Guillain-barre syndrome: Saat sistem antibodi menyerang saraf
Beberapa waktu lalu, otoritas kesehatan di Amerika Serikat menyelidiki apakah ada hubungan antara dua vaksin respiratory syncytal virus (RSV) baru produk Pfizer dan GSK dengan kasus kelainan neurologis langka guillain-barre syndrome pada orang lanjut usia di negara itu.
Dilansir dari situs Fierce Pharma, otoritas kesehatan di Amerika Serikat menemukan 23 dari 9,5 juta orang lanjut usia yang menerima vaksin RSV justru mengalami guillain-barre syndrome. Dikutip TIME, diperkirakan 3.000 hingga 6.000 orang di Amerika Serikat menderita guillain-barre syndrome setiap tahun.
Meski sudah ditemukan lebih dari seabad yang lalu, tetapi bagi awam guillain-barre syndrome masih kurang familier di telinga. Seorang ahli saraf dan kesehatan otak Heidi Moawad dalam Verywell Health mengatakan, guillain-barre syndrome adalah kondisi neurologis yang menyebabkan kelemahan yang memburuk dengan cepat. Biasanya dimulai pada kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Sensasi kesemutan bisa menjadi tanda peringatan awal guillain-barre syndrome.
“Ini adalah suatu kondisi autoimun, di mana sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang tubuh, terutama merusak saraf di kaki, batang tubuh, lengan, dan terkadang wajah,” tulis Moawad.
Guillain-barre syndrome sangat heterogen secara klinis. Dijelaskan Moawad, terdapat lima varian guillain-barre syndrome dengan gejala yang sedikit berbeda, yakni klasik, sensorik murni, disautonomia akut, sindrom miller fisher, dan terlokalisasi.
Varian klasik termasuk yang umum terjadi, dengan gejala kelemahan parah pada kedua kaki, kedua lengan, dan otot pernapasan; sensorik murni menyebabkan hilangnya sensasi parah tanpa kelemahan; serta disautonomia akut menyebabkan detak jantung tak teratur, tekanan darah terganggu, dan gejala pada pencernaan.
Sindrom miller fisher termasuk jenis yang langka. Gejalanya ataksia (masalah koordinasi), arafleksia (kurangnya refleks selama pemeriksaan fisik), dan oftalmoparesis (gerakan mata lemah).
“Gejala lemahnya pergerakan mata bisa berupa penglihatan kabur atau penglihatan ganda,” tulis Moawad. Terakhir, jenis terlokalisasi hanya melibatkan otot tertentu, seperti otot faring, wajah, atau kandung kemih.
Thy P. Nguyen dari McGovern Medical School UT Health dan Roger S. Taylor dari Charleston Area Medical Center dalam StatPearls (2024) menulis, selain vaksinasi, infeksi virus kerap dikaitkan dengan sindrom ini. Yang paling umum adalah penyakit pernapasan. Kegagalan pernapasan dapat terjadi pada 30% pasien.
Menurut Moawad, infeksi virus epstein-barr, varcella zoster (cacar air), influenza, dan Covid-19 merupakan pemicunya. Kemungkinan penyebab lain yang terkait dengan sindrom ini adalah pengobatan dan pembedahan.
Di samping itu, menurut Minghui Chen dan koleganya dari Boston Medical Center dalam Cureus (Februari, 2024), risiko guillain-barre syndrome juga meningkat pada perempuan pasca-persalinan.
“Persalinan melibatkan beberapa faktor risiko guillain-barre syndrome, seperti infeksi, imunisasi, pembedahan, atau penyakit penyerta yang sudah ada sebelumnya—misalnya penyakit autoimun—dan anestesi neuraksial,” tulis Chen dan koleganya.
Guillain-barre syndrome disebabkan oleh peradangan yang merusak saraf tepi. Umumnya, memengaruhi saraf motorik yang mengontrol gerakan. Namun, terkadang juga dapat memengaruhi saraf sensorik dan otonom, yang mengatur pencernaan dan fungsi jantung.
Guillain-barre syndrome kerap muncul dalam waktu satu hingga enam minggu setelah gejala. Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan perempuan. Chen mengatakan, guillain-barre syndrome adalah penyakit serius yang berhubungan dengan mortalitas fase akut yang tinggi—sekitar 5%--dan morbiditas jangka panjang yang signifikan.
Guillain-barre syndrome termasuk langka. Moawad menyebut, terjadi hanya pada 1 dari 100.000 orang setiap tahun. Chen dan koleganya menyebut, guillain-barre syndrome di Amerika Utara dan Eropa diidap sekitar 0,81-1,91 per 100.000 orang per tahun. Sementara di Indonesia, angka kejadian guillain-barre syndrome sekitar 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000 penduduk.
“Diagnosis guillain-barre syndrome melibatkan riwayat gejala, pemeriksaan fisik, dan kemungkinan tes diagnostik,” kata Moawad.
Ada sejumlah tes atau pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk menentukan seseorang terkena guillain-barre syndrome atau tidak, antara lain oksimeter denyut untuk mengukur tingkat oksigen, elektromiografi dan pemeriksaan konduksi saraf untuk mengukur kecepatan dan intensitas fungsi saraf serta otot, tusukan lumbal (spinal tap) untuk mendeteksi protein dalam cairan tulang belakang, pencitraan otak atau sumsum tulang belakang, dan tes darah.
Belum ada obat untuk penyakit ini. Akan tetapi, ahli saraf Peter Pressman dalam Verywell Health mengatakan, ada dua tindakan untuk memperlambat kerusakan sel saraf dan membantu mempercepat pemulihan. Tindakan ini harus dimulai dalam waktu dua minggu setelah gejala muncul.
Pertama, plasmaferesis atau pertukaran plasma. “Mirip dengan dialisis ginjal, ini melibatkan pengeluaran bagian cair darah dari tubuh,” ujar Pressman. “Plasma kemudian disaring dan darah dikembalikan ke tubuh dengan cairan pengganti mengganti plasma asli.”
Kedua, intravenous immunoglobulin (IVIG). “Proses di mana imuglobulin dari donor tanpa guillain-barre syndrome disuntikkan ke dalam tubuh untuk melawan atau mengencerkan antibodi yang tidak berfungsi,” tulis Pressman.
Pressman mengingatkan, dua tindakan itu memerlukan waktu lebih dari empat minggu untuk melihat pemulihan. Penyakit akan semakin parah jika tindakan tadi tidak diberikan. Menurutnya, semakin parah gejalanya, maka semakin lama waktu pemulihannya.
“Saraf membutuhkan waktu lama untuk tumbuh kembali. Jika kerusakannya parah, diperlukan waktu hingga satu tahun atau lebih untuk kembali berfungsi,” ujar Pressman.
“Dalam beberapa kasus, terdapat kondisi yang tak bisa normal, seperti kesulitan menggerakkan jari atau sisa mati rasa.”
Di sisi lain, ujar Moawad, setelah pemulihan, seseorang memerlukan terapi fisik untuk memperkuat otot. Ada beberapa faktor yang terkait dengan pemulihan yang lebih baik, antara lain usia yang lebih muda, pengobatan sesegera mungkin, tidak ada kelemahan pada wajah atau leher, tidak mengalami diare, dan tidak ada keterlibatan saraf otonom.
Meski demikian, tindakan untuk memulihkan penderita guillain-barre syndrome memerlukan biaya yang tak sedikit. “Biaya perawatan medis untuk pasien guillain-barre syndrome diperkirakan mencapai 318.966 dolar AS (setara Rp4.999.169.237),” tutur Nguyen dan Taylor.