Di bioskop yang tak terisi penuh, suara berisik audio bioskop lebih terdengar dibandingkan tawa penonton. Mengandalkan premis sosok alien yang mencari kedamaian di Jakarta, film Gila Lu Ndro! garapan Herwin Novianto, tampaknya tak berhasil memancing tawa penonton bioskop yang saya datangi.
Film bergenre komedi ini merupakan bagian dari spin-off Warkop DKI Reborn. Di film ini, Indro Warkop dan Tora Sudiro berperan sebagai tokoh utama. Film dimulai ketika Indro (Tora Sudiro) dimarahi istrinya (Mieke Amalia), karena pulang ke rumah larut malam.
Indro lantas menceritakan alasannya pulang terlambat, karena bertemu dengan Alien (Indro Warkop) yang turun ke Bumi. Alien tersebut, dari cerita Indro, datang ke Bumi untuk mencari kedamaian. Kedamaian tersebut nantinya akan dia bawa pulang ke planet berbulunya, yang kerap diwarnai keributan dan masalah-masalah sosial di luar angkasa.
Indro bersama Al, membawa penonton keliling Kota Jakarta dalam satu hari, untuk mencari kedamaian dan kebahagiaan. Selama perjalanan itu, penonton akan menyaksikan berbagai macam kejadian yang menyadarkan Al, banyak masalah di planetnya juga terjadi di Bumi.
Kritik sosial yang dipaksa
Tema alien yang turun ke Bumi, lalu menyindir masalah sosial, sebelumnya pernah digarap Rajkumar Hirani dengan film PK (2014). Aamir Khan menjadi sosok alien kesepian yang berusaha mencari Tuhan, sambil menyindir umat beragama dengan satire, tanpa kesan menggurui. Karakter tokoh PK dan pemeran pembantu di film ini sangat kocak, dengan aneka sentilan-sentilan yang membuat geli penonton.
Sementara, dalam film Gila Lu Ndro!, dialog lebih tampak seperti komentar sosial daripada pembicaraan sehari-hari. Kritik sosial yang dihadirkan film ini lebih mirip orang berceramah. Tak terkesan alami.
Kritik sosial bisa pula dibandingkan dengan film perdana grup komedi Warkop Prambors—kemudian menjadi Warkop DKI—Mana Tahan (1979).
Dalam film lawas itu, kritik sosial yang disampaikan Nanu tentang susahnya bekerja dan ternyata hasilnya tak sebanding dengan apa yang didapat oleh wakil rakyat, tampak lebih alami.
Kritik sosial serupa, mirip yang dilontarkan Nanu, muncul dalam Gila Lu Ndro!. Namun, kritik tersebut terasa kering dan terlalu dipaksakan. Sindiran yang disampaikan dengan terlalu gamblang dalam film ini, membuat Gila Lu Ndro! seolah-olah membunuh satire itu sendiri.
Karakter dangkal
Selain kritik yang terkesan dipaksakan, tidak ada kedalaman karakter dari tokoh Indro dan Al. Mereka berdua hadir di sepanjang film, tapi datar tanpa emosi, tanpa konflik. Yang berkonflik justru orang-orang di sekitar mereka. Sedangkan mereka bak orang bijak yang menjadi penengah konflik.
Terlalu banyak pemeran pembantu yang muncul dalam film ini, tanpa bisa memberikan kedalaman cerita. Mereka muncul hanya untuk membuat kedua tokoh utama terlihat bijak, menyampaikan pesan perdamaian, dengan usaha yang tak maksimal.
Dialog yang ada di film ini pun membuat saya mengernyitkan dahi beberapa kali untuk mencernanya. Misalnya, dalam adegan anak Indro yang terbangun. Anaknya bertanya, mengapa alien naik bemo? Indro menjawab, “Karena semua sama di mata hukum.” Dialog yang tidak nyambung, terkesan ingin terlihat seolah-olah bijak.
Pengambilan gambar yang berpindah-pindah, dari cerita Indro dan kembali ke rumah bersama istrinya, juga bukannya tanpa cacat. Ketika adegan kembali bersama istrinya, Mieke Amalia, hanya mengeluarkan kalimat repetitif. Jika tidak berkata “absurd,” atau “terus lanjutannya gimana?” maka bisa dipastikan Mieke akan berkomentar “Gila lu Ndro!”
Sutradaranya, Herwin Novianto, sebelumnya pernah menggarap Tanah Surga… Katanya (2012) dan Aisyah: Biarakan Kami Bersaudara (2016), memang tampak seperti sutradara yang gemar memberikan pesan-pesan moral. Maka, ketika menggarap komedi satire, rasa-rasanya dia gagal. Porsi ceramah dan komentar sosial lebih banyak di film ini, daripada komedi itu sendiri.
Satu-satunya adegan yang membuat saya tertawa kecil di film ini adalah adegan ibu-ibu sombong lulusan STM, yang tiba-tiba mengeluarkan gir. Hanya itu.
Film komedi yang tak lucu.