban ghosting bakal merasa tidak dihargai, dipermainkan, dan bisa dengan mudah digantikan. Apalagi jika kasusnya seperti Chandra yang telah menjalin hubungan cukup lama, ghosting bisa membuat trauma. Ketika mantannya yang sudah ia percayai melepaskan diri darinya, Chandra merasa sangat dikhianati.
Penolakan sosial seperti yang terjadi dalam fenomena ghosting menurut Jennice Vilhauer, direktur program psikoterapi di Emory Healthcare, bisa mengaktifkan saraf sakit yang sama di otak ketika tubuh merasakan sakit fisik.
Ilustrasi kesendirian./ Pixabay
Ghosting, lanjut Jennice, tidak memberikan petunjuk pada si korban bagaimana harus bereaksi. Ghosting memunculkan ambiguitas yang sangat pelik. “Kamu tidak akan tahu harus berbuat apa, karena kamu tidak benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi,” kata Jennice.
Salah satu aspek yang menyebalkan dari ghosting, kata Jennice, adalah tidak hanya akan membuat si korban bertanya-tanya tentang kebenaran hubungan mereka, tetapi, juga membuat ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
“Pertanyaan seperti kenapa aku tidak melihat hal ini akan terjadi? Bagaimana bisa aku gagal menilai orang? Apa yang telah aku lakukan sehingga hal ini terjadi? Akan terus ditanyakan oleh korban pada dirinya sendiri setelah ghosting terjadi,” ucapnya lagi.
Para terapis kesehatan mental profesional melihat perlakuan diam dalam ghosting sebagai bentuk kekejaman emosional. Ghosting membuat korbannya tak berdaya dan meninggalkan korbannya tanpa kesempatan untuk bertanya-tanya atau memberikan informasi, yang akan membantu korban memproses pengalaman tersebut.
“Ghosting akan membuatmu terdiam dan mencegahmu untuk mengekspresikan emosi serta didengarkan, padahal kedua hal itu penting bagi penghargaan dirimu,” katanya.
Untuk orang-orang yang telah mengalami ghosting berulang kali, atau memiliki penghargaan diri yang rendah, pengalaman atas penolakan bisa jadi sangat menyakitkan dan akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sembuh dari hal tersebut.
“Karena orang yang memiliki penghargaan diri rendah memiliki sedikit opioid (penahan sakit) alami yang dikeluarkan saat mengalami penolakan, dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi,” jelas Jennice.
Apapun alasan pelaku melakukan ghosting, Jennice melihat ghosting sebagai taktik pasif-agresif yang bisa meninggalkan luka dan lebam psikologis. Ghosting adalah cara yang paling tidak ideal untuk mengakhiri sebuah hubungan.
Orang yang melakukan ghosting menunjukkan mereka tidak memiliki keberanian untuk menghadapi perasaan tak nyaman dari emosi mereka atau korbannya. “Mereka juga tidak mengerti dampak dari perbuatan mereka, atau yang paling buruk, mereka memang tidak peduli,” jelas Jennice.